Bagaimana “Aku” Membangun ilmu pengetahuan?

Oct 31, 2016

*Muh Amrih

Salah satu corak pengetahuan ialah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu pengetahuan yang ekuivalen atinya dengan science. Dalan ensiklopedia bahasa Indonesia ilmu pengetahuan adalah suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).

Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu pengetahuan, yaitu: objek materia dan objek forma. Objek materia ialah seluruh lapangan atau badan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. Objek forma ialah objek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu lainnya, jika berobjek sama.Pada garis besarnya objek ilmu pengetahuan adalah alam dan manusia. Oleh karena itu ada ahli yang membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bagian besar, yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia.

Manusia menjadi subjek dengan mengidentifikasi dirinya dengan yang lain. Manusia adalah misteri. Ada sebuah sajak kuno yang bisa menggambarkan kemisterian manusia, //Aku datang-entah dari mana/ Aku ini-entah siapa/ Aku pergi-entah kemana/ Aku akan mati-entah kapan/ Aku heran bahwa aku bergembira//  Misteri ini adalah sebuah kegelapan yang memaksa manusia untuk mencari tahu siapa dirinya, dimana dirinya, dan kemana dirinya untuk keberlangsungan hidupnya itu sendiri. Manusia yang misteri ingin membongkar kemisterian tersebut dengan berbagai jalan, misal dengan berbagai mitos, atau pemikiran, logos, atau dari jawaban yang didapatkan dari tradisi berbagai agama, atau teologi.

Aku (manusia) yang seharusnya menarik perhatian kita itu, adalah sebagian dari suatu alam tak terhingga dan ia sendiri di antara makhluk-makhluk hidup bertubuh, bisa atau memiliki kesanggupan untuk mempertimbangkan (mengawasi, memikirkan) ala mini, mengadakan percobaan-percobaan dan menduga adanya hubungans-hubungan dan undangd-undang antara kenyataan-kenyataan. Ia juga, menjadi objek dari percobaan-percobaan dan perhatian pengawas. Kalau kita mengetahui bahwa pengetahuan adanya undang-undang yang berlaku atas dunia hidup itu bisa menerangi arti dari manusia dengan menerangkan wujudnya di muka bumi, tali-tali yang mempersatukan dia dengan bentuk-bentuk hidup lainnya dan perbedaan-perbedaan yang member sifat-sifat kepadanya, maka kita harus mempelajari evolusi (perkembangan) dari seluruh dunia dari awalnya, tanpa lupa bahwa observasi-observasi kita itu bisa tertutup oleh alat observasi kita sendiri.

Di dalam Al-Qur’an, ada satu episode menarik tentang rencana penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Episode ini dimulai dengan dialog antara Allah SWT dan para malaikat tentang rencana penciptaan manusia dan tujuannya hingga keberadaan Adam AS di bumi dengan berbagai pilihan dan konsekuensinya. Dijelaskan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah sebagai khalifah Allah di muka bumi (Khalifatullah fil Ardhi). Salah satu arti dari khalifah adalah pengganti atau wakil Allah, yang bertugas mewujudkan rencana Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta (Rabbul Alamin). Pemilihan Adam (atau manusia), sebagai pengemban amanah yang amat berat tentulah memiliki alasan kuat. Salah satu alas an terpenting adalah adanya potensi Ilmu pengetahuan pada diri manusia dan kemampuan untuk mengembangkannya. Kedua hal tersebut sangat diperlukan di dalam pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi, di samping berbagai persyaratan-persyaratan lainnya. Setidaknya ada dua pelajaran berharga yang dapat diambil dari peristiwa tersebut di atas, yaitu bahwa Allah SWT adalah sumber pertama dan utama dari ilmu pengetahuan ”The Ultimate Source of Knowledge” sekaligus sebagai’Facilitator’ yang memfasilitasi proses  pembelajaran, atau penguasaan, pengembangan, dan penciptaan ilmu pengetahuan secara mandiri pada diri manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa Allah SWT adalah ’Sang Maha Guru’ pertama bagi manusia yang di dalam rangkaian ayat-ayat tersebut di atas direpresentasikan oleh Adam AS manusia pertama yang di muka bumi.

Ada beberapa cabang ilmu pengetahuans yang berobjek materia sama (manusia), tegasnya tingkah laku manusia. Apabila kita pelajari tingkah laku manusia sebagai makhluk hidup di dalam masyarakat maka tingkah laku itu mempunyai berbagai segi, sedsperti aspek bologis, psikologis, sosiologis dan anthropologis. Tentu segi-segi lain daripada tingkah laku manusia itu masih ada, yaitu aspek-aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia sebagai insan politik, sebagai insan ekonomi, dan sebagai insan hukum atau sebagai insan sejarah. Akan tetapi untuk memahami konsep manusia-masyarakat, pendekatan dari sudut ilmu-ilmu inti tentang tingkah laku manusia, yaitu psikologi, sosiologi dan anthropologi adalah yang paling utama.

Kita telah membuktikan bahwa filsafat secara global berkaitan dengan ilmu pengetahuan lain. Sumbangsih filsafat terhadap ilmu pengetahuan lain adalah dalam menjelaskan prinsip-prinsip asertifnya, yaitu dalam mebuktikan subjek-subjeknya yang tidak badihi dan memdbuktikan kaidah-kaidah universal apriorinya.

  1. Membuktikan subjek-subjek ilmu pengetahuan, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setiap bidang ilmu pengetahuan memiliki subjek pembahasan sendiri. Jika subjeknya tidak badihi maka subjek tersebut perlu dibuktikan. Di dalam pembuktian ilmu setiap subjek ilmu pengetahuan wilayahnya bukan dalam persoalan bidang ilmu pengetahuan itu sendiri dan karenanya membutuhkan metode lain. Misalnya dalam membuktikan wujud hakiki subjek ilmu alam butuh metode akal. Hal-hal seperti ini hanya metafisik yang dapat membantu bidang ilmu pengetahuan lainnya, yang dapat membuktikan subjek-subjek ilmu pengetahuan dalam dengan argumentasi akal.
  2. Membuktikan kaidah-kaidah universal apriori, prinsip universal yang paling penting yang dibutuhkan seluruh bidang ilmu pengetahuan adaladh prinsip kausalitas dan hukum-hukum turunannya. Pusat perhatian seluruh usaha ilmiah adalah bagaimana menemukan hubungan kausal di antara fenomena-fenomena yang ada.

Demikian halnya, hukum-hukum particular kausalitas seperti “keidentikan” dan keniscayaan universal ilmu pengetahuan yang filsafat general dan berlaku pada seluruh ilmu pengetahuan. Walaupun ilmu-ilmu saling berhubungan, namun pada saat yang sama tiap ilmu memiliki batasan tertentu. Berdasarkan batasan itu kita dapat membagi tingkatan ilmu. Dahulu para pemikir dan ilmuwan membagi tingkatan ilmu untuk memudahkan mereka dalam tujuan pedagogis. Dengan cara ini akan terlihat dengan jelas manakah ilmu yang apriori dan mana yang posterior serta metode apa yang dipakai untuk masing-masingnya.

Referensi:

Gharawiyan, Mohsen. 2012. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Ilmu. Jakarta: Sadra Press.

Anshari, Endang Saifuddin. 1985. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: PT Bina Ilmu.

http://www.pandaisikek.net/index.php/artikel/buletin-dakwah/583-allah-swt-qsang-maha-guruq

http://undedescendit.blogspot.com/2011/06/aku-adalah-yang-lain.html

spi_admin

spi_admin

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *