Postmodernisme

Oct 31, 2016

*Suhartono

POSTMODERNISME

Pengertian Postmodernisme

Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Sementara menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori.

Istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk menyebutkan gerakan kritik di bidang sastra, khusunya sastra Prancis dan Amerika Latin. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditanai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan. Sementara menurut Frederic Jameson, mengartikan postmodernisme adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.

Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar dan sebagainya. Dengan pandangan macam itulah, Lyotard membawa istilah “postmodernisme” kedalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan ”postmodernisme”. Oleh sebab itu. Istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekedar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya” (Cultural and society Vol. 5, 1988, hlm. 195-213).

Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)

Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.

Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.

Heterogenitas  yang mungkin menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

Sejarah Perkembangan dan Konsep Dasar Postmodernisme

Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern yang mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakannya dalam sebuah karya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam bukunya yang berjudul “A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur.

Postmodernisme lahir sebagai kritik atas modernisme. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal. Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.

Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan berkembang. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas.

Pada akhirnya istilah postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus. Dalam postmodernisme, kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruksi sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari anggapan kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteristik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidak-percayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Lebih gampangnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam perspektif terbatas oleh ras, gender dan group etnis masing-masing.

Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis.  Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative  telah kehilangan legitimasi. Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.

Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya. Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis,  Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994:17).

Tokoh-tokoh postmodernisme yaitu Rudolf Pannwitz, Federico de Onis, Arnold Toynbee, Jean Francois Lyotard, Zygmunt Bauman, John Milbank, Flaskas, Ilhab Hasan dan lain sebagainya. Sikap-sikap kritis mereka terhadap modernism tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme.

DERRIDA POSTMODERNITAS

Jacques Derrida dikenal sebagai pendasar teori dekonstruksi yang menjadi wacana postmodern. Sebagai pendasar teori, tentunya ada sejumlah ide menyertai perjalanan refleksi intelektualnya, sampai pada akhirnya ia menggagas konsep dekonstruksi. Oleh karena itu, ada beberapa hal pokok yang penulis sajikan untuk memahami konsep dekonstruksi Derrida. Pertama-tama adalah dengan memahami belakang konsep lahirnya dekonstruksinya.

Beberapa butir pemikiran yang menyertai konsep dekonstruksi antara lain adalah différance dan metafor serta peranan imajinasi di dalamnya. Setelah menjelaskan makna imajinasi di dalam dekonstruksi, terakhir penulis coba mengangkat sebuah tendensi postmodernisme untuk melahirkan filsafat imajinasi sebagai jawaban atau realitas yang selalu ambigu.

Konteks Historis Lahirnya Teori Dekonstruksi

Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.

Derrida bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik rasionalisme Barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat, seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat, bermain-main, alusif dan literer. Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa filsafat bukan lagi suatu representasi kebenaran. Bahasa lisan adalah instabil yang tidak memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda berdasarkan konteks. Baginya, segala sesuatu adalah teks dan kenyataan filosofis adalah kenyataan tekstual.

Pemikiran Dekonstruksi Derrida yang memberikan warna bagi dunia postmodernisme, merupakan jawaban atas situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian yang sangat menekankan metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada,” metafisika selalu menjadi tema yang utama dan tetap. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa metafisika yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.

Dalam karya-karya awalnya, Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologi Husserl. Di sini Husserl melanjutkan tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai kehadiran pada dirinya. Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger di mana ada juga beberapa yang dibantahnya. Tetapi Derrida sempat tenggelam dalam pemikiran Heidegger, bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan bahasalah yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu terbatas oleh bahasa yang berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’ maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat menimbulkan masalah-masalah tentang cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka, dengan mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan teorinya yang sama sekali bertolak belakang.

Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi

Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.

Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.

Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati.

Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”

Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.

Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.

Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.

Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

 Differance dan Metafor Dalam Teori Dekonstruksi Derrida.

Différance

Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.  Différance itu memiliki perbedaan dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana makna ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda (postponed). Karena itu, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.

Dekonstruksi Derrida bermula dari huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana Derrida memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa ambigunya sebuah kata yang tampak tunggal dan sederhana. Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka metafisis.

Istilah Différance, dapat dibeakan dalam empat arti yaitu: pertama, différance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep. Ketiga, différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara

Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida, tak ada identitas terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.

Metafor

Sejarah metaphor menurut Derrida pertama-tama mengandaikan adanya arkhe transendental yang menjadi basis pengetahuan dan asal-usul bahasa. Konsep metafor pertama kali dirumuskan secara gamblang oleh Aristoteles dalam Poetica. Aristoteles menyatakan bahwa metafor terdiri atas pemberian (epiphora) nama (onomatos) atau sesuatu yang sebetulnya milik sesuatu yang lain.

Menurut Aristoteles, sumber arkhe pertama dari metafor adalah alam. Alam memberikan dirinya dalam bentuk metafor. Manusia meniru pergerakan alam dan menciptakan sebuah sistem bahasa yang puitis untuk mendramatisasi kekagumannya pada alam. Dengan kata lain metaphor lahir dari hasrat mimetik untuk meniru sesuatu yang ideal dan tak terbahasakan.

Dalam artikelnya, The Retrait of Metaphor, Derrida mengembangkan gagasan metafor yang dibangun Heidegger. Ada pun metafor yang oleh Heidegger ditampilkan dengan mendekonstruksi metafisika, adalah reaksi terhadap genealogi Nietzsche yang mengutamakan metafor dengan cara melacak akar metaforis pernyataan-pernyatan filosofis.

Dengan dekonstruksi metafisika dan kritiknya atas konsep metaphor yang dibangun Nietzsche itu sebetulnya Heidegger bermaksud untuk mengubah sikap dasar kita dalam memandang bahasa secara umum. Baginya, hubungan yang otentik dengan bahasa, bukanlah hubungan di mana bahasa kita anggap sebagai objek atau sarana belaka dan kita gunakan berdasaran suatu sistem predikasi dan penekanan baku yang ketat dan pasti. Menurut Derrida, bahasa pertama-tama adalah suatu kenyatan terberi yang menyingkapkan sebuah dunia bagi kita sedemikian hingga dunia yang kita pahami selalu berkait erat dengan bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang yang kita pahami di luar bahasa.

Derrida kemudian mengubah haluan konsep ini. Bila Heidegger menyerang metafisika dalam pembendaan antara taraf inderawi dan non inderawi, maka Derrida menyerang metafisika dalam pembedaan arti katanya. Bagi Derrida, baik antara ‘bunyi kata’ dan dan artinya, maupun antararti dan antarbunyi kata itu sendiri, pembedaan yang terjadi hanyalah permainan yang bisa dibuat sewenang-wenang.

Akibatnya, arti literal dan arti metaforis tidaklah jelas untuk diketahui. Dekonstruksi memiliki sendi tak tergoyangkan ketika dia menyatakan kemustahilan pereduksian metaphor karena difference telah ‘mengerjai’ makna ‘literal’ yang baku. Segala pernyataan bisa bersifat metaforis bisa juga literal tergantung pada bagaimana kita membedakannya. Dengan kata lain, pembedaan antara yang literal dan yang metaforis sebetulnya tidak ada artinya lagi, sehingga dekonstruksi menemukan bahwa tidak ada yang dinamakan makna literal itu.

MICHEAL FOUCAULT

Michel Foucault adalah seorang pemikir post-post-strukturalis yang lahir di Poitiers pada tahun 1926. Ia memulai kariernya dengan bekerja di sebuah rumah sakit jiwa dan kemudian meluncurkan berbagai karya antara lain Les Mots et les Choses (1960) dan L’Archeologie de Savoir (1969). Pada April 1970 ia diangkat menjadi dosen di College de France. Ia memulai perkuliahannya dengan mengangkat judul “The Will to Truth” yang membahas tentang “praktek-praktek diskursif”.

Menurut Michel (1989) “ Kelompok-kelompok yang teratur (dalam praktek-praktek diskursif) sekarang tidak sesuai dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan untuk pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang cukup luas di luar mereka dan sering menyatukan berbagai kelompok. Akan tetapi mereka tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin, meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama.

Penjelasan Foucault ini menggambarkan ciri inovatif dan individualis dalam karyanya. Metode struktural dijadikannya metode satu-satunya serta metode piker yang mencakup segala-galanya dan menerapkannya juga pada sejarah.

Pemikiran Dasar Foucault

Menurut Foucault, kita tidak bisa mereduksikan “praktek-praktek diskursif” menjadi kategori oeuvre individu atau disiplin akademik. Akan tetapi, praktek diskursif tersebut adalah sebuah keteraturan yang kemudian muncul dalam fakta artikulasi itu sendiri: ia tidak datang sebelum artikulasi dilakukan. Sistematika praktek diskursif itu sendiri tidak berjenis linguistik maupun logis. Keteraturan suatu diskursus itu bersifat tidak sadar dan berlangsung dalam tatanan parole Saussure, dan tidak pada tatanan langue yang sudah ada sebelumnya.

Ia juga banyak berbicara mengenai sejarah. Olehnya sejarah didekatinya sedemikian rupa, sehingga yang penting baginya bukanlah “bagaimana keadaannya di masa lampau”, melainkan struktur-strukturnya yang terungkap dalam pembahasan-pembahasan (diskursus) yang dilakukan oleh para penyelenggara ilmu pengetahuan serta para sastrawan pada suatu masa tertentu. Maka di dalam sejarah ini yang utama bukanlah unsur diakronik, melainkan unsur sinkronik.

Pemahaman sejarah Foucault berusaha menghindari “proyeksi ‘makna’ ke dalam sejarah”. Hal ini berkenaan dengan analsisnya mengenai “rezim praktek” yang mana bisa saja diambil karena adanya garis yang memisahkan antara perkataan dan perbuatan ─seperti antara melihat dan berbicara─ selalu berada dalam keadaan yang tidak stabil. Maka dari itu rezim-rezim praktek tidak bisa direduksikan kepada bentuk tindakan yang ahistoris. Untuk memahaminya maka dibutuhkan analisis terhadap sebab, seperti pelaku di balik tindakan.

Berkaitan dengan itu, Foucault juga menulis banyak buku, salah satunya adalah The Order of Things: An Archeology of Human Sciences. Dalam buku ini Foucault memaparkan pandangannya tentang manusia, sang pelaku, yang dihapuskan, “seperti wajah yang dilukis pada pasir di tepi pantai”.3 Yang kemudian bisa diambil dari hal ini ialah tidak ada makna esensial dibalik benda, tidak ada subjek esensial di balik tindakan; dalam sejarah juga tidak ada tatanan esensial. Akan tetapi tatanan itu ada di dalam penulisan sejarah itu sendiri.

Pandangan tentang Bahasa

            Untuk memahami pemikiran Foucault maka dimulai dengan 2 pertanyaan terkait bahasan diatas, yang pertama ialah, “Struktur manakah yang terdapat dalam pembahasan pada sesuatu masa tertentu? Dan yang kedua ialah “Tatanan benda-benda manakah yang terungkap dalam tatanan kata-kata?”

Untuk menjawabnya, disini ia membedakannya menjadi 3 masa: masa renaissance, masa klasik dan masa modern. Pada setiap masa, hubungan antara kata-kata dengan benda-benda berbeda-beda. Foucault mengatakan bahwa:

  1. Pada masa renaissance orang mendasarkan diri pada kesadaran akan adanya keserupaaan (resemblance) antara kata-kata dengan benda-benda. Maka terdapatlah pertalian yang sangat erat antara kedua hal tersebut.
  2. Pada masa klasik, kata-kata melepaskan diri dari benda-benda. Orang mulai memperhatikan watak pemberi gambaran yang dipunyai oleh kata-kata dan dengan demikian orang tegas-tegas menyadari akan adanya jarak antara bahasa dengan dunia.
  3. Kini bahasa menjadi gambaran (representasi) dunia. Sekitar peralihan abad ke 18 ke abad 19 bahasa dan dunia kedua-duanya ditinjau dari segi kesejarahannya.4

Selanjutnya Foucault berbicara mengenai epistema. Ini erat hubungannya dengan 3 masa diatas. Epistema adalah sebuah sistem. Dijelaskan bahwa menurut Foucault, epistema ialah prasyarat munculnya pengetahuan dan teori. Jadi, ia adalah latar tersembunyi dibelakang pengetahuan; epistema adalah struktur dasar yang berada diluar sejarah.

Yang ditanyakan selanjutnya ialah, “Siapakah yang berbicara (subyek) dalam epistema?” Jawabannya bukanlah Tuhan dan manusia. Menurut Foucault, Tuhan telah mati, dan manusia tak lebih dari mitos; ia hanyalah invention of recent date. Lalu siapakah yang berbicara jika bukan keduanya? Ialah bahasa. Melalui dan mengggunakan bahasa, epistema mengetahui dirinya. Jadi, epistema adalah obyek dan bahasa adalah subyek—walaupun kalangan postmodernis menolak pembagian dikotomis ini, namun realitanya, mereka tak bisa menghindarkan diri. Manusia sebagai subyek sudah ditinggalkan, karena itu, Foucault selanjutnya mengumumkan kematian manusia, sebagai implikasi logis kematian Tuhan.

Foucault dengan J. Lacan mempunyai pandangan yang sama mengenai  bahasa. Foucault mengatakan bahwa yang berbicara bukanlah subyek, tapi struktur linguistik dan sistem bahasa. Sementara Lacan menegaskan bahwa jalan yang telah dirintis oleh Freud tak memiliki makna selain bahwa, alam bawah-sadar adalah bahasa. Mereka tampaknya memahami bahasa secara luas.

Gagasan lain Foucault yang terpenting, berkenaan dengan wacana (discourse). Dalam discourse, bahasa adalah mediator. Wacana adalah ucapan yang dengannya pembicara menyampaikan segala sesuatu kepada pendengar. Unsur terkecil dari wacana adalah kalimat. Wacana yang diperkuat dengan tulisan disebut teks. Wacana merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan (statement) yang berbeda dengan ungkapan (utterance) maupun proposisi (proposition). Yang dimaksud Foucault disini bukanlah sekedar perbincangan sehari-hari, tapi perbincangan yang serius (serious speech-act). Serius tidaknya suatu perbincangan diukur berdasar intensitas keterlibatan unsur relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana tersebut.

Dalam The Order of Things, Foucault memberikan pandangan tentang bahasa pada teori genealoginya. Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam “apa yang ditulis” dan “apa yang menjadi tafsirnya”, keduanya saling terjalin tanpa pemisahan. Hal ini adalah salah satu dari pemikirannya tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan menjadi tafsirnya tidak bisa dipisahkan dalam subjek dan objek. Keduanya terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.

Tata Wacana

Ada beberapa simpul inti pemikiran Foucault yang penting, yaitu wacana,diskontinuitaskuasa-pengetahuan, dan episteme. Penggunaan terma wacana (discourse) dipopulerkan Foucault dan menjadi konsep penting dalam pemikirannya.  Aturan, sistem, dan prosedur disebutnya dengan “tata-wacana” yaitu keseluruhan wilayah konseptual di mana pengetahuan itu dikonstruksi (dibentuk dan dihasilkan). Wacana dalam pengertian ini adalah keseluruhan domain di mana bahasa dipakai dalam tata-cara tertentu.  Domain itu berakar dalam berbagai praktek kehidupan, lembaga, dan tindakan manusia.  Dalam arti paling luas, wacana berarti segala sesuatu yang ditulis, diucapkan, dikomunikasikan dengan tanda-tanda—dan merupakan kumpulan pernyataan.  Karena itu, studi teks, sejarah, budaya dan klaim obyektivitas dan kebenaran harus ditunda, karena telah dipengaruhi oleh aturan, perbedaan makna, dan strategi yang sama dengan naratif lainnya.  Kini batas antara ‘fakta’ dan ‘fiksi’ semakin buram, karena perlu diperiksa secara ketat.

Genealogi Foucault

Rasionalitas dianggap menghasilkan pengetahuan dan wacana kebenaran.  Namun Foucault mengingatkan, bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, wacana sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya6. Wacana itu dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu.  Untuk itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.

Foucault menyebut metodenya ‘genealogi’, sebagai bentuk penelusuran historis tentang terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, obyek pengetahuan dan wacana ilmiah.  Dalam melakukan penelusuran itu, ia tidak menemukan kontinuitas tetapi diskotinuitas/keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana.  Foucault mengatakan le langage ne dit pas exactement ce qu’il dit7. yang artinya bahasa tidak mengatakan secara persis apa yang dia katakan. Justru karena bahasa tidak pernah eksak mewakili sebuah makna atau realitas, maka bahasa terbuka bagi sebuah pemaknaan tanpa batas. Genealogi adalah sejarah yang ditulis sesuai dengan komitmen terhadap masalah-masalah masa kini, dan ia akan menerobos masuk masa kini.

Pengetahuan dan Kekuasaan

Foucault, melalui teori wacana, menolak pusat atau titik tolak pemikiran.  Kalau ‘pusat’ harus ada, maka pusat itu adalah bahasa atau teks.  Wacana paling bertanggung jawab dalam membentuk atau mencitrakan subyek dan obyek dalam epistemologi, khususnya pembentuk subyek. Wacana dalam ilmu dan praktek sosial adalah jaringan praktik pengetahuan dan kekuasaan.  Wacana menciptakan subyek ilmu-ilmu sosial dan obyek-obyeknya (penyakit, seksualitas, kegilaan dsb).  Foucault, dalam penelitiannya menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai oleh the will to power.

Pemikiran Foucault tentang kekuasaan sangat penting, karena ia merelativisir segala sesuatu yang selama ini dianggap absolut.  Ia menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia dan sebagainya dalam kerangka relasi dengan kekuasaan.  Kekuasaan menurutnya bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu.   Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan tidak berada di luar kekuasaan, tetapi berada dalam kekuasaan itu.  Karena itu, kekuasaan adalah kebenaran.

Foucault membahas kuasa dari segi mekanisme dan strategi kuasa.  Ia tidak berbicara tentang apa itu kuasa, tetapi bagaimana kuasa itu diperaktikkan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran, serta bagaimana kuasa berfungsi dalam bidang tertentu.  Kuasa tidak hanya bekerja melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi pertama-pertama melalui aturan-aturan dan normalisasi. Kuasa ternyata berkaitan erat dengan pengetahuan.  Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada pula kuasa tanpa pengetahuan.   Pelaksanaan kuasa itu, bagi Foucault, tidak mungkin tanpa ada wacana yang bersifat esensial dalam setiap kebudayaan dan masyarakat.

Menurut Foucault, hakekat kekuasaan telah berubah. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan satu orang atau lembaga, tetapi tersebar luas dalam masyarakat dan cenderung ter-sembunyi.  Perubahan itu disebabkan oleh berubahnya fondasi kekuasaan. Dahulu fondasi kekuasaan adalah kehendak, baik kehendak raja atau rakyat, maka kekuasaan didapat me-lalui kumpulan kehendak, kesepakatakan, perserikatan, dan partai politik.  Kini, kekuasaan tidak lahir dari kehendak, tetapi melalui pengetahuan.  Pengetahuan tidak netral, tetapi politis,  menunjang dan memberi kekuasaan.  Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah mengetahui dan mengendalikan tingkah laku manusia. Foucault memahami ilmu pengetahuan sosial sebagai alat penguasaan manusia atas manusia, artinya untuk mengendalikan dan mempengaruhi putusan (tubuh dan jiwa orang lain).  Tubuh dilihat sebagai mesin hidup sebagai sumber daya dan tenaga kerja yang perlu dikendalikan dan dimanfaatkan guna kemajuan.

Salah satu metode pengendalian adalah melalui disiplin bekerja, normalisasi, dan regulasi. Normalisasi adalah membuat norma dan aturan-aturan bagi tindakan, sedangkan regulasi menyusun aturan konkret yang harus diikuti.  Norma mengambil peran hukum, agar terwujud efektivitas dan produktivitas.  Tubuh dilihat memiliki fungsi ekonomi dan fungsi politis. Karena itu, dibuatkan peraturan dan disiplin untuk meningkatkan utilitas dan docilitas (kepatuhan dan ketertiban) bagi sikap dan tingkah-laku manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan, kata Foucault.  Kerapkali pengetahuan, kekuasaan, dan tenaga fisik bekerjasama.  Kuasa dan pengetahuan pertama-tama bekerja melalui bahasa.

 

Daftar pustaka

Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung

Derrida, Jacques. Writing and Difference, Translated, with an Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press, 1978.

MatsAlvesson. 2002. Postmodernism and Social Research.

Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta:

Michel Foucault, 1989. Résumé des cours, 1970-1982, Paris, Juillard.

http://en.wikipedia.org/wiki/ postmodernisme

http://ahmadhariantosilaban.blogspot.com/2011/06/makalah-postmodernisme.html

http://brenmorin.blogspot.com/2009/07/menggagas-peranan-imajinasi-dalam-teori.html

http://journal.ui.ac.id/index.php/jsm/article/viewFile/3734/2973

spi_admin

spi_admin

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *