Bukti, Asersi, dan Sampel

*Ahmad Zainuddin

Bukti adalah segala informasi yang mendukung angka-angka atau informasi lain yang disajikan dalam laporan keuangan yang dapat digunakan auditor sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya. Standar pekerjaan lapangan ketiga mewajibkan auditor untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan kompeten sebagai dasar bagi auditor untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diauditnya.

Sebagian besar pekerjaan auditor independen dalam rangka memberikan pendapat atas laporan keuangan terdiri dari usaha untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit. Bukti audit sangat bervariasi pengaruhnya terhadap kesimpulan yang ditarik oleh auditor independen dalam rangka memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan. Relevansi, objektivitas, ketepatan waktu dan keberadaan bukti lain yang menguatkan kesimpulan, seluruhnya berpengaruh terhadap kompetensi bukti.

Asersi adalah pernyataan manajemen yanvg terkandung di dalam komponen laporan keuangan. Asersi adalah suatu deklarasi, atau suatu rangkaian deklarasi secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggungjawab atas deklarasi tersebut. Jadi asersi adalah pernyataan yang dibuat oleh satu pihak yang secara implisit dimaksudkan untuk digunakan oleh pihak lain (pihak ketiga). Untuk laporan keuangan historis, asesri merupakan pernyataan dalam laporan keuangan oleh manajemen sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pernyataan tersebut dapat bersifat implisit atau eksplisit serta dapat diklasifikasikan berdasarkan penggolongan besar sebagai berikut

Asersi tentang keberadaan atau keterjadian. Berhubungan dengan apakah aktiva atau uang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu.

Asersi tentang kelengkapan. Berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan telah dicantumkan didalamnya.

Asersi tentang hak dan kewajiban. Berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban  organisasi pada tanggal tertentu.

Asersi tentang penilaian dan alokasi. Berhubungan dengan apakah komponen-komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan biaya sudah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah semestinya.

Asersi tentang penyajian dan pengungkapan. Berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu dalam laporan keuangan diklasifikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan semestinya.

Dalam program audit, berbagai keputusan terkait bukti audit adalah:

  1. Daftar atas berbagai prosedur audit untuk audit tertentu atau untuk keseluruhan proses audit
  2. Mencakup ukuran sampel, item yang dipilih, waktu pelaksanaan pengujian
  3. Setiap komponen audit akan terdapat suatu program audit yang mengandung sejumlah prosedur audit.

Selain itu, dalam program audit, keputusan untuk menentukan jenis dan jumlah bukti audit, antara lain:

  1. Prosedur audit apakah yang akan digunakan

Prosedur audit: rincian instruksi untuk pengumpulan jenis bukti audit yang diperoleh pada saat berlangsungnya proses audit

  1. Ukuran sampel sebesar apakah yang akan dipilih untuk prosedur tertentu.

Ukuran sampel bagi setiap prosedur berbeda antara satu penugasan dengan penugasan audit lainnya

  1. Item manakah yang akan dipilih dari populasi

Berdasarkan ukuran sampel, ditentukan item dari populasi yang akan diuji.

  1. Kapankah berbagai prosedur itu akan dilakukan
  • Umumnya proses audit dilaksanakan setelah beberapa minggu atau beberapa bulan setelah berakhirnya suatu periode waktu
  • Dipengaruhi oleh kapan audit tersebut harus diselesaikan agar sesuai dengan kebutuhan klien.

Ukuran sampel sebesar apakah yang akan dipilih untuk prosedur tertentu.

Ukuran sampel bagi setiap prosedur berbeda antara satu penugasan dengan penugasan audit lainnya.

Kompetensi Bukti:

  • Tingkat dimana bukti tersebut dapat dipercaya atau diyakini kebenarannya (keterpercayaan bukti/ reliability of evidence)
  • Tidak dapat ditingkatkan dengan cara memperbesar ukuran sampel atau mengambil item lainnya dari suatu populasi.

Faktor yang memengaruhi kecukupan ukuran sampel:

  • Ekspektasi auditor atas kemungkinan salah saji
  • Efektivitas dari pengendalian internal klien

 

 

Teori Kritis Habermas

*Suhartono

“ Representasi atas kepentingan termasuk bagian dari kepentingan itu sendiri”

– Jurgen Habermas –

Sebagaimana telah dirumuskan kembali oleh Habermas, Teori Kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah’ sebagaimana dikenal secara luas di kenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas melukiskan Teori Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta obyektif seperti dianut teori-teori positivis. Teori Kritis hendak menembus realitas sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa Teori Kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual. Degan demikian Teori Kritis tidak hendak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris.

Critical accounting study adalah suatu studi yang mempunyai tujuan ganda, yaitu memahami suatu praktik akuntansi dimana ia diterapkan dan sekaligus berusaha untuk menemukan suatu pemecahan ke arah penyempurnaan praktik akuntansi itu sendiri. Habermas dikenal dengan teorinya, yaitu The Theory of Communicative Action yang sering digunakan untuk menganalisis interaksi sosial melalui pemisahan dua interaksi mendasar, yaitu: (1) interaksi berdasarkan kebutuhan sosial (lifeworld); dan (2) interaksi yang dipengaruhi oleh mekanisme sistem (system mechanism). Sawarjuwono (2005), menyebutkan bahwa interaksi sosial yang termasuk dalam konsep lifeworld adalah aktivitas sosial yang dilakukan tanpa adanya unsur keterpaksaan dan terjadi dalam suasana communicative action. Sementara itu, interaksi sosial yang termasuk dalam konsep system mechanism, adalah aktivitas sosial yang dilakukan karena adanya unsur keterpaksaan dan terjadi tidak dalam suasana communicative action, karena dipengaruhi oleh steering media, yaitu media money (pertimbangan ekonomis) dan media power (peraturan).

Dalam konteks masyarakat industri maju, Teori Kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas untuk membuka ‘kedok’ ideologis dari positivisme. Positivisme bukan sekedar pandangan positivistis mengenai ilmu pengetahuan  melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai ‘cara berpikir’ yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri  maju. Dari keseluruhan keprihatinannya atas permasalahan rasionalitas zaman ini, dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, Teori Kritis berusaha untuk mengatasi saintisme atau positivisme.  Pada taraf teori sosial, kritik itu dibidikkan ke arah berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif. Pada kedua taraf itu saling mengandaikan, seperti dinyatakan Habermas: “… suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori social”. Pemahaman positivisme atas ilmu-ilmu sosial mengandung relevansi politik yang sama beratnya dengan klaim-klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi dalam melanggengkan status quo masyarakat. Sebaliknya, interaksi social sendiri  diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positivistis yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasionalitas teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di sini teori mendorong praxis hidup politis manusia.

Meskipun terdapat garis umum yang sama, Teori Kritis itu cukup bervariasi dalam gaya dan isinya menurut pemikirannya masing-masing, entah itu Horkheimer, Adorno atau Marcuse.  Sementara Teori Kritis menurut Habermas secara khusus mempebaharui Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang mengalami jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya, untuk mengadakan perubahan-perubahan structural secara radikal, Habermas merumuskan kepribatinan itu secara baru. Perubahan itu tidak dapat dipaksakan secara revolusioner melalui ‘jalan kekerasan’, juga tak dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan revolusioner melalui kekerasan hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi pada rezim Stalin. Di lain pihak, masyarakat memang tidak akan berubah selama angggota-anggotanya menunggu datangnya perubahan bagaikan menunggu terjadinya gerhana. Menurut Habermas – dan inilah gagasan orisinalnya — transformasi social perlu diperjuangkan melalui ‘ dialog-dialog emansipatoris’ . Hanya melalui ‘jalan komunikasi’ dan bukan melalui ‘jalan dominasi’ inilah diutopikan terwujudnya suatu masyarakat demokratis radikal, yaitu masyarakat yang berinteraksi dalam susasana ‘komunikasi bebas dari penguasaan’.

Jurgen Habermas adalah sosok filsuf pewaris pemikiran Madzhab Frankfrut. Pemikiran-pemikirannya cukup rumit dan sarat dengan rujukan metafora tapi sangat filosofis. Narasi besar pemikirannya bertumpu pada usaha pencarian sebuah teori yang secara memadai merumuskan syarat-syarat nyata perwujudan sebuah masyarakat yang bebas dari penindasan. Ia mencoba mengembangkan sebuah teori kritis. Madzhab Habermas ini terkenal dengan “Teori Kritis” atau “Teori Kritis Masyarakat” yang melemparkan sebuah kritikan serius terhadap konsep teori Positivisme dan menyebut positivisme itu sebagai saintisme karena mengadopsi metode ilmu-ilmu alam untuk menggagas unified science. Dikatakan bahwa positivisme hanya berpura-pura bertindak objektif dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, padahal ia menyembunyikan kekuasaan dengan mempertahankan status Quo masyarakat dan tidak mendorong perubahan.

Teori kritis juga mampu membongkar kedok rasionalitas pencerahaan yang disebut rasionalitas instrumental itu telah gagal mencapai tujuan emansipatifnya yaitu membebaskan manusia dari perbudakan serta membangun kehidupan masyarakat independent yang bebas untuk mengatur kehidupan sosialnya sendiri. Kegagalan teori kritis generasi pertama lebih disebabkan terperangkap atas teori filosofis Karl Marx yang mereduksi manusia hanya sebagai makhluk pekerja. Kemudian Jurgen Habermas muncul sebagai pembaharu Teori Kritis dengan memperbaharui konsep paradigma komunikasi. Hal ini begitu nampak dengan langkah-langkah Habermas yang melakukan dialog-dialog Habermas dengan Foucoult tentang kekuasaan, dengan Parson tentang krisis sosial, dengan Popper mengenai falsifikasi dan yang terakhir bagaimana Habermas merumuskan hermeneutika kritis yang mengadopsi psikoanalisa untuk menggabungkan explanation dan understanding yang mengarah pada metode refleksi diri. Oleh karena itulah teori kritis ini mampu diterapkan dalam berbagai studi sosial seperti penelitian sosial kritis, kebijakan Negara dan kebijakan sosial, kontrol sosial, budaya pop analisa wacana dan media massa, kajian jender, psikologi sosial, sosiologi pendidikan, gerakan sosial, metode penelitian, ras dan etnisitas, politik mikro, pendidikan, serta pembaharuan sosiologi. Pada hakekatnya teori kritis ini memiliki empat karakter utama yaitu :

  1. Teori kritis bersifat historis, artinya teori kritis dilambangkan berdasarkan situasi masyarakat yang kongkrit dan kritik imanen yaitu kritik terhadap masyarakat yang nyata-nyata tidak manusiawi
  2. Teori kritis bersifar kritis terhadap dirinya sendiri dengan cara evaluasi, kritik dan refleksi atas dirinya sendiri
  3. Teori kritis menggunakan metode dialektis sehingga teori kritis memiliki kecurigaan terhadap situasi masyarakat aktual
  4. Teori kritis adalah teori dengan maksud praktis yaitu teori yang mendorong transformasi masyarakat dan hanya mungkin dilakukan dalam praxis.

Sejarah Hidup Jurgen Habermas dan Karya Besarnya

Jurgen Habermas dilahirkan pada tahun 1929 di Dusseldorf Jerman. Ia mempelajari filsafat di Universitas Got tingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for social Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan Sejarah dalam pemikiran Schelling.

Jurgen Habermas adalah salah seorang tokoh dari Filsafat Kritis. Ciri khas dari filsafat kritisnya adalah, bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Filsafat ini tidak mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni. Pemikiran kritis merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata

Sementara ia melibatkan diri di dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitations-Schrift yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat.

Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut. Seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left) , meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Dalam hal ini ia mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse. Namun sejak tahun 1970-an, hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya, Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif.

Memetakan Pemikiran Habermas

Untuk memahami pemikiran JURGEN Habermas terlebih dahulu harus dipahami latar belakang yang mempengaruhi teori-teori pemikirannya. Bisa dipastikan bahwa Habermas sangat dipengaruhi oleh warisan intelektual Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan Teori Kritisnya, sejak tahun 30-an Habermas sudah tertarik dan mengkaji gaya karya-karya Hokheimer dan Adorno. Ternyata dikemudian hari teori Mazhab Frankfrut ini tidak saja menentukan gaya pikir dan isi teori-teorinya namun lebih jauh Habermas juga melakukan semacam pembaharuan atas kelemahan teori kritis itu terutama dengan melihat pesimisnya pendahulunya dalam memandang dunia modern. Disebut Teori Kritis karena mazhab pemikiran ini dikenal sangat getol mensosialisasikan suatu gaya berpikir analisis.

Kritik adalah konsep kunci untuk memahami Teori Kritis. Kritik juga merupakan suatu program bagi Mazhab Frankfrut untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masayarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya. Habermas dikenal sebagai pembaharu tradisi intelektual yang dirintis oleh Max Horkheimer, sepanjang yang dirumuskan habermas ada enam tema dalam program teori mereka :a) bentuk-bentuk integrasi sosial, b)Masyarakat postliberal c) Sosialisasi dan perkembangan ego, d)media massa dan kebudayaan massa, e)psikologi sosial protes dan f)Teori seni dan kritik atas positivism

Habermas dan Para Pendahulunya

Jauh sebelum menggabungkan diri di dalam Institut, Habermas telah membaca karya-karya Hokheimer dan Adorno di tahun 30-an, antara lain Traditionelle und Kritische Theorie, tetapi juga karya mereka yang diterbitkan sertelah perang, Dialektik der Aufklarung. Buku-buku tersebut sangat mempengaruhi gaya dan alur pemikiran-pemikiran Habermas selanjutnya. Dialektik merupakan kritikan terhadap pemikiran positivisme yang (menurut Marcus, 1964) dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang setelah penemuan metode empiris-eksperimental sebagaimana dituntut oleh positivisme, telah berubah menjadi ideologi dan menimbulkan model berpikir satu dimensi. Dari penelusuran dan analisis terhadap pemikiran modern (pencerahan) itu, mereka menyimpulkan bahwa pencerahan telah menghasilkan “rasionalitas bertujuan” (Zweckrasionalitat) yang ujung-ujungnya menimbulkan bentuk positivisme, saintisme serta teknokratisme. Buku dialektik tidak hanya memikat hatinya, melainkan juga menggugah minatnya untuk memperdalam permasalahan pokok yang dibahas di dalamnya, yaitu masalah rasionalitas dan pencerahan, yang oleh Adorno dan Horkheimer dihadapi secara pesimistis. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Habermas, yang oleh Bertens dinyatakan:

“ Buku itu (Dialektik) membuat saya berani untuk membaca Marx secara sistematis dan tidak hanya secara historis. Teori Kritik Mazhab Frankfrut- tak ada tandingannya waktu itu. Membaca Adorno membuat saya berani membahas secara sistematis apa yang secara historis dipaparkan oleh Lukacs dan Korsch : Teori reifikasi sebagai teori rasionalisasi menurut Weber. Sudah sejak saat itu, masalah saya adalah teori tentang modernitas, suatu teori mengenai patologi modernitas dari sudut pandang realisasi-realisasi yang bercatat –dari rasio dalam sejarah”

Dialektik der Aufklarung, bertendensi pada keinginan untuk mencerahkan, memberikan cahaya dan pengertian, atau ingin membebaskan manusia dari prasangka, kepercayaan-kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, takhayul, penipuan dan kebohongan , yang berujung menjadi jembatan keprihatinan antara Habermas dan para pendahulunya dalam menyusun Teori Kritisnya. Seperti kita ketahui, para pendahulunya memandang pencerahan telah membuahkan Zweckrationalitat (Rasionalitas Tujuan), sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme, teknokratisme dan barbarisme gaya baru. Pandangan mereka mengenai rasionalitas modern itu tak lain merupakan radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi versi Teori Kritis setelah banyak mendapat inspirasi dari Lukacs. Seperti yang kita ketahui dari kritik-kritik mereka teori rasionalisai tidak hanya menyangkut analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Habermas juga meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah kemanusiaan pada umumnya. Keprihatinannya terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat analisis baik atas rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup sosial. Satu hal yang membedakannya dari para pendahulunya menghadapi rasionalisasi adalah sikapnya terhadap masalah ini. Jika para pendahulunya menghadapi rasionalisasi secara pesimistis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru, Habermas menemukan aspek-aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada harapan real yang dapat ditempatkan dalam konteks rasionalisasi. Meskipun demikian, tidak seperti Adorno dan Horkheimer, Habermas menolak teori Marx sebagai teori, seperti juga pesimisme kultural yang ada pada generasi pertama dari Mazhab ini. Habermas yakin bahwa generasi pertama mazhab ini keliru saat mengacaukan “rasionalitas sistem” dengan “rasionalitas aksi”. Memang JURGEN Habermas sangat menekankan signifikansi rasionalitas dalam pemikiran filsafatnya. Hal ini menjadi sumbangannya yang paling berharga bagi perkembangan teori sosial kontemporer. Ia disebut-sebut sebagai teoritikus sosial anggota Mazhab Pemikiran Frankfurt paling representative. Habermas merupakan generasi terkini dari para pengikut Mazhab ini. .

Sama seperti para pendahulunya, Habermas hendak membangun sebuah “teori dengan maksud praxis”, maka dalam banyak hal Habermas tidak dapat meninggalkan teori warisan dari Mazhab Frankfrut pendahulunya. Disini Habermas menghadapi masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai teknologi sosial. Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berpikir, merupakan factor yang penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia, yaitu kerja. Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. Meskipun Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, ia bersikap tegas terhadapnya apabila diterapkan dalam konteks interaksi sosial. Di sini seperti para pendahulunya, ia mengecam positivisme sebagai “ideologis” dan saintisme karena positivisme mengkalim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang, termasuk kehidupan social manusia.

Habermas dan Marxisme

Dalam konteks Marxisme pada umumnya, Habermas adalah seorang filsuf yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran Marxis, bukan hanya Marxisme-ortodoks, melainkan juga Neo-Marxisme pada umumnya. Seperti para pendahulunya ia bermaksud menyesuaikan warisan Marxis dengan tuntutan-tuntutan zaman ini, dan lebih melakukan kritik karena bagi Habermas karya Marx ini merupakan kritik, dengan jalan tidak hanya dengan mengupas karya-karya Marx tetapi juga melakukan penafsiran ulang dari penafsiran yang dilakukan oleh para penganut aliran ini. Corak penafsiran Habermas bersifat ilmiah dan filosofis, ia berusaha mengeliminir ciri-ciri romantis dari pemikiran Marx yang secara dominan mempengaruhi Adorno, Hokheimer dan Marcuse. Hal ini ia lakukan dengan tujuan Habermas ingin memurnikan pemikiran-pemikiran Marxis dari romantisme maupun positivisme yang dianut oleh partai-partai komunis dan cendekia marxis lainnya.

Menurut Habermas, apabila Marx hanya sebagai ilmuwan belaka maka para penganut ajaran marxisme akan jatuh kepada sikap positivistis yang sekaligus bersifat ideologis, positivistis karena, mereka mengambil begitu saja pernyataan-pernyataan Marx yang sebenarnya tidak lagi memiliki relevansi bagi masyarakat dewasa ini, dan dengan cara seperti ini teori-teori Marx itu dipalsukan dan menjadi dogmatisme, dan ideologis karena pemikiran-pemikiran Marx akan digunakan sebagai legitimasi praxis politis yang kebal dari argument-argumen lawan. Ideologi adalah ide-ide yang dipercaya sebagai alasan tindakan akan tetapi tidak pernah efektif sebagai motif tindakan, alasan Habermas adalah karena menggerakkan kelompok sosial sebenarnya adalah motif yang sengaja disembunyikan dan lama kelamaan tidak disadari lagi sebagai motif.

Di dalam tulisannya, Between Philosophy and Science : Marxism as Critique, ia memaparkan empat alasan histories mengapa konsep-konsep Marx di dalam kritik Ekonomi Politisnya tidak lagi relevan bagi keadaan zaman sekarang, yaitu :

  1. Bahwa pemisahan negara dan masyarakat yang menandai periode kapitalisme liberal sudah tidak relevan lagi. Politik tidak lagi merupakan superstruktur seperti dikira Marx dan masyarakat sendiri tidak lagi dapat dipandang secara simplisistis sebagai hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur politis.
  2. Di dalam masyarakat kapitalisme lanjut, standar hidup sudah berkembang sedemikian jauh sehingga revolusi tak dapat dikobarkan secara langsung dengan istilah-istilah ekonomis, kelas-kelas social juga semakin terintegrasi di dalam keseluruhan masyarakat dan berbagai bentuk penindasan semakin tersamar dan terorganisasikan. Deprivasi yang dalam masyarakat kapitalis liberal dirasakan oleh kaum buruh, dewasa ini tidak hanya dirasakan oleh kelas tertentu saja. Dalam konteks itu, teori kelas tak dapat dijadikan dasar untuk membangun teori revolusioner.
  3. Karena kondosi-kondisi semacam itu, kaum proletar tidak dapat dijadikan tumpuan harapan-harapan sebagai pengemban revolusi sejati. Perjuangan kelas dalam level Negara nasional telah distabilisasikan dan sebagai gantinya terjadilah persaingan keras antara “kubu kapitalis” dan “kubu sosialis”, pada level internasional.
  4. Dengan bangkitnya Negara komunis Uni Soviet, diskusi sistematis sekitar Marxisme dipadamkan dan sebagai gantinya konsep-konsep Marxisme ortodoks membuktikan dirinya menjadi ideology. Jalan sosialis yang ditempuh Uni Soviet sendiri jauh dari kenyataan terwujudnya masyarakat bebas yang dicita-citakan oleh Karl Marx sendiri.

Kritik atas Rasionalisasi

Menurut Habermas, rasionalitas-yakni, kemampuan berpikir logis dan analitis-lebih dari sekedar kalkulasi strategis bagaimana mencapai beberapa tujuan yang telah dipilih. Alih-alih, rasionalitas merupakan sebentuk “tindakan komunikatif” yang diorientasikan untuk mencapai kesepakatan atau konsensus dengan orang lain. Jadi menurutnya,adalah suatu hal yang sangat penting bahwa dalam menggunakan bahasa berarti kita berpartisipasi di dalam apa yang menurut Habermas disebut “Situasi pembicaraan yang ideal” atau “komunikasi dialogis-emansipatoris bebas kekuasaan”. Dalam situasi seperti ini masyarakat akan mampu menghindari penggunaan klaim-klaim politik dan moral dan mendasarkan diri semata pada rasionalitas.

Dalam pandangannya Habermas mengukur rasionalitas itu dengan mengajukan kriteria tentang pandangan dunia terhadap dinamika sebuah masyarakat dan menjelaskan proses-proses belajar mana yang mengembangkannya. Jika Karl Marx menemukan adanya hubungan lurus antara perkembangan alat-alat produksi, terhadap masyarakat, namun bagi Habermas tak ada garis lurus antara perkembangan teknologi dengan pemahaman diri masyarakat, melainkan sebaliknya, yaitu perkembangan alat-alat produksi itu datang belakangan. Magnis-Suseno mencontohkan dengan keberadaan agama islam, bahwa agama islam itu tidak lahir karena adanya cara produksi masyarakat Arab waktu itu, melainkan karena terjadi perubahan politik dan ekonomi masayarakat Arab dalam abad ke-7 masehi.

Kritik atas Paham Positivisme

Konsep ilmu pengetahuan dan kepentingan adalah konsep sentral yang dikemukakan Habermas dalam melakukan kritikan terhadap paradigma psoitivisme, akibat klaim teori positivisme yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, seperti halnya yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Para pendukung positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat kontemplatif dan affirmatif, oleh karena itu metode yang dipakai ilmu-ilmu alam tidak berbeda dan dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Artinya jika ilmu-ilmu sosial ingin diterima sebagai ilmu pengetahuan harus dapat menghasilkan hukum-hukum umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti didalam ilmu-ilmu alam.

Bagi positivisme sebuah riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun. Seorang ilmuwan dan peneliti harus mampu meninggalkan rasa perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya dan penilaian-penilaian moralnya atau singkatnya segala kepentingannya itu untuk mendekati objek penelitian sosialnya sehingga diperoleh “pengetahuan Objektif” tentang kenyataan sosial atau fakta sosial.

Hokhiemer dan Adorno telah mengembangkan pendekatan kritis dan materialistik itu menjadi kritik menyeluruh terhadap masyarakat industri barat, semakin maju masyarakat industri modern menjadi masyarakat konsumsi berlimpah serta berhasil melarutkan pertentangan-pertentangan antar kelas sosial mengakibatkan masyarakat itu semakin bersifat total. Hal ini dalam pandangan teori kritis masyarakat sebagai akibat dari dominasi prinsip dasar kapitalisme yaitu prinsip tukar. Akan tetapi kekuasaan halus prinsip tukar itu juga semakin total sehingga setiap usaha-usaha untuk pembebasannyapun justru semakin memperkuatnya. Akibatnya Horkheimer dan Adorno bersikap semakin pesimistik. Berbeda dengan gaya berfilsafat Habermas yang tidak mengikuti gaya berfilsafat kedua gurunya yang pesimistik itu, habermas tidak pesimistik, ia tidak mencurigai teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya Habermas menganggap teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai “aktor produktif terpenting” dalam bagian kedua abad ke-20. Dan untuk mengembangkan serta memantapkan teori kritis masyarakat secara teoritis justru memakai teori-teori ilmu pengetahuan yang paling canggih.

Habermas sebagai Pembaharu Teori Kritis Melalui Paradigma Komunikasi dan Bahasa

Aksi komunikasi adalah sebuah bentuk interaksi yang tingkat keberhasilannya tergantung kepada ke dua belak pihak yang berinteraksi dalam mencapai persetujuan/kesepakatan dan saling pengertian, atau hubungan antara subyek dengan subyek (dialogis) dan bukan hubungan rasionalitas sasaran (monologis). Komunikasi dialogis ini masing-masing pihak berperan aktif, dimana semua pihak mengambil alih peran orang lain sehingga terjadi apa yang disebut Mead “ideal role-taking”. Pada komunikasi dialogis ini saling pengertian dapat tercapai, sehingga Habermas menamakan dengan Rasionalitas komunikatif. Teori Aksi komunikasi Habermas terbagi menjadi speech-act philosophy filsafat seni pembicaraan, sosiolinguistik, dan khususnya dari ide keterlibatan percakapan (the idea of conversational implicature ).

Menurut Habermas, interaksi antar manusia dapat dimediasikan secara simbolis lewat bahasa dan gesture tubuh yang ekspresif (mengandung makna) , sedangkan hakekat bahasa adalah komunikasi, dan komunikasi hanya mungkin dilakukan dalam keadaan saling bebas, karena tujuan komunikasi adalah menjalin saling pengertian, oleh karena itu rasionalitas dalam bahasa harus menjadi pusat perhatian. Komunikasi dalam bahasa akan berhasil jika memenuhi empat norma atau klaim yaitu:

  1. Pertama, Jelas, artinya orang dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud
  2. Kedua, Ia harus benar, artinya mengungkapkan apa yang mau diungkapkan
  3. Ketiga, Ia harus jujur, jadi tidak boleh bohong
  4. Keempat, Ia harus betul, sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama.

Dunia-hidup (lifeworld) adalah sebuah konsep yang semula digunakannoleh Alfred Schutz untuk merujuk dunia kehidupan sehari-hari. Schutz terutama mengkaitkannya dengan hubungan-hubungan intersubjektif dalam dunia hidup, namun Habermas memiliki suatu ketertarikan yang berbeda tentang dunia hidup. Habermas pada pokoknya mengkaitkannya dengan komunikasi antar pribadi yang terdapat dalam dunia hidup. Secara ideal, komunikasi tersebut meski bebas dan terbuka, dan tidak ada tekanan. Bagi Habermas komunikasi yang bebas dan terbuka berarti suatu rasionalisasi dalam dunia-hidup. Sekalipun konsep rasionalisasi telah digunakan dalam maknanya yang negatif, dan dalam konteks lain Habermas akan menggunakannya secara demikian, dalam lingkup terbatas dunia-hidup dan komunikasi, rasionaliasasi memiliki konotasi positif. Yang berinteraksi dengan yang lain akan secara rasional termotivasikan untuk menerima komunikasi yang bebas dan terbuka, mengarah pada kesalingpahaman. Metode rasional akan digunakan untuk menerima konsensus. Konsensus akan muncul pada, dan dipahami dapat dicapai , bilamana argument yang lebih baik menang. Dengan kata lain, kekuatan-kekuatan luar seperti kekuasaan yang lebih besar dari partai tidak akan berperan dalam pencapaian konsensus. Orang-orang memperdebatkan issue-issue dan konsensus dicapai hanya berdasarkan pada argumentasi yang paling baik.

Bagi Habermas terdapat tiga dimensi dunia-hidup, yakni: dunia objektif yang merepresentasikan fakta-fakta yang independen dari pemikiran manusia dan berfungsi sebagai titik referensi umum untuk menentukan kebenaran; dunia sosial yang terdiri dari hubungan-hubungan intersubjektif; dan dunia subjektif dari pengalaman pribadi. Bagi Habermas, pribadi yang dapat memilah tiga aspek dari pengalaman dan perspektif yang melibatkan mereka, mencapai suatu pemahaman ‘tak terpusat’ (decentered) dari dunia hidup. Ketidak-berpusatan membawa orang untuk membedakan persoalan kebenaran, keadilan, dan rasa secara baik sesuai dengan pandangan-pandangan objektif, sosial, dan subjektif (Habermas, 1990: 133-141).

Habermas dan Pandangan atas Agama

Habermas berargumen bahwa ada satu kemiripan tajam antara tipe-tipe tertentu dalam tradisi budaya Yahudi dengan idealisme Jerman, yang akarnya seringkali dipandang berasal dari Pietisme Protestan. Suatu kemiripan penting, yang krusial khususnya bagi pemahaman Teori Kritis, adalah ide Cabalistic lama bahwa tuturan, ketimbang gambar, adalah satu-satunya cara untuk mendekati Tuhan. Jarak antara agama bahasa Ibrani, bahasa sakral, dan tuturan profane dalam Kitab Pelarian (satu kitab dalam perjanjian lama) berimbas kepada orang yahudi yang tidak percaya kepada dunia wacana terkini. Hal ini karena sejalan dengan kritik idealis terhadap realitas empiris,yang mencapai puncaknya pada dialektika Hegelian. Meskipun orang tidak dapat membuat batas tegas antara para pendahulu yahudi di Mazhab Frankfurt dengan teori dialektikanya.

Habermas mengatakan, bahwa globalisasi terjadi karena adanya kepentingan pasar antar industri transnasional, tetapi meskipun keadaan ini mampu membuat infrastruktur baru secara sosial kepada masyarakat, kemampuan negara dalam memberikan kesadaran baru masyarakat itu sangat minim. Disinilah agama memegang peranan penting dalam sebagai peacemaker secara mental.

Habermas dan Ilmu Pengetahuan

Titik tolak kritikan Habermas terhadap ilmu pengetahuan berawal dari pandangan jika ilmu pengetahuan telah mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan bahwa dalam kesulitan hidup dewasa ini, ternyata ilmu pengetahuan tidak memberikan nasehat apa-apa kepada masyarakat, artinya ilmu pengetahuan sepanjang dari praktek hidup sehari-hari.

Posisi teori dalam ilmu pengetahuan menduduki tempat penting untuk menjelaskan realitas karena pengetahuan dirumuskan kedalam dan diperoleh lewat teori. Dalam ilmu pengetahuan modern kata teori sudah kehilangan makna, oleh karena itu Habermas mengadakan penelitian genetik tentang konsep teori. Lalu ia kemudian mengembalikan konsep teori itu pada asal katanya “theoria” yang artinya kata ini sudah sangat tua dan berakar pada kosmologi dan tradisi religius yunani purba dengan melakukan kontemplasi seorang filsuf lalu memandang atau menatap kosmos yang bergerak teratur dan membuat lukisan-lukisan didalam dirinya. Dia meniru kosmos atau melakukan mimesis (meniru), dengan cara itu teori atau kontemplasinya itu mengarahkan tingkah lakunya .sampai pada tahap teori dalam pengertian kuno itu terkait dengan praxis. Dalam filsafat yunani Bios Theoritikos menunjukkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup (way of life). Menurut habermas, konsep kuno itu menjadi dasar ontologi, dan dengan kontemplasi seorang filosof dapat memisahkan unsur-unsur yang tetap dan unsur-unsur yang selalu berubah. Usaha untuk menemukan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi. Apa yang ingin dicapai ontologi adalah penjelasan objektif tentang seluruh realitas atau dengan kata lain teori murni. Dan satu hal yang menarik adalah bahwa Habermas mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni itu dengan proses emansipasi. (husser mengatakan bahwa krisis disebabkan ilmu pengetahuan tidak lagi menganut konsep klasik tentang teori itu, sebaliknya Habermas mengatakan sebaliknya bahwa krisis itu terjadi karena ilmu pengetahuan menganut konsep yang klasik itu.

 

Referensi

Dewi, I Gusti Ayu Agung Omika. 2010. Dialektika dan Refleksi Kritis “Sustainability” dalam Praktik Sustainability Reporting: Sebuah Narasi Habermas. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Vol.7 No.2, hal. 139-152.

Sawarjuwono, Tjiptohadi. 2005. Bahasa Akuntansi dalam Praktik: Sebuah Critical Accounting Study. Jurnal Tema No.2, hal.89-110.

Sudrajat, Ajat. 2014. Jurgen Habermas: Teori Kritis dengan Paradigma Komunikasi. Jurnal Tidak Terpublikasi.

Tjahyadi, Sindung. 2003. Teori Kritis Jurgen Habermas: Asumsi-Asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritik. Jurnal Filsafat, Jilid 34 No. 2 hal. 180-197.

http://valahulalam.blog.walisongo.ac.id/2013/12/07/pemikiran-filsafat-teori-kritis-jurgen-habermas/

http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2013/05/16/mengenal-teori-kritis-habermas/

Phenomenology

*Suhartono

Istilah Fenomenologi

Husserl (1913) argued that phenomenology did not deny the existence of the real world, but sought instead to clarify the sense of this world (which everyone accepts) as actually existing. Husserl berpendapat bahwa fenomenologi tidak menyangkal keberadaan dunia nyata, tetapi berusaha bukan untuk memperjelas memahami dunia ini (yang semua orang menerima) sebagai sesuatu yang benar-benar ada.

McPhail (1995) Phenomenology is a philosophical movement that approaches study of human beings and their culture differently from the logical positivist model used in the natural sciences and in special education. phenomenologist view the applications of the logical positivist model to the study of human beings as inappropriate because the model does not address the uniqueness of human life. Fenomenologi adalah sebuah gerakan filosofis dengan pendekatan studi tentang manusia dan budaya mereka yang berbeda dengan model positivis logis yang digunakan dalam ilmu alam dan pendidikan khusus. fenomenolog melihat aplikasi dari model positivis logis untuk mempelajari manusia  tidak patut karena modelnya tidak membahas keunikan kehidupan manusia.

Zahavi (1999) Phenomenology is characterized by a form of essentialism. It is not interested in a merely empirical or factual account of different phenomena, but seeks on the contrary to disclose the invariant structures of, for example, the stream of consciousness, embodiment, perception, etc. On the other hand, however, the point of departure for its investigation of the world and human existence remains factual existence. Phenomenology is not simply a form of essentialism, it is also a philosophy of facticity. Fenomenologi ditandai dengan bentuk esensialisme. Hal ini tidak hanya ditarik dalam akun empiris atau faktual dari fenomena yang berbeda, tetapi berusaha sebaliknya untuk mengungkapkan struktur invarian, misalnya, arus kesadaran, perwujudan, persepsi, dll. Di sisi lain, bagaimanapun, intinya keberangkatan untuk pemeriksaan atas dunia dan eksistensi manusia tetap eksistensi faktual. Fenomenologi bukan hanya bentuk esensialisme, juga merupakan filosofi faktisi.

Moran (2002) Phenomenology is best understood as a radical, anti-traditional style of philosophising, which emphasises the attempt to get to the truth of matters, to describe phenomena, in the broadest sense as whatever appears in the manner in which it appears, that is as it manifests itself to consciousness, to the experiencer. Moran (2002) Fenomenologi paling baik dipahami sebagai radikal, gaya anti-tradisional philosophising, yang menekankan upaya untuk mendapatkan kebenaran dari berbagai hal, untuk menggambarkan fenomena, dalam arti yang luas sebagai apa pun muncul dengan cara munculnya, yaitu sebagai manifestasi dirinya ke kesadaran, bagi mereka yang mempunyai pengalaman pengalaman.

Metode Fenomenologi

Husserl mengatakan bahwa kita perlu mengurangi kesadaran alam murni, sehingga apa yang kita dibiarkan adalah kerangka murni yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan pola pikir dan metodologi fenomenologi.

Prosedur bracketing sangat penting: pengurangan fenomenologis membantu kita untuk membebaskan diri dari prasangka dan mengamankan kemurnian detasemen sebagai pengamat, sehingga kita dapat menemukan “sesuatu sebagaimana adanya dalam diri mereka” secara independen dari segala pengandaian. Tujuan dari fenomenologi Husserl adalah deskriptif di kemudian, analisis terpisah dari kesadaran di mana objek, sebagai berkorelasinya dibentuk.

Husserl mengistilahkan bracketing atau pemutusan pertama kali dari ilmu alam dan kemudian berlanjut pada daftar hal-hal yang harus kita masukkan ke dalam tanda kurung: Tidak hanya ini, cara Husserl mensetting kita untuk memahamkan pola pikir kita sendiri berkaitan dengan kerasnya pengurangan fenomenal, tapi ia mengatakan bahwa ini memang metode yang dapat digunakan untuk penyelidikan kesadaran murni – apakah itu adalah obyek, mimpi atau memori; dan bahwa ada hubungan penting antara objek nyata dan pengalaman persepsi. Dia menyebutnya Noesis dan Noema.

Noesis dan Noema: hubungan ketergantungan antara objek nyata dan intinya (pengalaman persepsi). Noesis: isi yang sebenarnya, karakter yang nyata, bagian dari tindakan yang memberikan karakter ke benda. Noema: esensi ideal karakter; yang Noema penuh adalah struktur yang kompleks terdiri dari setidaknya rasa noematic (arti ideal) dan inti noematic (yang objek yang artinya merujuk).

Pengamatan HusserI mengenai struktur intensionalitas kesadaran, merumuskan adanya empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu (1) objektifikasi, (2) identifikasi, (3) korelasi, dan (4) konstitusi (Abidin, 2000).

Intensionalitas objektifikasi berarti mengarahkan data (yang merupakan bagian integral dari aliran kesadaran), kepada objek-objek intensional. Fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data yang sudah terdapat dalam aliran kesadaran.

Intensionalitas sebagai identifikasi, yakni suatu intensi yang mengarahkan berbagai data dan peristiwa kemudian pada objek hasil objektifikasi. Identifikasi banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dari dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional, maupun intektual.

Intensionalitas korelasi menghubung-hubungkan setiap aspek dari objek yang identik menunjuk pada aspek-aspek lain yang menjadi horisonnya. Bagian depan sebuah objek menunjuk pada bagian samping, muka, bawah, dan belakang. Aspek yang menjadi horison dari objek memberi pengharapan pada subjek untuk mengalaminya kembali di kemudian hari. Aspek atau bagian-bagian tersebut selalu dibayangi oleh objek identik yang sudah tampak lebih awal.

Intensionalitas konstitusi melihat bahwa aktivitas-aktivitas intensional berfungsi mengkonstitusikan objek-objek intensional. Objek intensional tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah ada, melainkan diciptakan oleh aktivitas-aktivitas intensional itu sendiri. Objek intensional’ sebenarnya berasal dari endapan-endapan aktivitas intensional.

 Asumsi Fenomenologi

Asumsi dasar dari fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. Sutrisno dan Hanafi (2004) dalam Riharjo menjelaskan apabila ditinjau dari prinsip dasar yang dikembangkan dalam paradigma interpretif, prinsip dasar dalam membaca fenomena, adalah:

  1. Individu menyikapi  sesuatu  atau  apa  saja  yang  ada  dilingkungannya  berdasarkan makna sesuatu tersebut pada dirinya;
  2. Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain; dan
  3. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya.

Terdapat dua varian tentang fenomenologi, yaitu: (1) fenomenologi hermenuetik dan (2) fenomenologi eksistensial (Berger, 1987) dalam Sukidin. Fenome­nologi hermeneutik terfokus pada aspek kolektif dari budaya yang concern dengan bahasa. Teks dapat dianalisis secara objektif, dalam arti mengeksplo­rasi dan menentukan kealamiahan serta struktur komunikasi.

Fenomenologi eksistensial, berorientasi pada level individu dari budaya yang meliputi internalisasi kesadaran subjektif dari individu. Setiap fenomenologi dapat dideskripsikan sebagai sesuatu yang empirik dan terkait dengan kehidupan sehari-hari.

Bagi Berger, pendekatan fenomenologi akan terhenti ketika mulai memasuki area ilmu. Analisis fenomenologi merupakan metode deskriptif dan bersifat empiris. Menurut Berger, ilmu empirik harus beroperasi dengan asumsi kausalitas yang universal. Namun, Berger juga mengakui bahwa feno­menologi mampu mengikuti tradisi ilmu sosial untuk menembus dunia kehi­dupan sehari-hari dan mendeskripsikan secara sistematis.

Ada dua pendekatan dalam penelitian fenomenologi yaitu: fenomenologi hermeneutik dan  empiris,  fenomenologi  transendetal  atau  psikologi  Van  Manen. Pandangan Hermeneutik berkaitan dengan menginteprestasikan dan memahami hasil pemikiran manusia yang memberikan ciri pada dunia sosial dan kultural. Dilthey menyatakan  bahwa  salah  satu  hal  utama  dalam  suatu  metode  pemahaman  untuk pandangan  ini  adalah  penelitian  tentang  tampilan  kehidupan  empiris-institusi,  situasi masa lampau, bahasa lainnya yang mencerminkan kehidupan inti dari penciptanya. Penelitian tentang penciptaan sosial ini dilihat sebagai hal utama untuk memahami dunia dari pikiran obyektif.

Analisis Data dalam Penelitian Fenomenologi

Data dari fenomena sosial yang diteliti dapat dikumpulkan dengan berbagai cara,  diantaranya  observasi  dan  interview,  baik  interview  mendalam  (in-depth interview). In depth dalam penelitian fenomenologi  bermakna mencari sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena sisoal dan pendidikan yang diteliti. In-depth juga bermakna    menuju pada sesuatu yang    mendalam guna mendapatkan sense dari yang nampaknya   straight-forward secara aktual  secara potensial lebih complicated.  Pada  sisi lain peneliti juga  harus memformulasikan kebenaran peristiwa/ kejadian dengan pewawancaraan mendalam. ataupun interview. Data yang diperoleh dengan in-depth interview dapat dianalisis proses analisis data dengan Interpretative Phenomenological Analysis sebagaiman ditulis oleh Smith (2009) dalam Hajaroh. Tahap-tahap Interpretative   Phenomenological Analysis yang dilaksanakan sebagai berikut: 1) Reading and re-reading; 2) Initial noting;  3)  Developing  Emergent Emergent  themes;  4)  Searching  for  connections  across emergent themes; 5) Moving the next cases; and   6) Looking for patterns across cases. Masing-masing tahap analisis diuraikan sebagai berikut:

  1. Reading and Re-reading

Dengan  membaca  dan  membaca  kembali  peneliti  menenggelamkan  diri dalam data yang original.  Bentuk kegiatan tahap ini adalah  menuliskan transkrip interviu dari rekaman  audio  ke dalam transkrip dalam bentuk tulisan.  Rekaman audio yang digunakan oleh peneliti dipandang lebih membantu pendengaran peneliti dari pada transkrip dalam bentuk tulisan.  Imaginasi  kata-kata dari partisipan ketika dibaca dan dibaca kembali oleh  peneliti dari transkrip akan membantu analisis yang lebih komplit. Tahap ini di laksanakan untuk memberikan keyakinan bahwa partisipan penelitian benar-benar  menjadi  fokus analisis.

  1. Initial Noting

Analisis tahap awal ini sangat mendetail  dan mungkin menghabiskan waktu. Tahap ini menguji isi/konten dari kata, kalimat dan bahasa yang digunakan partisipan dalam level eksploratori. Analisis ini menjaga kelangsungan pemikiran yang terbuka (open mind) dan mencatat segala sesuatu yang menarik dalam transkrip. Proses ini menumbuhkan dan membuat sikap yang lebih familier terhadap  transkrip data.   Selain itu tahap ini juga memulai mengidentifikasi secara spesifik cara-cara      partisipan   mengatakan   tentang   sesuatu,   memahami dan    memikirkan    mengenai  isu-isu.

  1. Developing Emergent Themes

Dengan komentar eksploratori tersebut maka pada seperangkat data muncul atau tumbuh secara substansial. Untuk memunculkan tema-tema peneliti memenej   perubahan data dengan menganalisis secara simultan, berusaha mengurangi volume  yang detail dari data yang berupa transkrip   dan catatan awal yang masih ruwet   (complexity) untuk di mapping kesalinghubungannya (interrelationship),  hubungan  (connection) dan pola-pola antar catatan eksploratori. Pada tahap ini analisis terutama pada catatatan awal lebih yang dari sekedar transkrip. Komentar eksploratori yang dilakukan secara komprehensip sangat mendekatkan pada simpulan dari transktip yang asli.

  1. Searching for connection a cross emergent themes

Mencari hubungan antar tema-tema yang muncul dilakukan setelah   peneliti menetapkan seperangkat tema-tema dalam transkrip dan tema-tema telah diurutkan secara  kronologis.  Hubungan  antar  tema-tema  ini  dikembangkan  dalam  bentuk grafik atau mapping/pemetaan dan memikirkan tema-tema yang bersesuaian satu sama lain.

  1. Moving the next cases

Tahap  analisis 1- 4  dilakukan pada setiap satu  kasus/partisipan. Jika satu kasus selesai dan dituliskan hasil analisisnya maka tahap selanjutnya berpindah pada kasus  atau partisipan berikutnya hingga selesai semua kasus.  Langkah ini dilakukan pada semua transkrip partisipan, dengan cara mengulang proses yang sama.

  1. Looking for patterns across cases

Tahap akhir merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari pola- pola  yang  muncul  antar  kasus/partisipan.  Apakah  hubungan  yang  terjadi  antar kasus, dan bagaimana tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus yang lain memandu peneliti melakukan penggambaran   dan pelabelan kembali pada tema- tema. Pada tahap ini dibuat master table dari tema-tema untuk satu kasus atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/ organisasi.

Referensi

Hajaroh, Mami. Paradigma, Pendekatan dan Metode Penelitian Fenomenologi. Paper: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Husserl, Edmund. 1962. Ideas : General Introduction to Pure Phenomenology, Translated by W. R. Boyce Gibson. London, New York: Collier,Macmillan.

Manen, Max van. 2007. Phenomenology of Practice. Journal of Phenomenology & Practice, Volume 1 , No. 1, pp. 11 – 30: University of Alberta.

McPhail, Jean C. 1995. Phenomenology As Philosophy and Method:Applications to Ways of Doing Special Education. Journal of Remedial and Special Education Vol. 13: Michigan University.

Moran, Dermot. 2002. Introduction To Phenomenology. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP).

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

Zahavi, Dan. 1999. Self-awareness and Alterity: A Phenomenological Investigation. Evanston, IL: Northwestern University Press.

 

Ethnomethodology

*Suhartono

Etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi.

Garfinkel di saat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz di New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel.

Dalam Etnometodologi juga dikenal istilah dramaturgi yaitu bagaimana aktor memanipulasi gerak isyarat untuk menciptakan kesan di sebuah panggung pertunjukkan (Raho 2007) dalam (Riharjo 2011). Etnometodologi bukan pada manajemen kesan individu-individu, melainkan bagaimana aktor-aktor menciptakan perasaan akan realitas yang sama. Etnometodologi memusatkan perhatian pada teknik-teknik interaksi, bukan untuk menciptakan  kesan-kesan  sebagaimana  dramaturgi  Goffman,  melainkan  bagaimana teknik-teknik tersebut bisa mempertahankan suatu perasaan akan realitas sosial.

Istilah Etnometodologi

Etnometodologi adalah salah satu cabang ilmu sosiologi yang mempelajari tentang berbagai upaya, langkah, dan penerapan pengetahuan umum pada kelompok komunitas untuk menghasilkan dan mengenali subjek, realitas, dan alur tindakan yang bisa dipahami bersama-sama (Kuper, 2000) dalam (Sukidin, 2002)..

Radical Ethnomethodology started to mature within a distinct program of “studies of work” in the 70s.  These studies analyze the specific, actual material practices that compose the ongoing situated day-to-day work practices (Heritage 1984). Etnometodologi menurut Heritage adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri. Istilah etnometodologi yang berakar pada bahsa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.

For Garfinkel, ethnomethodology is a form of “practical sociological analysis” (1967:1). This sociological analysis, however, is not merely an undertaking of professional sociologists: ethnomethodology is an everyday activity in which social agents constantly engage as they arrive at an interpretive understanding of other agents and actions through interaction, thus making sense of social reality. Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktek dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya structural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktur sosial.

Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi adalah realitas objektif fakta sosial, fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui atau menunda.

Garfinkel mememunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksutujannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi, dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas didalam memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan sosial tersebut berlangsung. Garfinkel sendiri mendefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir.

Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari.

Ada kesamaan antara metode yang digunakan Garfinkel dengan dengan pemikiran Wittgenstein yang mengatakan bahwa pemahaman umum terdapat dalam percakapan serta transaksi sosial sehari-hari. Etnometodologi di satu sisi meneliti biografi dan maksud yang dikandung oleh aktor-aktor sosial dan di sisi lain menganalisis pemahaman umum (common-sense). Sebagaimana yang diungkapkan dalam karyanya Studies in Ethnometodology dia menunjukkan bahwa:

  1. Perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna daripada langsung kata-kata itu sendiri.
  2. Perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum.
  3. Pemahaman secara umum yang meyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara intersubjektif.
  4. Transaksi dan  peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional, sehingga dengan peristiwa tersebut seseorang akan memahami ucapan orang lain melalui pemahaman aturan itu sesuai dengan kaidah-kaidahnya.

Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut.

Sementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.

Pembahasan realitas common sense Schutz memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Pandangan Schutz tentang dunia sehari-hari sebagai dunia intersubjektif yang dimiliki bersama melalui proses interaksi ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat di mana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri sekalipun dianggap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi.

Diversifikasi Etnometodologi

Studi Setting Institusional

Maynard dan Clyman melukiskan sejumlah karya variasi dalam etnometodologi, tetapi hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol. tipe pertama adalah studi etnometodologi tentang setting institusional. Studi etnometodologi awal yang dilakukan oleh Garfinkel berlangsung dalam setting biasa  dan tak diinstitusionalkan seperti rumah, kemudian bergeser ke arah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi.

Tujuan studi institusional adalah memahami cara orang, dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi.

Analisis Percakapan

Jenis etnometodologi kedua adalah analisis percakapan (conversation analysis). analisis percakapan bertujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan sebagai unsur dasar dalam etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran analisis percakapan adalah terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial.

Lima dasar dalam menganalisis percakapan menurut Zimmerman:

  1. Pengumpulan dan analisis data yang sangat rinci tentang percakapan.
  2. Aspek-aspek kecil percakapan tidak hanya diatur oleh ahli etnometodologis akan tetapi pada mulanya oleh aktor sendiri.
  3. Interaksi dan percakapan bersifat stabil dan teratur. Peneliti bersifat otonom, terpisah dari aktor.
  4. Kerangka percakapan fundamental adalah organisasi yang teratur.
  5. Rangkaian interaksi percakapan dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.

Secara metodologis, analisis percakapan berupaya mempelajari percakapan yang terjadi dalam konteks yang wajar, sering menggunakan audio tape atau video tape. metode perekaman ini memungkinkan informasi lebih mengalir secara wajar dari kehidupan sehari-hari ketimbang dipaksakan oleh peneliti. Asumsi dasar analisis percakapan:

  1. Percakapan adalah landasan dari bentuk-bentuk hubungan antar personal.
  2. Merupakan bentuk interaksi yang paling mudah meresap.
  3. Percakapan terdiri dari matriks prosedur dan praktik komunikasi yang paling terorganisasi.

Asumsi

Etnometodologi memiliki beberapa asumsi sebagai bidang kajian dari perspektif kajian ini:

  1. Terjadi asas reciprocal (bolak-balik) dalam rangka menyetarakan pengertian antara peneliti dan aktor sosial yang terlibat, sehingga dapat dikatakan bahwa kebenaran yang saya anut adalah kebenaran yang dianut oleh orang lain.
  2. Objektivitas dan ketidakraguan dari apa yang tampak, misalnya seperti dunia atau lingkungan atau kenyataan, adalah yang tampak terjadi dan keraguan terhadap kenyataan tersebut patut untuk diragukan.
  3. Adanya proses yang sama, dalam arti bilamana hal itu terjadi disuatu tempat dan suatu waktu, maka hal itu akan dapat terjadi pada tempat dan waktu yang lain.
  4. Pengetahuan umum yang masuk akal adalah sangat jelas, sebagaimana orang lain juga mengetahui.
  5. Adanya proses indexicality (daftar istilah). Masyarakat memiliki perbendaharaan pengetahuan local yang telah diketahui sebelumnya dan dapat mengacu pada indeks lain yang juga telah ada. Peneliti harus memahami proses tersebut untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas.
  6. Adanya proses reflectivity, sebagai gambaran tentang arti. Suatu interpretasi terhadap situasi yang terdapat secara umum sehingga tidak perlu dijelaskan lagi.
  7. Untuk mendapatkan kebenaran peneliti tidak boleh sampai menyakitkan masyarakat. Untuk itu, tidak diperbolehkan adanya pemaksaan kepada lawan bicara atau nara sumber dalam rangka untuk mendapatkan pembuktian yang jelas.

Etnometodologi sebagai Metode Penelitian Kualitatif

Beberapa prasyarat untuk menjadikan etnometodologi sebagai model penelitian kualitatif:

  1. Etnometodologi memusatkan kajian pada realitas yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada prilaku nyata. Setiap masyarakat dalam konsep ini memiliki situasi yang bersifat lokal, terorganisir, memiliki steriotipe dan ideology khusus, termasuk ras, kelas sosial dan gender. Pendekatan ini akan memihak masyarakat bawah dengan ideology yang sangat populis.
  2. Merupakan strategi yang dapat dilakukan melalui discourse analysis (analisis wacana). Paradigma yang dianut adalah semiotic, sehingga metode yang paling tepat adalah dialog. Sumber data dapat diungkap melalui observasi-partisipasi dengan pencatatan data yang teratur menggunakan field note. Pengembangan pertanyaan dilakukan dengan bentuk verbal, sosial interaktif dan dialog.
  3. Etnometodologi memiliki keunggulan dalam mendekati kehidupan empiris, dalam hal ini ada program penekanan yang diberikan. Melakukan pengambilan data langsung dari lapangan melalui model interaktif antara peneliti dan aktor.
  4. Sosial (observasi partisipasi).
  5. Menitikberatkan pada pemahaman diri dan pengalaman hidup sehari-hari. Pengambilan data dengan in-depth interview, akan menggali semua masalah kehidupan sehari-hari dalam bentuk wacana percakapan terbuka. Setiap wacana percakapam dianalisis, dikembangkan sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat lokal.

Metode kualitatif merupakan metode yang dikerjakan oleh semua orang atau untuk semua problema dan tampak bahwa saat ini para penganut inter­aksi simbolik dan etnometodologi mendukung metodologi kualitatif. Tugas mereka, yaitu menangkap proses penafsiran mengenai tingkah laku manusia dengan menuntut verstehen, pemahaman yang empatik atau kemampuan menyerap dan mengungkapkan lagi perasaan-perasaan, motif-motif, dan pemikiran di balik tindakan seseorang. Tentu saja, semua itu diambil dari sudut pandang orang itu sendiri (Bodgan and Taylor, 1992).

Bagi etnometodolog, yang bisa diamati langsung adalah upaya orang-orang untuk menciptakan rasa umum tentang kenyataan sosial. Namun karena posisinya yang masih samar, maka tak ada prinsip yang dirumuskan dengan baik yang menunjukkan bagaimana komunitas para aktor secara aktif menegosiasikan citra umum tentang kenyataan.

Fakta yang mendasari kesalahpahaman pada etnometodologi, yaitu bahwa para sosiolog yang telah mendalam dalam tradisi teoretis kesulitan mengenali suatu alternatif radikal bagi tradisi-tradisi ini. Padahal sebenarnya mereka tak memahami posisi etnometodologi.

Wujud salah tafsir itu menyatakan bahwa etnometodologi mewakili suatu korektif bagi penteorian sosiologis masa kini. Hal ini menjadi asumsi bahwa etnometodologi bisa berfungsi untuk mengecek keandalan dan vali­ditas pengamatan seorang penyelidik dengan sekaligus memaparkan komunitas ilmiah yang menerima pengamatannya. Padahal sebenarnya etnometodologi bukan suatu metode penelitian baru, ia tidak menjawab pertanyaan seputar masalah masyarakat lewat teknik-teknik penelitian baru. Namun, ia berkenaan dengan studi fenomena dengan menggunakan banyak strategi penelitian, meliputi varian-varian metode pengamatan dan peserta pengamatan.

Etnometodologi membutuhkan suatu kumpulan asumsi metafisik alternatif tentang sifat dunia sosial, yaitu:

  1. Dalam segala situasi interaksi manusia berupaya membentuk munculnya konsensus tentang feature dan setting
  2. Feature terdiri dari sikap, pendapat, kepercayaan, dan koisgni lain tentang sifat lingkungan sosial
  3. Manusia terlibat dalam praktik-praktik dan metode antarpribadi eksplisit dan implisit
  4. Praktik dan metode itu dihasilkan dalam memasang dan membongkar “kumpulan bahan yang didatangkan: persepsi oleh manusia yang berinteraksi bahwa lingkungan masa kini mempunyai struktur yang teratur dan bisa dipahami”.
  5. Konsensus ini muncul juga merupakan refleksi dari pemenuhan tiap peserta terhadap aturan dan prosedur untuk mengubah-ubah konsensus itu.
  6. Dalam tiap situasi interaksi, aturan itu tidak bisa digeneralisasikan pada lingkungan lain.
  7. Dengan mengganti aturan, para anggota dalam suatu lingkungan bisa saling menawarkan munculnya suatu dunia “di luar sana” yang teratur dan berhubungan yang “memaksakan” persepsi-persepsi dan tindakan- tindakan tertentu bukan pada bagian mereka.

 

Referensi

 

Garfinkel, Harold. 1967. Studies in Ethnomethodology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc..

Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies for Mass Communication Research. France: The Taylor & Francis e-Library.

Maynard, Douglas W., and Steven E. Clayman. 2002. “Studies in Ethnomethodology and Conversation Analysis”. Washington D.C.: International Institute for Ethnomethodology and Conversation Analysis & University Press of America.

Prepublication copy of: Ethnomethodology and Conversation Analysis. In C. Bryant & D. Peck (eds.) The Handbook of the 21st Century Sociology. Thousands Oaks: Sage,

2006, pp. 8-16, 437-438, 444-445.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP).

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

http://al-fikar.blogspot.com/2014/01/etnometodologi.html

Ethnography

*Suhartono

Pendahuluan

Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan, dengan tujuan utama memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Untuk menemukan prinsip-prinsip tersembunyi dari pandangan hidup yang lain, peneliti harus menjadi murid. Inti etnografi adalah upaya memperlihatkan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna terekpresikan secara langsung dalam bahasa, atau secara tidak langsung melalui kata dan perbuatan. Sistem makna merupakan kebudayaan mereka, dan etnografi selalu mengimplementasikan teori kebudayaan.

Etnografi secara harfiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Penelitian antropologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu khas, sehingga kemudian istilah etnografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut. Spradley menganggap bahwa  etnografi merupakan satu jenis metode penelitian yang khas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun sebagai metode penelitian dapat dianggap sebagai dasar dan asal-usul ilmu antropologi.

Brewer secara eksplisit memberikan definisi etnografi sebagai the “study of people in naturally occuring getting or ‘fields’ by means of methods which capture their social meanings and ordinary activities, involving the reseacher participating directly in the setting if not also the activities, in order to collect data in a systematic manner but without meaning being imposed on the externally”. Studi tentang masyarakat yang terjadi secara alami atau ‘bidang’ melalui metode yang menangkap makna sosial dan kegiatan biasa, yang melibatkan peneliti secara langsung dalam penelitian jika tidak hanya kegiatan, dalam rangka mengumpulkan data secara sistematis tapi tanpa makna yang dikenakan pada eksternal.

Jensen dan Jankowski  menempatkan etnografi sebagai sebuah pendekatan. Etnografi tidak dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan data tetapi sebuah cara untuk mendekati data dalam meneliti fenomena komunikasi.

Atkinson dan Hammersley mendefinisikan etnografi sebagai penulisan budaya, deskripsi tertulis mengenai sebuah budaya berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Istilah etnografi itu sendiri banyak mengandung konstoversi dikalangan akademis, beberapa pakar mendefinisikan etnografi sebagai sebuah paradigma filsafat yang menuntut peneliti pada komitmen total, sedangkan para pakar lain menjelaskan bahwa istilah etnografi adalah sebuah metode yang hanya akan digunakan jika memiliki relevansi dengan objek yang diteliti (dengan tujuan peneliti). Ethnographic research should have a characteristic ‘funnel’ structure, being progressively focused over its course. Over time the research problem needs to be developed, and may need to be transformed; and eventually its scope must be clarified and delimited, and its internal structure explored. In this sense, it is frequently well into the process of inquiry that one discovers what the research is really about; and not uncommonly it turns out to be about something rather different from the initial foreshadowed problems. Secara praktis, istilah etnografi biasanya mengacu pada bentuk-bentuk penelitian sosial dengan sejumlah ciri khas sebagai berikut :

  1. Lebih menekankan upaya eksplorasi terhadap hakekat/sifat dasar fenomena sosial tertentu, bukan melakukan pengujian hipotesis atas fenomena tersebut.
  2. Lebih suka bekerja dengan data tak terstruktur, atau dengan kata lain, data yang belum dirumuskan dalam bentuk kode sebagai seperangkat katagori yang masih menerima peluang bagi analisis tertent
  3. Penelitian terhadap sejumlah kecil kasus, mungkin hanya satu kasus secara detail.
  4. Menganalisis data yang meliputi intrepretasi makna  dan fungsi berbagai tindakan manusia  secara  eksplisit  sebagai  sebuah  produk  yang  secara  umum  mengambil bentuk-bentuk deskripsi dan penjelasan verbal tanpa harus terlalu banyak memanfaatkan analisis kuantitatif dan statistik.

Asal Mula Etnografi

Awal etnografi berkaitan dengan asal usul ilmu antropologi. Pada abad ke-20, para ahli antropologi berusaha membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa awal kemuculan manusia di muka bumi sampai masa kini. Mereka semua, tidak pernah terjun langsung melihat masyarakat primitif yang menjadi objek karangan mereka. Kerangka evolusi yang dibangun itu dipandang tidak realistik dan tidak didukung bukti nyata. Sedikit-sedikit mereka mulai sadar untuk melihat sendiri kelompok masyarakat yang menjadi objek kajiannya, demi memperoleh teori yang lebih mantap. Inilah asal mula pemikiran tentang perlunya kajian lapangan etnografi dalam antropologi.

Pada proses kemunculannya Etnografi (akhir abad ke-19). Etnografi mula-mula dilakukan untuk membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Tak ubahnya analisis wacana, mereka  ilmuwan antropologi pada waktu itu melakukan kajian etnografi melalui tulisan-tulisan dan referensi dari perpustakaan yang telah ada tanpa terjun ke lapangan. Namun, pada akhir abad ke-19, legalitas penelitian semacam ini mulai dipertanyakan karena tidak ada fakta yang mendukung interpretasi para peneliti. Akhirnya, muncul pemikiran baru bahwa seorang antropolog harus melihat sendiri alias berada dalam kelompok masyarakat yang menjadi obyek kajiannya.

Studi etnografi melibatkan serangkaian metodologi dan prosedur interpretasi yang menempatkan peneliti sebagai instrument dengan observasi parsitipatif, observasi parsitipatif. Jenis studi ini menuntut komitmen menyeluruh pada kerja-kerja pemahaman. Peneliti etnografi menjadi  bagian dari situasi  yang diteliti untuk merasakan bagaimana perasaan orang-orang dalam situasi tersebut, peneliti etnografi menyatu pada realitas orang-orang secara sungguh-sungguh.

Etnografi Modern

Etnografi ini dipelopori oleh ahli antropologi sosial, A.R RadclifFee-Brown dan B. Mallinowski pada dasawarsa 1915-1925 d Inggris. Ciri khusus kegiatan mereka, yaitu mereka tidak teriak memandang penting hal-ihwal yang berhubungan dengan jarak kebudayaan status kelompok masyarakat. Fokus utamanya adalah kehidupan masa kini yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat yaitu tentang viay of lifemasyarakat tersebut.

 Etnografi Baru

Etnografi baru adalah suatu aliran etnografi yang mulai bei kembang sejak tahun 1960-an dan mempunyai nama lain cognitive anthropology atau ethnoscience. Aliran ini memusatkan usahanya untu menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan.

Etnografi Baru Ala Spradley

Dalam hal ini, Spradley masih mengikuti aliran antroplogi kognitif, namun secara lebih khusus, Spradley mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang diperolah manusia melalui proses belajar yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Selain itu, Spradley juga tidak lagi menganggap antropologi sebagai satu ilmu tentang“other cultures”,yaitu mengenai masyarakat kecil yang terisolasi dan hidup dengan teknologi sederhana. Dia telah menjadi alat yang mendasar untuk memahami masyarakat Spradley menggunakan metode panduan yang khas untui mempelajari etnografi (dengan jalan mengerjakan dan melakukan sendiri; secara sistematis, terarah, dan efektif. Metode itu adalah Developmem Research Sequenceatau “Alur Penelitian Maju Bertahap”. Metode ini memiliki lima prinsip.

Pertama, teknik tunggal di mana peneliti dapat melakukan berbagai teknik penelitian secara bersamaan dalam satu fase penelitian. Kedua, identifikasi tugas, yaitu peneliti harus mengenali langkah- langkah pokok yang harus dilaluinya dalam menjalankan teknik tersebut Ketiga,setiap langkah pokok tadi, sebaiknya dijalankan secara berurutan atau maju bertahap. Keempat, penelitian orisinal maksudnya mempelajari cara untuk melakukan wawancara etnografi dengan mempraktiklcannya dalam proyek penelitian sungguhan, bukan sekedar untuk kepentingan latihan saja. Terakhir, prinsip problem-solvingyang membawa kita kepada pandangan Spradley mengenai ilmu antropologi, yaitu ilmu yang mempunyai kegunaan praktis dalam menyelesaikan masalah-m; salah kemanusiaan. Sehinggaseorangpeneliti yang berhasil, menurut takaran etnograf! adalah juga seorang problem solver.

Manfaat Etnografi

Etnografi adalah suatu kebuaayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulangkah bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dari semua kebudayaan sangat tinggi nilainya. Asumsi ini

Beberapa Prinsip dalam Etnografi

Informan adalah manusia yang mempunyai masalah, keprihatinan, dan kepentingan. Nilai yang dipegang oleh etnografer tidak selalu sejalan engan nilai yang dipegang oleh informan. Beberapa prinsip etika yang didasarkan pada nilai-nilai yang mendasari.

  1. Mempertimbangkan informan terlebih dahulu
  2. Mengamankan hak-hak, kepentingan, dan sensitivitas informan bila penelitian melibatkan
  3. Menyampaikan tujuan penelitian
  4. Melindungi privasi informan
  5. Jangan mengeksploitasi informan
  6. Memberikan laporan kepada informan

Wawancara Etnografi

Ketika kita mempelajari wawancara etnografi sebagai wawancara percakapan, maka kita melihat bahwa banyak ciri yang sama dengan per­cakapan persahabatan. Dalam kenyataan, seorang etnografer berpengalaman seringkali mengumpulkan banyak data melalui pengamatan terlibat serta berbagai macam percakapan sambil lalu, percakapan persahabatan. Mereka mungkin mewawancarai orang-orang tanpa kesadaran orang-orang itu, dengan cara sekadar melakukan percakapan biasa, tetapi etnografer memasukkan beberapa pertanyaan etnografis ke dalam pertanyaan itu. Tiga unsur etnografi yang paling penting ialah tujuan yang eksplisit, penjelasan, dan pertanyaannya yang bersifat etnografi:

  1. Tujuan yang eksplisit
  2. Penjelasan etnografi
  3. Pertanyaan etnografi
  4. Membuat Catatan Etnografi

Langkah berikutnya dalam pendekatan “Alur Penelitian Maju Bertahap” adalah mulai mengumpulkan catatan penelitian. Bahkan sebelum melakukan kontak dengan seorang informan, etnografer akan mempunyai berbagai kesan, pengamatan, dan keputusan untuk dicatat. Ketika melakukan penelitian pada suatu komunitas asing, maka dibutuhkan waktu berminggu- minggu atau berbulan-bulan sebelum melakukan wawancara sistematis dengan seorang informan. Ketika mempelajari suatu suasana budaya dalam masyarakat kita sendiri, etnografi paling tidak sudah mempunyai suatu pilihan dan kemungkinan sudah menyaksikan suatu budaya itu dan pencatatan kesan-kesan pertama ini akan terbukti mempunyai makna penting nantinya. Yang pasti, kontak pertama dengan seorang informan pantas untuk didokumentasikan. Dalam langkah ini, kami akan mempelajari sifat dasar suatu catatan etnografi dan membahas beberapa langkah praktis untuk membuat catatan itu menjadi catatan yang sangat bermanfaat dalam analisis dan penulisan. Bagian utama suatu catatan etnografi terdiri atas catatan lapangan i tertulis, baik catatan hasil observasi, wawancara, rekaman, buku harian, atau dokumen pribadi lainnya.

Membuat Analisis Domain

Dalam langkah terakhir, menyajikan beberapa prosedur analisis untuk melakukan pencarian domain awal yang memfokuskan pada domain-domain yang merupakan nama-nama benda. Pencarian awal ini hanya ber­peran untuk memperkenalkan etnografer pemula dalam menemukan domain-domain penduduk asli. Sekarang, kita dapat bergerak ke arah prosedur yang lebih sistematik yang disebut analisis domain yang akan mengarahkan pada penemuan jenis-jenis domain yang lain. Jika seorang etnografer sementara telah mengidentifikasikan beberapa domain dalam sebuah kebudayaan, maka ia perlu menguji dengan para informannya. Pengujian ini dilakukan dengan cara menanyakan beberapa pertanyaan struktural untuk memperkuat atau melemahkan domain-domain yang telah dihipotesiskan.

Langkah-langkah dalam Analisis Domain

  1. Langkah satu: memilih satu hubungan semantik tunggal
  2. Langkah dua: Mempersiapkan satu lembar kerja analisis domain
  3. Langkah Tiga: Memilih satu sample dari statement informan

Analisis Komponen

Analisis komponen merupakan pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Apabila seorang etnografer menemukan berbagai kontras di antara anggota sebuah kategori, maka kontras ini paling baik jika dianggap sebagai atribut komponen makna suatu istilah. Kita dapat mengidentifikasikan satu atribut sebagai elemen informasi apa saja yang berhubungan secara teratur dengan sebuah simbol. Atribut selalu dihubungkan dengan istilah-istilah asli informan. Dalam menempatkan sebuah istilah asli informan ke dalam sebuah domain dan taksonomi tertentu. Anda harus mengisolasi satu hubungan semantik tunggal Dalam membuat analisis komponen, Anda akan memfokuskan pada hubungan ganda (imultiple) antara sebuah istilah asli informan dengan simbol-simbol lain. Bahkan ketika kita mengajukan pertanyaan struktural, kebanyakan informan secara suka rela menyampaikan berbagai hubungan tambahan dan informasi tambahan (atau atribut tambahan) mengenai berbagai istilah asli informan yang sedang kita pelajari.

Ada dua cara yang dipakai para antropolog untuk melakukan analisis komponen berbagai istilah asli informan. Pendekatan pertama telah membatasi dirinya untuk menemukan atribut-atribut yang dikonseptualisasikan oleh infor­man. Tipe analisis komponen ini mencoba untuk menemukan realitas psiko­logis dunia informan dan merupakan pendekatan yang dipakai dalam buku ini. Pendekatan kedua membebaskan penggunaan konsep mereka sendiri tanpa memperhatikan apakah analisis mereka merefleksikan atribut-atribut yang menonjol bagi mereka yang mengetahui kebudayaan itu. Tipe analisis ini berupaya menemukan realitas struktural yang tidak sejalan dengan persepsi informan.

Langkah-langkah Pembuatan Analisis Komponen

  1. Langkah satu: memilih sebuah rangkaian kontras untuk analisis.
  2. Kedua: menemukan semua kontras yang telah ditemukan sebelumnya.
  3. Ketiga: mempersiapkan sebuah kertas kerja paradigma yang berisi sebuah paradigma kosong yang diisi istilah-istilah asli informan beijudul “rangkaian kontras”.
  4. Keempat: mengidentifikasi dimensi-dimensi kontras yang mempunyai nilai kembar.
  5. Kelima: menggabungkan dimensi-dimensi kontras yang sangat terkait menjadi dimensi kontras yang mempuyai nilai ganda.
  6. Keenam: mempersiapkan pertanyaan kontras untuk memperolah atribut-atribut yang hilang serta dimensi-dimensi kontras yang baru.
  7. Ketujuh: melakukan sebuah wawancara untuk memperoleh data yang diperlukan.
  8. kedelapan: mempersiapkan sebuah paradigma lengkap, yaitu dengan melengkapi paradigma yang sebagian telah dianalisis sebelum wawancara itu..

Referensi:

Brewer, John. 2000. Ethnography. Philadelphia: Open University Press.

Hammersley, M. and Atkinson, P. 2007. Ethnography: Principles in Practice. New York: Routledge.

Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies for Mass Communication Research. New York: Routledge.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP).

Sanday, Peggy Reeves. 1979. The Ethnographic Paradigm. New York: Cornell University.

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.