Ethnomethodology

Oct 31, 2016

*Suhartono

Etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi.

Garfinkel di saat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz di New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel.

Dalam Etnometodologi juga dikenal istilah dramaturgi yaitu bagaimana aktor memanipulasi gerak isyarat untuk menciptakan kesan di sebuah panggung pertunjukkan (Raho 2007) dalam (Riharjo 2011). Etnometodologi bukan pada manajemen kesan individu-individu, melainkan bagaimana aktor-aktor menciptakan perasaan akan realitas yang sama. Etnometodologi memusatkan perhatian pada teknik-teknik interaksi, bukan untuk menciptakan  kesan-kesan  sebagaimana  dramaturgi  Goffman,  melainkan  bagaimana teknik-teknik tersebut bisa mempertahankan suatu perasaan akan realitas sosial.

Istilah Etnometodologi

Etnometodologi adalah salah satu cabang ilmu sosiologi yang mempelajari tentang berbagai upaya, langkah, dan penerapan pengetahuan umum pada kelompok komunitas untuk menghasilkan dan mengenali subjek, realitas, dan alur tindakan yang bisa dipahami bersama-sama (Kuper, 2000) dalam (Sukidin, 2002)..

Radical Ethnomethodology started to mature within a distinct program of “studies of work” in the 70s.  These studies analyze the specific, actual material practices that compose the ongoing situated day-to-day work practices (Heritage 1984). Etnometodologi menurut Heritage adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri. Istilah etnometodologi yang berakar pada bahsa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.

For Garfinkel, ethnomethodology is a form of “practical sociological analysis” (1967:1). This sociological analysis, however, is not merely an undertaking of professional sociologists: ethnomethodology is an everyday activity in which social agents constantly engage as they arrive at an interpretive understanding of other agents and actions through interaction, thus making sense of social reality. Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktek dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya structural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktur sosial.

Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi adalah realitas objektif fakta sosial, fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui atau menunda.

Garfinkel mememunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksutujannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi, dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas didalam memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan sosial tersebut berlangsung. Garfinkel sendiri mendefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir.

Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari.

Ada kesamaan antara metode yang digunakan Garfinkel dengan dengan pemikiran Wittgenstein yang mengatakan bahwa pemahaman umum terdapat dalam percakapan serta transaksi sosial sehari-hari. Etnometodologi di satu sisi meneliti biografi dan maksud yang dikandung oleh aktor-aktor sosial dan di sisi lain menganalisis pemahaman umum (common-sense). Sebagaimana yang diungkapkan dalam karyanya Studies in Ethnometodology dia menunjukkan bahwa:

  1. Perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna daripada langsung kata-kata itu sendiri.
  2. Perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum.
  3. Pemahaman secara umum yang meyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara intersubjektif.
  4. Transaksi dan  peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional, sehingga dengan peristiwa tersebut seseorang akan memahami ucapan orang lain melalui pemahaman aturan itu sesuai dengan kaidah-kaidahnya.

Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut.

Sementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.

Pembahasan realitas common sense Schutz memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Pandangan Schutz tentang dunia sehari-hari sebagai dunia intersubjektif yang dimiliki bersama melalui proses interaksi ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat di mana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri sekalipun dianggap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi.

Diversifikasi Etnometodologi

Studi Setting Institusional

Maynard dan Clyman melukiskan sejumlah karya variasi dalam etnometodologi, tetapi hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol. tipe pertama adalah studi etnometodologi tentang setting institusional. Studi etnometodologi awal yang dilakukan oleh Garfinkel berlangsung dalam setting biasa  dan tak diinstitusionalkan seperti rumah, kemudian bergeser ke arah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi.

Tujuan studi institusional adalah memahami cara orang, dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi.

Analisis Percakapan

Jenis etnometodologi kedua adalah analisis percakapan (conversation analysis). analisis percakapan bertujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan sebagai unsur dasar dalam etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran analisis percakapan adalah terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial.

Lima dasar dalam menganalisis percakapan menurut Zimmerman:

  1. Pengumpulan dan analisis data yang sangat rinci tentang percakapan.
  2. Aspek-aspek kecil percakapan tidak hanya diatur oleh ahli etnometodologis akan tetapi pada mulanya oleh aktor sendiri.
  3. Interaksi dan percakapan bersifat stabil dan teratur. Peneliti bersifat otonom, terpisah dari aktor.
  4. Kerangka percakapan fundamental adalah organisasi yang teratur.
  5. Rangkaian interaksi percakapan dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.

Secara metodologis, analisis percakapan berupaya mempelajari percakapan yang terjadi dalam konteks yang wajar, sering menggunakan audio tape atau video tape. metode perekaman ini memungkinkan informasi lebih mengalir secara wajar dari kehidupan sehari-hari ketimbang dipaksakan oleh peneliti. Asumsi dasar analisis percakapan:

  1. Percakapan adalah landasan dari bentuk-bentuk hubungan antar personal.
  2. Merupakan bentuk interaksi yang paling mudah meresap.
  3. Percakapan terdiri dari matriks prosedur dan praktik komunikasi yang paling terorganisasi.

Asumsi

Etnometodologi memiliki beberapa asumsi sebagai bidang kajian dari perspektif kajian ini:

  1. Terjadi asas reciprocal (bolak-balik) dalam rangka menyetarakan pengertian antara peneliti dan aktor sosial yang terlibat, sehingga dapat dikatakan bahwa kebenaran yang saya anut adalah kebenaran yang dianut oleh orang lain.
  2. Objektivitas dan ketidakraguan dari apa yang tampak, misalnya seperti dunia atau lingkungan atau kenyataan, adalah yang tampak terjadi dan keraguan terhadap kenyataan tersebut patut untuk diragukan.
  3. Adanya proses yang sama, dalam arti bilamana hal itu terjadi disuatu tempat dan suatu waktu, maka hal itu akan dapat terjadi pada tempat dan waktu yang lain.
  4. Pengetahuan umum yang masuk akal adalah sangat jelas, sebagaimana orang lain juga mengetahui.
  5. Adanya proses indexicality (daftar istilah). Masyarakat memiliki perbendaharaan pengetahuan local yang telah diketahui sebelumnya dan dapat mengacu pada indeks lain yang juga telah ada. Peneliti harus memahami proses tersebut untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas.
  6. Adanya proses reflectivity, sebagai gambaran tentang arti. Suatu interpretasi terhadap situasi yang terdapat secara umum sehingga tidak perlu dijelaskan lagi.
  7. Untuk mendapatkan kebenaran peneliti tidak boleh sampai menyakitkan masyarakat. Untuk itu, tidak diperbolehkan adanya pemaksaan kepada lawan bicara atau nara sumber dalam rangka untuk mendapatkan pembuktian yang jelas.

Etnometodologi sebagai Metode Penelitian Kualitatif

Beberapa prasyarat untuk menjadikan etnometodologi sebagai model penelitian kualitatif:

  1. Etnometodologi memusatkan kajian pada realitas yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada prilaku nyata. Setiap masyarakat dalam konsep ini memiliki situasi yang bersifat lokal, terorganisir, memiliki steriotipe dan ideology khusus, termasuk ras, kelas sosial dan gender. Pendekatan ini akan memihak masyarakat bawah dengan ideology yang sangat populis.
  2. Merupakan strategi yang dapat dilakukan melalui discourse analysis (analisis wacana). Paradigma yang dianut adalah semiotic, sehingga metode yang paling tepat adalah dialog. Sumber data dapat diungkap melalui observasi-partisipasi dengan pencatatan data yang teratur menggunakan field note. Pengembangan pertanyaan dilakukan dengan bentuk verbal, sosial interaktif dan dialog.
  3. Etnometodologi memiliki keunggulan dalam mendekati kehidupan empiris, dalam hal ini ada program penekanan yang diberikan. Melakukan pengambilan data langsung dari lapangan melalui model interaktif antara peneliti dan aktor.
  4. Sosial (observasi partisipasi).
  5. Menitikberatkan pada pemahaman diri dan pengalaman hidup sehari-hari. Pengambilan data dengan in-depth interview, akan menggali semua masalah kehidupan sehari-hari dalam bentuk wacana percakapan terbuka. Setiap wacana percakapam dianalisis, dikembangkan sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat lokal.

Metode kualitatif merupakan metode yang dikerjakan oleh semua orang atau untuk semua problema dan tampak bahwa saat ini para penganut inter­aksi simbolik dan etnometodologi mendukung metodologi kualitatif. Tugas mereka, yaitu menangkap proses penafsiran mengenai tingkah laku manusia dengan menuntut verstehen, pemahaman yang empatik atau kemampuan menyerap dan mengungkapkan lagi perasaan-perasaan, motif-motif, dan pemikiran di balik tindakan seseorang. Tentu saja, semua itu diambil dari sudut pandang orang itu sendiri (Bodgan and Taylor, 1992).

Bagi etnometodolog, yang bisa diamati langsung adalah upaya orang-orang untuk menciptakan rasa umum tentang kenyataan sosial. Namun karena posisinya yang masih samar, maka tak ada prinsip yang dirumuskan dengan baik yang menunjukkan bagaimana komunitas para aktor secara aktif menegosiasikan citra umum tentang kenyataan.

Fakta yang mendasari kesalahpahaman pada etnometodologi, yaitu bahwa para sosiolog yang telah mendalam dalam tradisi teoretis kesulitan mengenali suatu alternatif radikal bagi tradisi-tradisi ini. Padahal sebenarnya mereka tak memahami posisi etnometodologi.

Wujud salah tafsir itu menyatakan bahwa etnometodologi mewakili suatu korektif bagi penteorian sosiologis masa kini. Hal ini menjadi asumsi bahwa etnometodologi bisa berfungsi untuk mengecek keandalan dan vali­ditas pengamatan seorang penyelidik dengan sekaligus memaparkan komunitas ilmiah yang menerima pengamatannya. Padahal sebenarnya etnometodologi bukan suatu metode penelitian baru, ia tidak menjawab pertanyaan seputar masalah masyarakat lewat teknik-teknik penelitian baru. Namun, ia berkenaan dengan studi fenomena dengan menggunakan banyak strategi penelitian, meliputi varian-varian metode pengamatan dan peserta pengamatan.

Etnometodologi membutuhkan suatu kumpulan asumsi metafisik alternatif tentang sifat dunia sosial, yaitu:

  1. Dalam segala situasi interaksi manusia berupaya membentuk munculnya konsensus tentang feature dan setting
  2. Feature terdiri dari sikap, pendapat, kepercayaan, dan koisgni lain tentang sifat lingkungan sosial
  3. Manusia terlibat dalam praktik-praktik dan metode antarpribadi eksplisit dan implisit
  4. Praktik dan metode itu dihasilkan dalam memasang dan membongkar “kumpulan bahan yang didatangkan: persepsi oleh manusia yang berinteraksi bahwa lingkungan masa kini mempunyai struktur yang teratur dan bisa dipahami”.
  5. Konsensus ini muncul juga merupakan refleksi dari pemenuhan tiap peserta terhadap aturan dan prosedur untuk mengubah-ubah konsensus itu.
  6. Dalam tiap situasi interaksi, aturan itu tidak bisa digeneralisasikan pada lingkungan lain.
  7. Dengan mengganti aturan, para anggota dalam suatu lingkungan bisa saling menawarkan munculnya suatu dunia “di luar sana” yang teratur dan berhubungan yang “memaksakan” persepsi-persepsi dan tindakan- tindakan tertentu bukan pada bagian mereka.

 

Referensi

 

Garfinkel, Harold. 1967. Studies in Ethnomethodology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc..

Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies for Mass Communication Research. France: The Taylor & Francis e-Library.

Maynard, Douglas W., and Steven E. Clayman. 2002. “Studies in Ethnomethodology and Conversation Analysis”. Washington D.C.: International Institute for Ethnomethodology and Conversation Analysis & University Press of America.

Prepublication copy of: Ethnomethodology and Conversation Analysis. In C. Bryant & D. Peck (eds.) The Handbook of the 21st Century Sociology. Thousands Oaks: Sage,

2006, pp. 8-16, 437-438, 444-445.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP).

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

http://al-fikar.blogspot.com/2014/01/etnometodologi.html

spi_admin

spi_admin

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *