by spi_admin | Oct 31, 2016
*Purwanto Wahyudi
Secara etomologi, istilah epistemology berasal dari kata Yunani episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan yang sistematik. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Sedangkan, ilmu pengetahuan adalah suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).
Adalah urgen, menurut Nasr, untuk mencoba mencoba mencari hubungan antara ilmu pengetahuan Barat dengan wacana kebudayaan Timur, untuk melihat watak ilmu pengetahuan Barat, dengan klaim dominasi globalnya, dan peradaban Timur, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya pengetahuan suci.
Ilmu pengetahuan Barat ini diletakkan dalam posisi yang berbeda dengan kebudayaan timur, bukan karena menafikan keterpengaruhan dan kontribusi peradaban Timur terhadap ilmu pengetahuan Barat, namun karena ilmu pengetahuan Barat sejak renaissance (aufklarung) telah menciptakan bentuk dan paradigma baru yang diderivasikan dari corak pemikiran rasionalistis dan antropomorpis serta sekularisasi kosmos. Bentuk baru ini melahirkan ilmu pengetahuan yang monolitik dan unilateral.
Kecenderungan epistemology Barat pada umumnya mengarah kepada aliran positivisme. Pemikiran ini hanya mendasarkan dan membatasi pengetahuan manusia pada data oleh panca indra dan akal. Sehingga dalam kajiannya, metode yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan adalah empirisme dan rasionalisme. Empirisme berarti pengelaman indrawi. Aliran ini mempercayai bahwa indrawi manusia sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang berhubungan dengan dunia dan pengalaman batiniah yang berhubungan dengan pribadi manusia.
Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa indra manusia adalah sumber pengetahuan manusia, baik jasmani maupun rohani. Dengan demikian manusia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan indra yang dipunyainya, tidak harus dengan wahyu, keyakinan seperti ini akan mungkin terjadi ketika seseorang mengikuti pola pemikiran aliran empirisme. Karen mereka beranggapan pengalaman adalah guru yang terbaik untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran.
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Menurut aliran rasionalisme kebenaran dapat dikatakan benar jika sesuai dengan kenyataan, jadi sesuatu yang dianggap benar harus sesuai dengan kenyataan ataudapat dibyktikan, kalau sesuatu itu tiudak dapat lihat secara nyata maka hal tersebut tidak dianggap benar karena tidak sesuai dengan kenyataan. Aliran ini juga berpendapat bahwa pengalaman dan pengamatan bukan jaminan untuk mendapatkan kebenaran. Para rasionalisme berprinsip bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi. Akal budi akan mampu menemukan kebenaran dan pengetahuan yang kan secara terus menrus mencari kebenaran hingga ke akar permasalahan. Aliran ini berusaha menghilangkan aspek pengamatan inderawi sebagai alat untuk mendapatkan kebenaran, tetapi mereka lebih mengunggulkan akal untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan.
Tetapi pencarian kebenaran dengan metode rasional menurut Jujun S. Suriasumantri (2003:112) pemikiran rasionalisme dengan deduktifnya menghasilkan kesimpulan yang benar bila ditinjau dari sisi alur logika, tetapi sangat bertentangan kenyataan yang sebenarnya. Dengan demikian metode rasional dalammencari kebenaran mempunyai kelemahan.
Epistemologi sains dalam pandangan sekuler mencoba mencari kebenaran dengan metode ilmiah. Metode ini dianggap valid dalam menemukan kebenaran.dengan metode ilmiah mereka mendapatkan ilmu. Ilmu dapat dikatakan sebagai ilmu kalau telah memenuhi metode ilmiah. Pengetahaun dapat dikatakan sebagai ilmu jika telah memenuhi kaidah ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara kerja pikiran. Sehingga nantinya akan menghasilkan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat ilmiah. Metode ilmiah berusaha menggabungkan cara berfiir deduktif dan induktif (Jujun S. Suriasumantri, 2003:119-120). Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa metode ilmiah menggabungkan pemikiran deduktif dan induktif. Penalaran deduktif mengacu kepada rasionalisme sedangkan induktif mengacu kepada empirisme.
Aliran rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan, menurut aliran ini indra diperlukan untuk merangsang akal manusia dan memberi bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja dengan baik. Tetapi menurut aliran ini akal dapat menyampaikan manusia kepada kebenaran. Menurut aliran ini keputusan-keputusan tentang kebenaran yang rasional dan dapat dibuktikan dengan konsistensi logis proposisi-proposisi kebenaran tersebut, atau apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan maka itu dianggap sebagai kebenaran.
Pada epistemologi Timur, semua hal dan kejadian dalam pandangan tradisi Timur dipersepsikan oleh indera saling berkaitan, terhubung, dan aspeknya berbeda atau manifestasi realitas akhir yang sama. Dasar pengetahuan pada pengalaman mistis tradisi Timur menyarankan suatu kesejaajran ke dasar ilmu pengetahuan terhadap eksperimen. Itu digambrakan dalam tradisi Barat sebagai pikiran langsung yang meletakkan keluar realism intelektual dan dihasilkan melalui penglihatan dengan melihat dalam diri, dengan observasi. daripada pemikiran, Pandangan dunia Timur adalah pandangan yang didasarkan oleh pengalaman mistis pada pengalaman nonintelektual langsung atas realitas dan pengalaman ini memiliki sejumlah karakteristik dasar yang tak bergantung pada latar belakang geografis historis, dan kultural dari masing-masing mistiskusnya.
Ciri khas terpenting pandangan dunia Timur hampir dapat dikatakan esensi dari pandangan dunia itu adalah kesadaran akan kesatuan dan hubungan timbal balik dari segala sesuatu, benda dan peristiwa, pengalaman atas seluruh fenomena di dunia sebagai manifestasi dari satu kesatuan dasar. Segala sesuatu dipandang sebagai bagian yang saling bergantung dan tak terpisahkan dari keseluruhan jagat raya ini sebagai manifestasi yang berbeda dari realitas hakiki yang sama. Tradisi-tradisi Timur senantiasa mengacu pada realitas hakiki yang tak terbagi-bagi ini, yang memanifestasikan dirinya kedalam sesuatu, dimana segala sesuatu adalah bagian-bagain dalam dirinya. Tradisi-tradisi epsitemologi di dunia Timur pada prinsipnya adalah pengalaman metafisik. Perkembangannya didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu dan kemampuan rasional, namun tetap didasarkan juga pada yang bersifat metafisika dan perasaan subjektif yang secara holistis menyatu dalam hidup seseorang.
Capra melihat bahwa akar dari perkembangan sains bermula dari filsafat Gerika, khususnya dari arus piker Milesian, yang dapat dikatakan sangat mirip dengan konsep piker monistis dan organis dari filsafat India dan Cina Kuno. Capra lebih jauh meletakkan pengetahuan intuitif di atas pengetahuan rasional, bahkan riset nasional. Wawasan intuitif tidak terpakai di dunia fisika, kecuali ia bias diformulasikan dalam kerangka kerja matematis, yang didukung dengan suatu penafsiran dalam bahasa yang gamblang. Sebaliknya, capra juga mengargumentasikan adanya elemen rasional di dalam mistisme timur. Memang tingkatan pemakaian rasio dan logika berbeda-beda di setiap arus pikir ini. Dia melihat bahwa Taoist sangat mencurigai rasio dan logika. Dan di dalam dunianya, Mistisme Timus didasarkan pada wawasan langsung ke dalam natur realitanya, sedangkan fisika didasarkan pada penelitian terhadap fenomena natural di dalam kajian pengujian ilmiah.
Dengan penerimaan Panteisme dan Mistisme merasuki dunia sains, maka seluruh realita materi kini dilihat sebagai realita yang hidup. Dengan lebih tajam lagi, dapat dikatakan bahwa benda-benda yang selama ini dianggap mati, kini dianggap hidup, bahkan setara dengan manuusia. Karena semua realita pada dasarnya tunggal, maka tidak mungkin ada satupun fenomena yang dipertentangkan. Disini, seluruh konsep pembagian, keteraturan, keterbatasan, kekhususan, tidak boleh lagi membatasi perkembangan pemikiran sains dan cara mengerti realita dunia ini.
Dari penjelasan dapat dipahami akan perbedaan dari dua keduanyaan yang sangat jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu Epistemologi Barat dan Timur. Dimana Epistemologi Barat kajiannya didasarkan pada praduga-praduga sedangkan Epistemologi Timur didasarkan pada kajian metafisika. Sumber ilmu pengetahuan pada Epistemologi Barat adalah hanya pada akal (rasio) dan data/fakta empiris sedangkan Sumber Epistemologi Timur adalah akal sehat, panca indra, intuisi dan wahyu.
Referensi
Anshari, Endang Saifuddin. 1985. Ilmu, Filsafat dan Agama: Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Capra, Fritjof. 1975. The Tao of Physics. New York: Bantam Books
Fautanu, Idzam. 2012. Filasafal Ilmu: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Referensi.
Gharawiyan, Mohsen. 2012. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Ilmu. Jakarta: Sadra Press.
Nasr, Seyyed Hossein. 1993. The Need for Sacred Science. Richmond: Curzon Press.
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
http://adnanjamaljusticeforall.blogspot.com/2011/10/ilmu-sebagai-metode-mendapatkan
by spi_admin | Oct 31, 2016
* Muh Amrih
Epistemologi sebenarnya berawal dari paradigma agama. Kekuasaan agama sangat dominan dalam menetapkan fenomena ilmiah yang ada. Supremasi agama dijunjung tinggi dan doktrinnya tidak boleh dielakkan. Ajaran-ajaran agama dahulu di tradisi barat menjadi penentu kebenaran. Tetapi seiring perkembangannya, pemisahan antara ajaran agama dengan ilmu pengetahuan terjadi. Sebagai hasil, beberapa ilmuwan yang mampu menemukan kebenaran secara empiris namun tidak sesuai dengan doktrin agama telah dihukum berat hingga meninggal. Satu peristiwa yang telah pernah terjadi, Galileo yang dihukum gantung. Epistemologinya membuktikan bahwa bumi mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Para ilmuwan yang melakukan bantahan terhadap agama terus berlangsung dan akhirnya terjadi pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan negara. Gereja dibatasi kekuasannya mengenai urusan masalah agama dan selebihnya menjadi kekuasaan negara. Dengan pemisahan tersebut, kekuasaan negara berada diatas kekuasaan gereja. Dengan demikian, negara dapat melakukan inovasi-inovasi terhadap penyelenggaran negara termasuk mengenai pengembangan pemikiran tentang alam dan manusia.
Sebagai hasil, agar peristiwa tidak ingin terulang kembali seperti keadaan sebelumnya yang mengutamakan ajaran agama dalam pengembangan keilmuan. Epistemologi dari tradisi barat akhirnya lebih membebaskan diri dari pemikiran keagamaan atau berada pada paham sekuler. Dengan demikian, keabsahan ilmu pengetahuan berdasarkan pada korespondensi, koherensi dan pragmatisme. Korespondensi memberikan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif, koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai pernyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif. Sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kemashalatan, kebenarannya bersifat fungsional.
Terlepas dari epistemologi berdasarkan pada tradisi barat ataupun tradisi timur yang membebaskan kepercayaan agama, kedua tradisi tersebut sesungguhnya mengakui kekuasaan lebih tinggi bermula dari agama, sumbernya adalah Tuhan. Berikut dikaji secara literatur bagaimana epistemologi dari perspektif agama yang kenyataannya telah dulu ada hingga pengaruhnya masih tetap diyakini secara bijak.
Semua ajaran agama tidak seluruhnya dapat dianalisis dan ditelaah berdasarkan fakta lapangan dan bukti-bukti empiris. Agama tidak seluruhnya dapat dikaji secara ilmiah oleh karena ajaran agama didasarkan pada wahyu dari Tuhan, bukan berdasarkan hasil penyelidikan keilmuan melalui metode deduktif dan induktif (Qomar, 2005). Lebih lanjut, konsep-konsep agama seringkali bersifat doktriner, tanpa pengujian terlebih dahulu dan tidak dapat diuji. Demi mencapai kebenaran ilmu pengetahuan yang terandalkan, para ilmuan terkadang telah beranggapan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus dibersihkan dari pengaruh konsep-konsep normatif agama. Karena epistemologinya hanya berusaha mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dan hakiki pengetahuan yang mengkaji pengandaian dan syarat logis berdasar pada pengetahuan (Tafsir, 2003). Padahal tidak demikian. Perspektif agama yang menghasilkan kitab sebagai pedoman hidup menciptakan konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan tiga prinsip yakni korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tetapi juga didapatkan melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi). Ini niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu melalui kitab suci. A. Yusuf Ali dalam Qomar (2005) menyiratkan sumber ilmu pengetahuan menurut epistemologi Islam menjadi tiga yakni wahyu, rasio, dan indera. Hal yang sama, Solehudin (2012) menjelaskan bahwa agama yang bersumber dari Islam melalui Al-Quran, mengisyaratkan melalui beberapa tahapan. Pertama, ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui tanggapan indrawi (al-hissi) atau dapat juga dikatakan melalui pengalaman empirik (al tajribah). Kedua, melalui metode bayani (analisis kebahasaan). Ketiga, melalui analisis pemikiran yang logis dan rasional (nazariyah dan aqliyah) atau dengan istilah yang populer metode burhani. Keempat, melalui intuisi dan kontemplasi atau ma’rifat al-qalb setelah melewati proses riyadh dan mijjadah sehingga terjadi mukashafah, atau yang lebih dikenal dengan metode ‘irfani. Dan kelima, melalui wahyu dan kesaksian langsung (shahadah) orang-orang yang terpercaya atas diturunkannya wahyu kepada nabi/rasul Tuhan, atau dikenal metode al-mathu.
Nasution (1996) mengungkapkan bahwa manusia mempunyai akal, yaitu daya pikir yang berpusat di pikiran kepala dan daya rasa yang berpusat di kalbu. Daya pikir dipertajam melalui intelektual dan daya rasa dipertajam melalui ibadah. Semua agama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan berpusat pada Pencipta, maka cara ini dapat mempertajam daya rasa. Lebih lanjut, manusia terdiri dari unsur materi, yaitu tubuh yang mempunyai hayat dan unsur non-materi yang mempunyai dua daya yaitu daya rasa di dada dan daya pikir di kepala. Daya rasa jika diasah dengan baik, mempertajam hati nurani dan daya pikir jika dilatih akan mempertajam penalaran. Iqbal dalam Danusiri (1996) menyatakan bahwa manusia sebagai kesatuan jiwa dan badan mampu menangkap seluruh realitas, materi dan non materi, karena di dalam diri manusia terdapat tiga potensi epistemologis, yaitu: serapan panca indra, kekuatan akal dan intuisi. Aspek lahir (external) realitas dapat ditangkap oleh panca indra; aspek batinnya (internal) dapat ditangkap oleh akal; dan tingkatannya yang paling tinggi dapat ditangkap oleh intuisi. Mengenai indra, kemampuannya terletak pada daya penangkapan benda benda material. Ilmu yang diperoleh indera disebut ilmu inderawi atau ilmu empiris.
Pengalaman empirik ini diperoleh melalui penelitian yang realitasnya selalu berulang-ulang atau berputar dan merupakan akibat dari realitas. Di samping panca indera, akal juga merupakan alat untuk memperoleh ilmu, yang hasilnya agama akan tidak ada artinya manakala akal pikiran dikurung untuk tidak berpikir secara kritis dalam memahami dan melaksanakan agama secara wajar (Solihin, 1996). Ini dapat dipahami, sebab akal mempunyai potensi yang luar biasa. Gerak pikiran dalam tempo yang singkat bisa berpindah perhatiannya dari tak terbatass ke yang terbatas. Berdasarkan potensi akal ini, maka muncul metode ‘aqliyah yang merupakan cara penggalian hukum Islam dengan menggunakan penalaran rasional (akal). Iqbal (Danusiri, 1996) mendefinisikan hati sebagai sejenis intuisi batin atau wawasan dan mengenalkan kita kepada masalah-masalah kenyataan selain dari yang terbuka bagi cerapan penginderaan. Sedangkan fungsi dari intuisi ini adalah memberikan informasi mengenai hal-hal yang tidak dapat ditangkap indera.
Dalam perspektif agama tanpa memperhatikan jenis agama secara parsial apakah Islam, Kristen, Budha, Hindu, atau sebagainya, epistemology sebenarnya dipandang secara menyeluruh. Semua potensi yang ada dalam diri manusia yang terdiri dari panca indera, daya pikir, dan intuisi digunakan secara integral dalam berepistemologi. Panca indera mampu dipertajam dengan daya pikir dan intuisi menyelaraskan keduanya.
Dalam agama islam. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemology adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dalam hadisnya yang lain Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu,” Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS,Al-Maidah:11). Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa menuntut ilmu penting bagi manusia, karena dapat meningkatkan derajat manusia di sisi Allah Swt dan di sisi manusia.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium (M.Zainuddin, 2006:53).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak hanya menggunakan rasionalitas, empirisme saja dalam menemukan kebenaran, tetapi Islam menghargai dan menggunakan wahyu dan intuisi, ilham dalam mencari kebenaran. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal (QS.Al Maidah:31).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan ilmu yang benar dapat muncul dari contoh-contoh dan fenomena alam yang sengaja Allah ciptakan agar manusia memperhatikan dan mengambil pelajaran. Bahkan, dalam Al-Quran dinyatakan bahwa akal saja tidak akan mampu mengambil kebenaran dari ayat-ayat Allah, untuk mencari kebenaran menurut Al-quran tidak dapat mengandalkan akal sebagi satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran. Al-Quran menyatakan semua tanda-tanda /ayat-ayat Allah tidak ada gunanya keculai bagi mereka yang beriman. Dalam ayat lain Allah memberi dorongan kepada manusia untuk menggunakan inderanya agar mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan (QS.An Nur:43).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip epistemology menurut islam adalah didasarkan kepada kejian metafisika, sumbernya kepada wahyu, akal sehat, panca indra dan intuisi, pendekatannya bersifat tawhidy, objeknya fisik dan sekaligus metafisik, ilmu sarat dengan nilai (value full), validitas kebenaran konteks (data & fakta) diselaraskan dengan teks (wahyu), berorientasi dunia dan akhirat.
Referensi
Danusiri. 1996. Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional, Bandung: Mizan.
Solehudin, Ending. 2012. Filsafat Ilmu Menurut Al-Quran. Islamica, Vol. 6, No.2.
Solihin, Mochtar. “Epistemologi Ilmu Menurut al-Ghazali” dalam Jurnal Mimbar Studi: Nomor 3 Tahun XXII, Mei-Agustus 1999.
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Tafsir, Ahmad. 2003 Filsafat Umum: Akal dan Hati dari Thales sampai Capra. Jakarta: Rosda.
http://adnanjamaljusticeforall.blogspot.com/2011/10/ilmu-sebagai-metode-mendapatkan
http://tonybestthinker.blogspot.com/2014/03/epistemologi-islam-barat.html
by spi_admin | Oct 31, 2016
*Muh Amrih
Salah satu corak pengetahuan ialah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu pengetahuan yang ekuivalen atinya dengan science. Dalan ensiklopedia bahasa Indonesia ilmu pengetahuan adalah suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu pengetahuan, yaitu: objek materia dan objek forma. Objek materia ialah seluruh lapangan atau badan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. Objek forma ialah objek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu lainnya, jika berobjek sama.Pada garis besarnya objek ilmu pengetahuan adalah alam dan manusia. Oleh karena itu ada ahli yang membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bagian besar, yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia.
Manusia menjadi subjek dengan mengidentifikasi dirinya dengan yang lain. Manusia adalah misteri. Ada sebuah sajak kuno yang bisa menggambarkan kemisterian manusia, //Aku datang-entah dari mana/ Aku ini-entah siapa/ Aku pergi-entah kemana/ Aku akan mati-entah kapan/ Aku heran bahwa aku bergembira// Misteri ini adalah sebuah kegelapan yang memaksa manusia untuk mencari tahu siapa dirinya, dimana dirinya, dan kemana dirinya untuk keberlangsungan hidupnya itu sendiri. Manusia yang misteri ingin membongkar kemisterian tersebut dengan berbagai jalan, misal dengan berbagai mitos, atau pemikiran, logos, atau dari jawaban yang didapatkan dari tradisi berbagai agama, atau teologi.
Aku (manusia) yang seharusnya menarik perhatian kita itu, adalah sebagian dari suatu alam tak terhingga dan ia sendiri di antara makhluk-makhluk hidup bertubuh, bisa atau memiliki kesanggupan untuk mempertimbangkan (mengawasi, memikirkan) ala mini, mengadakan percobaan-percobaan dan menduga adanya hubungans-hubungan dan undangd-undang antara kenyataan-kenyataan. Ia juga, menjadi objek dari percobaan-percobaan dan perhatian pengawas. Kalau kita mengetahui bahwa pengetahuan adanya undang-undang yang berlaku atas dunia hidup itu bisa menerangi arti dari manusia dengan menerangkan wujudnya di muka bumi, tali-tali yang mempersatukan dia dengan bentuk-bentuk hidup lainnya dan perbedaan-perbedaan yang member sifat-sifat kepadanya, maka kita harus mempelajari evolusi (perkembangan) dari seluruh dunia dari awalnya, tanpa lupa bahwa observasi-observasi kita itu bisa tertutup oleh alat observasi kita sendiri.
Di dalam Al-Qur’an, ada satu episode menarik tentang rencana penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Episode ini dimulai dengan dialog antara Allah SWT dan para malaikat tentang rencana penciptaan manusia dan tujuannya hingga keberadaan Adam AS di bumi dengan berbagai pilihan dan konsekuensinya. Dijelaskan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah sebagai khalifah Allah di muka bumi (Khalifatullah fil Ardhi). Salah satu arti dari khalifah adalah pengganti atau wakil Allah, yang bertugas mewujudkan rencana Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta (Rabbul Alamin). Pemilihan Adam (atau manusia), sebagai pengemban amanah yang amat berat tentulah memiliki alasan kuat. Salah satu alas an terpenting adalah adanya potensi Ilmu pengetahuan pada diri manusia dan kemampuan untuk mengembangkannya. Kedua hal tersebut sangat diperlukan di dalam pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi, di samping berbagai persyaratan-persyaratan lainnya. Setidaknya ada dua pelajaran berharga yang dapat diambil dari peristiwa tersebut di atas, yaitu bahwa Allah SWT adalah sumber pertama dan utama dari ilmu pengetahuan ”The Ultimate Source of Knowledge” sekaligus sebagai’Facilitator’ yang memfasilitasi proses pembelajaran, atau penguasaan, pengembangan, dan penciptaan ilmu pengetahuan secara mandiri pada diri manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa Allah SWT adalah ’Sang Maha Guru’ pertama bagi manusia yang di dalam rangkaian ayat-ayat tersebut di atas direpresentasikan oleh Adam AS manusia pertama yang di muka bumi.
Ada beberapa cabang ilmu pengetahuans yang berobjek materia sama (manusia), tegasnya tingkah laku manusia. Apabila kita pelajari tingkah laku manusia sebagai makhluk hidup di dalam masyarakat maka tingkah laku itu mempunyai berbagai segi, sedsperti aspek bologis, psikologis, sosiologis dan anthropologis. Tentu segi-segi lain daripada tingkah laku manusia itu masih ada, yaitu aspek-aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia sebagai insan politik, sebagai insan ekonomi, dan sebagai insan hukum atau sebagai insan sejarah. Akan tetapi untuk memahami konsep manusia-masyarakat, pendekatan dari sudut ilmu-ilmu inti tentang tingkah laku manusia, yaitu psikologi, sosiologi dan anthropologi adalah yang paling utama.
Kita telah membuktikan bahwa filsafat secara global berkaitan dengan ilmu pengetahuan lain. Sumbangsih filsafat terhadap ilmu pengetahuan lain adalah dalam menjelaskan prinsip-prinsip asertifnya, yaitu dalam mebuktikan subjek-subjeknya yang tidak badihi dan memdbuktikan kaidah-kaidah universal apriorinya.
- Membuktikan subjek-subjek ilmu pengetahuan, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setiap bidang ilmu pengetahuan memiliki subjek pembahasan sendiri. Jika subjeknya tidak badihi maka subjek tersebut perlu dibuktikan. Di dalam pembuktian ilmu setiap subjek ilmu pengetahuan wilayahnya bukan dalam persoalan bidang ilmu pengetahuan itu sendiri dan karenanya membutuhkan metode lain. Misalnya dalam membuktikan wujud hakiki subjek ilmu alam butuh metode akal. Hal-hal seperti ini hanya metafisik yang dapat membantu bidang ilmu pengetahuan lainnya, yang dapat membuktikan subjek-subjek ilmu pengetahuan dalam dengan argumentasi akal.
- Membuktikan kaidah-kaidah universal apriori, prinsip universal yang paling penting yang dibutuhkan seluruh bidang ilmu pengetahuan adaladh prinsip kausalitas dan hukum-hukum turunannya. Pusat perhatian seluruh usaha ilmiah adalah bagaimana menemukan hubungan kausal di antara fenomena-fenomena yang ada.
Demikian halnya, hukum-hukum particular kausalitas seperti “keidentikan” dan keniscayaan universal ilmu pengetahuan yang filsafat general dan berlaku pada seluruh ilmu pengetahuan. Walaupun ilmu-ilmu saling berhubungan, namun pada saat yang sama tiap ilmu memiliki batasan tertentu. Berdasarkan batasan itu kita dapat membagi tingkatan ilmu. Dahulu para pemikir dan ilmuwan membagi tingkatan ilmu untuk memudahkan mereka dalam tujuan pedagogis. Dengan cara ini akan terlihat dengan jelas manakah ilmu yang apriori dan mana yang posterior serta metode apa yang dipakai untuk masing-masingnya.
Referensi:
Gharawiyan, Mohsen. 2012. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Ilmu. Jakarta: Sadra Press.
Anshari, Endang Saifuddin. 1985. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: PT Bina Ilmu.
http://www.pandaisikek.net/index.php/artikel/buletin-dakwah/583-allah-swt-qsang-maha-guruq
http://undedescendit.blogspot.com/2011/06/aku-adalah-yang-lain.html
by spi_admin | Oct 28, 2016
*Purwanto Wahyudi
Audit internal telah menjadi kebutuhan bagi pimpinan untuk membantu mengendalikan jalannya kegiatan operasional suatu organisasi. Audit internal perlu dilakukan secara teratur agar dapat mencegah terjadinya masalah dan pimpinan akan dapat segera mengetahui dan mengatasi masalah sebelum permasalahan tersebut berkembang lebih luas. Selain itu audit internal jg dapat mengindentifikasi penyebab timbulnya serta mengetahui langkah-langkah efektif untuk mengatasinya. Audit internal dilakukan oleh orang yang professional yang memiliki pemahaman yang mendalam mengenai sistem dan kegiatan operasi suatu organisasi. Aktivitas audit internal memberikan jaminan bahwa pengendalian internal yang dijalankan suatu organisasi telah cukup memadai untuk memperkecil terjadinya resiko, menjamin kegiatan operasi organisasi telah berjalan secara efektif dan efisien serta memastikan bahwa sasaran dan tujuan organisasi telah tercapai.
Pada dasarnya kegiatan audit internal baik bersifat financial audit maupun operasional audit, memiliki tahapan berupa:
- Penyelesaian hasil audit internal dengan adanya temuan-temuan audit;
- Rekomendasi atau saran yang diberikan audit internal dalam bentuk tindakan perbaikan yang ditujukan pada auditee untuk pada masa datang;
- Tanggapan auditee terhadap rekomendasi atau saran yang diberikan audit internal dalam bentuk persetujuan perbaikan atau pembuatan prosedur;
- Disposisi oleh pimpinan atas rekomendasi atau saran yang diberikan audit internal sebagai dorongan pada auditee untuk menyegerakan penyelesaian tindak lanjut dari temuan audit; dan
- Monitoring atau tindak lanjut atas rekomendasi dari temuan audit.
Keberhasilan dari peran dan tugas yang diemban oleh auditor internal adalah salah satunya ditunjukan dengan adanya kecenderungan berkurangnya jumlah temuan audit. Hal ini menunjukkan bahwa auditor dapat berperan sebagai konsultan yang berarti dalam melakukan audit, auditor juga ikut berperan dalam menyampaikan permasalahan yang terkait dalam organisasi Banyaknya temuan yang diperoleh pada saat dilakukan audit tidak otomatis menunjukkan bahwa auditor tersebut telah bekerja dengan baik. Hal ini terkait dengan penyelesaian tindak lanjut temuan hasil audit yang masih perlu diselesaikan oleh auditee dan organisasi. Banyakanya temuan audit yang belum ditindaklanjuti merupakan tanggung jawab bagi auditee untuk penyelesaiannya dengan tetap dimonitor oleh auditor internal.
Bahan Bacaan :
- Hasymi Mhd, Evaluasi Tindak Lanjut Temuan Audit Internal Sebagai Unsur Mengoptimalkan Pengelolaan Keuangan.
- Tri Hartono, Evaluasi Penyelesaian Tindak Lanjut Temuan Audit Sebagai Unsur Penilaian Kinerja Manajemen Kantor Cabang (Studi Kasus Pada Bank Btn)
- Sa Seksi 312, Risiko Audit Dan Materialitas Dalam Pelaksanaan Audit
by spi_admin | Oct 21, 2016
“..SPI harus diperkuat sebagai think tank Rektor dalam memberikan usulan serta pertimbangan kebijakan universitas”, (more…)