Paradigma Teori Sosial

Oct 31, 2016

*Suhartono

Paradigma Teori Sosial

Pengantar

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis (Keraf dan Dua, 2001: 22; lihat juga Suriasumantri, 2003; 104)

Secara metodologis, dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia, dapat dibedakan antara dua kutub berbeda dari gejala pengetahuan manusia itu, yaitu antara kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subjek dan objek.  Kendati keduanya dapat dibedakan secara jelas dan tegas, untuk bisa terbentuknya pengetahuan, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.  Supaya ada pengetahuan, keduanya harus ada.

Manusia sebagai subjek pengetahuan memegang peranan penting.  Keterarahan manusia terhadap objek merupakan faktor yang sangat menentukan bagi munculnya pengetahuan manusia. Keterarahan yang dimaksud adalah perlunya kesamaan-kesamaan prinsip atau kategori tertentu, baik dari aspek ontologi maupun dari aspek epistemologinya yang memungkinkan manusia dapat mengenal dan menangkap objek yang diamatinya. Dengan kata lain, pengetahuan itu hanya mungkin terwujud kalau manusia sendiri adalah bagian dari objek, realitas di alam semesta ini. Keterlibatan manusia sebagai bagian dari objek dan realitas dalam suatu proses penelitian dan ilmu itu sendiri menandakan bahwa ilmu tidak mungkin bebas nilai

Definisi

Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains, dan sebaliknya, masyarakat sains terdiri atas orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama (Kuhn, 1962; 171; lihat juga Etzioni, 1992: 1). Hal senada juga dikemukakan oleh Maliki (2003:15), bahwa paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuan yang membentuk “masyarakat ilmiah” dalam disiplin tertentu.  Perspektif intelektual menurut Friedrichs (1970: 55) dalam Maliki (2003:15) menentukan apa yang membentuk “ilmu pengetahuan normal” dalam komunitas ilmiah pada waktu tertentu dan mendasari hampir semua pembentukan teori serta penelitian yang dilakukan oleh praktisinya. Hal ini dapat kita artikan bahwa paradigma adalah suatu cara pendekatan yang digunakan dan diyakini oleh suatu kelompok tertentu dalam suatu perspektif intelektual untuk mendapatkan suatu kebenaran (truth) atau dalam membangun suatu teori (ilmu pengetahuan).

Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma

Paradigma diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.

Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.

Paradigma Fungsionalis

Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.

Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai persentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis.

Paradigma ini telah menyediakan kerangka kerja yang dominan untuk pelaksanaan di akademi sosiologi dan pendidikan di organisasi. Ini melambangkan perspektif yang berakar pada sosiologi regulasi dan mendekati materi pelajaran dari sudut pandang objektivis. Teori fungsionalis berada di garis depan perdebatan order-konflik, dan konsep-konsep yang telah kami gunakan untuk mengkategorikan sosiologi regulasi yang berlaku dalam berbagai sekolah dalam cara pandang paradigma tersebut. Hal ini ditandai dengan perhatian untuk memberikan penjelasan tentang status quo, tatanan sosial, konsensus, integration sosial, solidaritas, kebutuhan akan kepuasan dan keadaan yang sebenarnya. Mendekati kekhawatiran ini umumnya sosiologi berhubungan dengan sudut pandang yang cenderung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Para fungsionalis paradigma menghasilkan sosiologi regulatif dalam bentuk yang dapat dikembangkan sepenuhmya. Dalam pendekatan secara keseluruhan itu berusaha untuk memberikan penjelasan rasional yang perlu mengenai urusan sosial. Ini adalah perspektif yang sangat pragmatis dalam orientasinya, peduli untuk memahami masyarakat dengan cara menghasilkan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan. Hal ini sering menimbulkan masalah-berorientasi dengan pendekatan, yang berhubungan denganmenetapkan  solusi praktis dalam masalah-masalah yang praktis. Hal ini biasanya tegas berkomitmen untuk rekayasa filsafat sosial sebagai dasar perubahan sosial dan menekankan pentingnya memahami ketertiban, keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat dan cara bagaimana ini dapat dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan berlakunya ‘regulasi’ dan kontrol dalam kejadian sosial.

Paradigma Interpretatif

Teoretisi terletak dalam konteks paradigma interpretif mengadopsi pendekatan konsonan dengan prinsip-prinsip apa yang kita miliki digambarkan sebagai sosiologi regulasi, meskipun subyektivis nya pendekatan analisis dunia sosial membuat hubungan dengan sosiologi ini sering tersirat ketimbang eksplisit. Penafsiran paradigma diinformasikan oleh keprihatinan untuk memahami dunia sebagaimana adanya, untuk memahami sifat dasar dari dunia sosial di tingkat pengalaman subyektif. Ini berusaha penjelasan dalam ranah kesadaran individu dan subjektivitas, dalam kerangka rujukan peserta yang bertentangan dengan pengamat tindakan.

Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal

Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.

Paradigma humanis radikal didefinisikan oleh keprihatinan untuk mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari sudut pandang subyektif. Pendekatan untuk ilmu sosial memiliki banyak kesamaan dengan yang dari paradigma interpretatif, dalam hal ini memandang dunia sosial dari perspektif yang cenderung nominalis, anti-positivis, voluntaris dan ideografik. Namun, kerangka referensinya berkomitmen untuk pandangan masyarakat yang menekankan pentingnya menggulingkan atau melampaui keterbatasan pengaturan sosial yang ada.

Salah satu pengertian paling dasar yang mendasari seluruh paradigma ini adalah bahwa kesadaran manusia didominasi oleh superstructures ideologi yang ia berinteraksi, dan ini mendorong irisan kognitif antara dirinya dan kesadarannya yang benar.Wedge ini adalah irisan ‘keterasingan’ atau ‘kesadaran palsu’, yang menghambat atau menghalangi pemenuhan manusia sejati. Kepedulian utama terhadap teori mendekati keadaan manusia dalam istilah adalah dengan rilis dari kendala yang sosial yang ada pada pengaturan tempat pembangunan manusia. Ini adalah merek teorisasi sosial yang dirancang untuk memberikan kritik terhadap status quo. Hal ini cenderung melihat masyarakat sebagai anti-manusia dan yang bersangkutan untuk mengartikulasikan cara di mana manusia dapat melampaui ikatan spiritual dan belenggu yang mengikat mereka dalam pola sosial yang ada dan dengan demikian menyadari penuh potensi mereka.

Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.

Paradigma Strukturalis Radikal

Penganutnya juga memeprjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

Kritikan Pendapat Burrel dan Morgan

Namun pendapat Burrell dan Morgan dikritisi oleh Chua (1986) dan Sarankos (1998) yang membagi paradigma penelitian menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:

 Paradigma Positivis

Secara ringkas, positivisme adalah pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif (Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Bagi positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.

Paradigma Interpretif

Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman di dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari sosial world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka (Ghozali dan Chariri, 2007). Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007). Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).

Paradigma Critical

Menurut Neuman (2003), pendekatan critical lebih bertujuan untuk memperjuangkan ide peneliti agar membawa perubahan substansial pada masyarakat. Penelitian bukan lagi menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral/tidak memihak dan bersifat apolitis, namun lebih bersifat alat untuk mengubah institusi sosial, cara berpikir, dan perilaku masyarakat ke arah yang diyakini lebih baik. Karena itu, dalam pendekatan ini pemahaman yang mendalam tentang suatu fenomena berdasarkan fakta lapangan perlu dilengkapi dengan analisis dan pendapat yang berdasarkan keadaan pribadi peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara ringkas, pendekatan critical didefinisikan sebagai proses pencarian jawaban yang melampaui penampakan di permukaan saja yang seringkali didominasi oleh ilusi, dalam rangka menolong masyarakat untuk mengubah kondisi mereka dan membangun dunianya agar lebih baik (Neuman, 2003:81).

Sehingga dua paradigma yang dibangun oleh Burrell dan Morgan yaitu Paradigma Radical Humanist dan Radical Structuralist menjadi satu. Hal ini dimungkinkan munculnya paradigma baru yang merupakan gabungan antara kedua paradigma tersebut. Dalam hal ini pendapat penulis didukung oleh Chua maupun Sarankos yang mewadahi kedua paradigma tersebut dalam satu wadah yaitu Paradigma Kritis (The Critical Paradigm). Penulis tersebut menggabungkan antara Paradigm Radical Humanist dan Radical Structuralist menjadi satu karena menurut mereka kedua paradigma tersebut sebenarnya memiliki kesamaan ide. Paradigma ini mirip dengan Radical Humanist namun strukturalis lebih bersifat makro yaitu pada kelas-kelas (kelompok) yang ada dalam masyarakat atau struktur industri. Kelas-kelas tersebut menimbulkan dominasi satu kelompok tertentu (yang lebih tinggi, seperti pengusaha) terhadap kelompok lainnya (yang lebih rendah, misalnya buruh).

Paradigma Posmodernisme

Posmodernisme merupakan suatu gerakan yang dipicu oleh berbagai ekses negatif dari modernisme yang hendak merevisi kemodernan itu.  Sebutlah misalnya ajaran yang biasa menyebut dirinya metafisika New Age. Mungkin bisa pula dimasukkan di sini pemikiran-pemikiran yang mengaitkan diri dengan wilayah mistiko-mitis. Mereka ini umumnya muncul dari wilayah Fisika Baru, dan bersemboyan “holisme” yang mendekonstruksi atau membongkar segala unsur penting dalam sebuah gambaran dunia seperti: diri, tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dan seterusnya.

Rosenau (1992) dengan jelas menerangkan beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya posmodernisme sebagai berikut: pertama, ketidaksabaran atas kegagalan untuk menghasilkan secara dramatis hasil yang dijanjikan oleh ilmu pengetahuan modern. Kedua, perhatian mulai berfokus pada penyimpangan dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan modern. Dalam memandang realitas, posmodernisme cenderung untuk mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang secara cukup kuat mewakili realitas. Ia juga menolak beberapa pandangan tentang realitas yang menganggap alami proses mental individu dan komunikasi antar subjek dalam. Posmodernisme mengakui dua pendekatan metodologi, yakni: interpretasi anti-objektif dan dekonstruksi.

Karakteristik posmodernisme (posmo) dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Karakteristik posmo tidak hanya mengubah sikap ilmiah, melainkan substansi telaahnya dikenal dengan baik. Posmo mengartikan sebuah kritikan atas realitas modern yang dianggap telah gagal dalam pencerahannya. Dengan demikian, posmo adalah sebuah aliran pemikiran dan menjadi sejenis paradigma baru yang anti-tesis  dari  modernisme  karena  dinilai  telah  gagal  dan  tidak  lagi  relevan dengan  perkembangan zaman. Modernisme  telah  ditandai oleh  kepercayaan penuh pada keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekuler, tetapi ternyata tidak cukup kokoh untuk menopang era industrialisasi dalam membawa kesejahteraan bagi kehidupan masyakarat.

Referensi

Burrel, Gibson & Gareth Morgan. 1979. Sociological Analysis & Organisational Analysis: Element of The Sociology of Corporate Life. Heinemann Educational Books, London.

Chua, Wai Fong. 1986. Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review, Vol 61, No 4.

 

 

spi_admin

spi_admin

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *