by spi_admin | Nov 10, 2016
*Syamsuddin
Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi yang bersangkutan mampu melaksanakan tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada standar yang tinggi dengan biaya yang rendah. Kinerja yang baik bagi suatu organisasi dicapai ketika administrasi dan penyediaan jasa oleh organisasi yang bersangkutan dilakukan pada tingkat yang ekonomis, efisien dan efektif. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat diartikan secara terpisah. Konsep ekonomi memastikan bahwa biaya input yang digunakan dalam operasional organisasi dapat diminimalkan. Konsep efisien memastikan bahwa output yang maksimal dapat dicapai dengan sumber daya yang tersedia. Sedangkan konsep efektif berarti bahwa jasa yang disediakan/dihasilkan oleh organisasi dapat melayani kebutuhan pengguna jasa dnegan tepat.
Dalam Undang-undangan Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negera, Pasal 4 ayat (3) mendefinisikan pemeriksaan kinerja sebagai pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan asek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Selanjutnya dalam penjelasan UU tersebut dinyatakan bahwa pemeriksaan kinerja lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Jadi, audit yang dilakukan dalam audit kinerja meliputi audit ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Audit ekonomi dan efisiensi disebut management audit atau operational audit, sedangkan audit efektivitas disebut program audit. Penekanan kegiatan audit pada ekonomi, efisiensi dan efektivitas suatu organisasi memberikan ciri khusus yang membedakan audit kinerja dengan audit jenis lainnya.
Umumnya audit kinerja dapat dilihat dari 2 perspektif, yaitu perspektif internal dan eksternal. Dalam perspektif internal, audit kinerja merupakan perkembangan lebih lanjut dari audit intern (internal audit)lalau berubah/berkembang lagi menjadi audit operasional (operational audit) dan selanjutnya menjadi audit manajemen (management audit). Audit manajemen ini berfokus pada penilaian aspek ekonomi dan efisiensi. Audit manajemen kemudian dilengkapi dengan audit program (program audit) yang bertujuan untuk menilai efektivitas. Kombinasi antara audit manajemen dan audit program inilah yang disebut sebagai audit kinerja (performance audit).
Dari perspektif eksternal, audit kinerja merupakan manifestasi dari principal-agent thoery. Masyarakat sebagai principal memercayakan dananya untuk dikelola oleh pemerintah sebagai agent, dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, pemerintah harus menunjukkan akuntabilitasnya kepada masyarakat. Akuntablitas kinerja pemerintah ini harus dinilai oleh pihak yang independen, yaitu auditor eksternal. Di sisi lain, audit kinerja juga didaulat sebagai pengganti mekanisme pasar.
Dari kedua perspektif diatas lah disadari bahwa audit kinerja dapat mendukung tata kelola yang demokratis yaitu dengan:
- Memperkuat kemampuan warganegara untuk mengatur dirinya sendiri;
- Meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah; dan
- Mendorong kejujuran dalam pemerintahan
SUMBER:
- Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara
- https://dwiermayanti.wordpress.com/2010/03/04/audit-kinerja/
- http://ekonomister.blogspot.co.id/2010/10/proses-audit-kinerja-pada-sektor-publik.html
- http://aparatpengawasinternpemerintah.blogspot.co.id/2014/04/audit-kinerja-pemerintah.html
by spi_admin | Nov 5, 2016
*Ahmad Zainuddin
Barang milik negara mencakup semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan ini antara lain dapat dilakukan melalui pembelian, pembangunan, pertukaran, kerja sama, hibah/donasi, dan rampasan.
Dalam rangka menertibkan pengelolaan barang milik negara, maka dilakukan pembagian kewenangan yang jelas atas barang milik negara. Menteri Keuangan adalah sebagai pengelola barang berwenang mengatur pengelolaan barang milik negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menteri/pimpinan lembaga berkedudukan sebagai pengguna barang pada instansi yang dipimpinnya. Para pengguna barang wajib mengelola dan menatausahakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Pengelolaan barang milik negara dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pada suatu negara yang masih menganut line item budgeting, pada umumnya belum memperhatikan kebutuhan barang untuk melaksanakan fungsinya secara efisien. Hal ini dikarenakan belum dilakukan perhitungan biaya layanan secara benar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pengukuran kinerjanya belum dilakukan secara utuh dengan menerapkan full costing. Di negara yang telah menerapkan anggaran berbasis kinerja, pengelolaan barang pada umumnya dilakukan dengan cara lebih efisien karena seluruh komponen biaya dimasukkan sebagai unsur biaya layanan. Dengan demikian maka barang yang diminta dan digunakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
Dalam rangka menjaga kesinambungan pelayanan kepada masyarakat, dilakukan pengaturan atas penghapusan serta pemindahtanganan barang milik negara. Barang milik negara yang diperlukan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan tidak dapat dipindahtangankan. Pengahapusan barang milik negara pada prinsipnya harus mendapat persetujuan DPR. Pemindahtanganan dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR.
Dengan memperhatikan bahwa tanah dan bangunan merupakan kekayaan negara yang sangat penting artinya serta nilainya signifikan maka pemindahtanganan tanah dan bangunan harus mendapat persetujuan DPR kecuali untuk tanah dan bangunan yang tidak sesuai lagi dengan tata ruang wilayah atau penataan kota. Demikian pula untuk bangunan yang sudah memperoleh alokasi anggaran untuk menggantinya, diperuntukkan bagi pegawai negeri, untuk kepentingan umum, ataupun yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. Hal ini terjadi karena pada dasarnya DPR telah menyetujuinya pada saat pembahasan tata ruang ataupun pembahasan APBN.
Dalam rangka efisiensi pengelolaan barang selain tanah dan bangunan, proses penghapusan dan pemindahtanganannya dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan bangunan dengan nilai sampai dengan Rp 10 milyar dilakukan oleh Menteri Keuangan, di atas Rp 10 milyar sampai dengan Rp 100 milyar oleh Presiden, sedangkan di atas Rp 100 milyar oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Apabila pemindahtanganan ini dilakukan dengan penjualan maka harus dilakukan dengan lelang. Dengan pengaturan demikian diharapkan pengelolaan barang dapat dilakukan dengan lebih efisien.
Pengamanan barang milik negara merupakan salah satu sasaran pengendalian intern, baik dari aspek fisik, administrasi, maupun hukum. Oleh karena tanah dan bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan dan ditatausahakan dengan tertib. Tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah RI. Tanah dan bangunan yang tidak lagi digunakan untuk menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan wajib dikembalikan kepada Menteri Keuangan. Barang milik negara tidak diperkenankan untuk digadaikan atau digunakan sebagai jaminan dan tidak boleh diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran utang. Disamping itu barang milik negara atau barang pihak lain yang dikuasai negara yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan tidak dapat disita.
by spi_admin | Nov 2, 2016
Makassar, 1 November 2016 bertempat di Training Center lantai 3 dilaksanakan telaah RKA-K/L Tahun Anggaran 2017 (more…)
by spi_admin | Oct 31, 2016
Risiko dalam auditing berarti bahwa auditor menerima suatu tingkat ketidakpastian tertentu dalam pelaksanaan audit. Risiko audit yaitu risiko bahwa auditor secara tidak sadar gagal untuk menyesuaikan pendapatnya atas laporan keuangan yang salah saji secara material. Auditor menyadari bahwa risiko tersebut ada karena adanya hal-hal sebagai berikut, misalnya ketidakpastian mengenai kompetensi bukti, efektivitas struktur pengendalian intern klien, serta ketidakpastian apakah laporan keuangan memang telah disajikan secara wajar setelah audit selesai.
Standar auditing seksi 312 “Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit” mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan risiko audit dalam:
- Perencanaan audit dan perancangan program audit
- Pengevaluasian akhir apakah laporan keuangan secara keseluruhan disajikan secara wajar sesuai prinsip akuntansi yang berterima umum.
Komponen risiko audit pada umumnya terdiri atas tiga, yaitu:
Risiko Bawaan (Inherent Risk)
Risiko bawaan adalah kerentanan suatu asersi terhadap salah saji material dengan asumsi tidak ada kebijakan dan prosedur struktur pengendalian intern yang terkait. Risiko bawaan selalu ada dan tidak pernah mencapai angka nol. Risiko bawaan tidak dapat diubah oleh penerapan prosedur audit yang paling baik sekalipun.
Risiko bawaan bervariasi untuk setiap asersi. Sebagai contoh, asersi keberadaan dan keterjadia kas mempunyai risiko bawaan yang lebih tinggi daripada aktiva tetap. Hal ini disebabkan uang tunai merupakan suatu aset yang sangat rawan terhadap manipulasi, dan semua orang berminat terhadap uang. Sedangkan aktiva tetap lebih terlihat jelas keberadaannya. Risiko bawaan juga dibedakan atas risiko bawaan setiap akun dan risiko bawaan keseluruhan untuk banyak akun.
Risiko Pengendalian (Control Risk)
Risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi, tidak dapat dideteksi maupun dicegah secara tepat pada waktunya oleh berbagai kebijakan dan prosedur pengendalian intern entitas. Risiko pengendalian tidak pernah mencapai angka nol karena pengendalian intern tidak akan dapat menghasilkan keyakinan penuh bahwa semua salah saji material akan dapat dideteksi maupun dicegah.
Risiko pengendalian merupakan fungsi dari efektivitas struktur pengendalian intern. Semakin efektif struktur pengendalian intern entitas klien, semakin kecil risiko pengendaliannya. Penetapan risiko pengendalian didasarkan atas kecukupan bukti audit yang menyatakan bahwa struktur pengendalian intern klien adalah efektif.
Risiko Deteksi (Detection Risk)
Risiko deteksi merupakan risiko ketika auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi tergantung atas penetapan auditor terhadap risiko audit, risiko bawaan, dan risiko pengendalian. Semakin besar risiko audit, semakin besar pula risiko deteksi, sedangkan semakin besar risiko bawaan ataupun risiko pengendalian, semakin kecil risiko deteksi.
Risiko deteksi merupakan risiko yang dapat dikendalikan oleh auditor. Hal ini disebabkan oleh risiko deteksi yang merupakan fungsi dari efektivitas prosedur dan penerapannya oleh auditor dengan cara melakukan perencanaan yang memadai, supervisi atau pengawasan yang tepat, dan penerapan prosedur audit yang efektif, serta penerapan standar pengendalian mutu.
https://ccaccounting.wordpress.com/2013/11/01/pengertian-risiko-audit/
Halim, Abdul. Auditing Dasar-Dasar Audit Laporan Keuangan. 2015. Edisi Kelima Jilid I. Yogyakarta : UPP STIM YKPN
by spi_admin | Oct 31, 2016
*Purwanto Wahyudi
Tujuan Audit atas laporan keuangan oleh auditor baik auditor internal, eksternal maupun auditor pemerintahan pada umumnya untuk memberikan pendapat tentang wajar atau tidaknya laporan keuangan yang diperiksa, Sehingga memberikan keyakinan kepada pihak manajemen maupun pihak eksternal dalam mengambil suatu keputusan. Seorang auditor dalam melakukan pengauditan harus menjalankan semua prosedur audit yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kualitas audit. Sesuai dengan standar audit yang ke dua yaitu standar pekerjaan lapangan yang mengatakan bahwa auditor harus memperoleh cukup bukti yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki dasar yang layak untuk memberikan pendapat yang menyangkut laporan keungan yang diaudit
Prosedur audit adalah rincian instruksi untuk pengumpulan jenis bukti audit yang diperoleh pada suatu waktu tertentu saat berlangsungnya proses audit. Prosedur audit sebagai langkah-langkah yang harus dijalankan auditor dalam melaksanakan pemeriksaanya dan dapat bekerja secara efisien dan efektif. Dengan demikian mengungkapkan bahwa prosedur audit ialah langkah yang wajib dilakukan auditor dalam pemeriksaan supaya terhindar dari penyimpangan. Dalam standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN) menjelaskan bahwa audit pemerintah harus menggunakan prosedur yang sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan Negara. SPKN ini ditetapkan dengan peraturan BPK nomor 01 tahun 2007 sebagaimana amanat UU yang ada. SPKN memuat persyaratan profesional pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan dan persyaratan laporan pemeriksaan yang profesional bagi para pemeriksa dan organisasi pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Kualitas seorang auditor dapat dilihat dari seberapa jauh auditor menjalankan prosedur-prosedur audit yang tercantum dalam program audit. Sedangkan hal yang dihadapi profesi auditor saat ini adalah praktik penghentian prematur atas prosedur audit. Praktik penghentian premature atas prosedur audit (Premature sign off prosedur audit) merupakan perilaku penyimpangan seorang auditor dalam melakaukan pemeriksaan dengan menghilangkan atau meninggalkan beberapa prosedur audit. Menurut christina mendefinisikan penghentian prematur sebagai suatu keadaan yang menunjukkan auditor menghentikan satu atau beberapa langkah audit yang diperlukan dalam prosedur audit tanpa menggantikan dengan langkah yang lain.
Perilaku pengurangan kualitas audit dideskripsikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh auditor selama melakukan pekerjaan dimana tindakan ini dapat mengurangi ketepatan dan keefektifan pengumpulan bukti audit. Perilaku ini muncul karena adanya dilema antara inherent cost (biaya yang melekat pada proses audit) dan kualitas, tekanan waktu yang dihadapi oleh auditor dalam proses auditnya. Satu sisi, auditor harus memenuhi standar profesional yang mendorong mereka untuk mencapai kualitas audit pada level tinggi namun di sisi lain, auditor menghadapi hambatan biaya yang membuat mereka memiliki kecenderungan untuk menurunkan kualitas audit
Penghentian premature prosedur audit mengacu pada langkah untuk menghentikan beberapa prosedur audit. Penghentian prematur atas prosedur audit merupakan salah satu bentuk perilaku pengurangan kualitas audit (Reduced Audit Quality / RAQ). Penghentian prematur atas prosedur audit dapat terjadi berkenaan dengan penghentian terhadap prosedur audit yang diisyaratkan, tidak melakukan pekerjaan secara lengkap, dan mengabaikan prosedur audit, tetapi auditor berani mengungkapkan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Perilaku tersebut dapat meningkatkan tuntutan hukum terhadap auditor. Jika perilaku disfungsional ini dilakukan maka akan mempengaruhi kualitas audit yang akan merugikan pihak eksternal atau pemakai laporan keuangan nantinya
Bahan Bacaan
- IAI, Standar Profesional Akuntan Publik, per 1 Januari 2001.
- Liantih Rahmah,”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penghentian Premature Atas Prosedur Audit”,
- Lestari, Ayu Puji, factor-faktor yang mempengaruhi perilaku auditor dalam menghentikan premature prosedur audit”