Dua Dimensi Empat Paradigma Gibson Burrell and Gareth Morgan

Paradigma dalam Menganalisis Ilmu Sosial

Dengan mengkombinasikan pandangan-pandangan mengenai asumsi sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar masyarakat, paradigma untuk menganalisis teori sosial bisa dibagi menjadi empat, yaitu radical humanist, radical structuralist, interpretive, dan functionalist. Untuk lebih jelas, klasifikasi tersebut bisa digambarkan dalam kuadran seperti berikut:

Paradigma Functionalist

Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan menggunakan sudut pandang objektif. Ciri khasnya adalah perhatian yang besar pada penjelasan-penjelasan mengenai status quo, keteraturan sosial, konsensus, integrasi sosial, soliadritas, pemenuhan kebutuhan dan aktualisasi.

Paradgma functionalis lebih sering melakukan pendekatan yang berorientasi   masalah,   lebih  memerhatikan   bagaimana   menyediakan solusi praktis terhadap permasalahan praktis. Ia mengacu kepada tradisi dari kaum sosial positif. Kaum fungsionalis cenderung untuk mengasumsikan  bahwa  dunia  sosial  merupakan  teridiri  dari  artefact empiris  relatif  dan  hubungan,  yang  dapat  diidentifikasi,  dipelajari  dan diukur,  pendekatan  ini diturunkan  dari pendekatan  ilmu alam.  Analogi yang   paling   favorit   adalah   analogi-analogi   mekanik   dan   biologi. Pendekatan ini merefleksikan asumsi-asumsi mengenai alam ilmu sosial, yang berada pada oposisi paham sosiologi positif.

Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, ke setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih mendasarkan pada “filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.

Paradigma ini pada dasamya berusaha me nerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu meka nika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi per geseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu per geseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.

Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi “perubahan radikal” mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah ter jadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objek tivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.

Paradigma Interpretive

Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan sudut pandang subjektif. Perhatian utamanya ada pada bagaimana memahami dunia sebagaimana adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial dari pengalaman subjektif. Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan dalam dunia kesadaran seseorang dan subjektivitas, dalam bingkai rujukan orang yang terlibat langsung, bukan sebagai pengamat.

Paradigma  interpretasi  diinformasikan  dengan  penekanan  untuk memahami dunia apa adanya, untuk memahami dasar alam dunia ilmu sosial pada level pengalaman subjektif. Ia berusaha mencari penjelasan dunia alam sadar individu dan subjektivitas, dimana pola acuan peserta beroposisi   dengan   aksi   pengamat.   Ia   cenderung   menjadi   kaum nominalis, anti positif, volunter, dan ideographic.

Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan- anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pan dangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradgima Radical Humanist

Paradigma ini didefinisikan dengan perhatian utamanya untuk mengembangkan sociology of radical change dari sudut pandang subjektif. Paradigma ini berpandangan bahwa dalam sebuah masyarakat adalah penting untuk membuang atau melanggar batas-batas yang ada dalam pengaturan sosial.

Paradigma kemanusiaan radikal didefinisikan dengan penekanannya untuk  mengembangkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut pandang kaum subjektif. Pendekatannya terhadap ilmu sosial memiliki banyak kesamaan  dengan  paradigma   interpretif,   dalam hal ini ia memandang dunia sosial dari perspektif yang cenderung menjadi kaum nominalis, anti-positif, dan ideographic.

Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pen dekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilang kan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah di kuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka. Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan “konsientisasi”, yang pada dasarnya membangkit kan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal.

 

Paradgima Radical Structuralist

Paradigma ini berangkat dari pandangan Sociology of radical change dari sudut pandang objektif. Radical structuralist sangat gigih dalam membahas isu-isu perubahan radikal, emansipasi, dan potensiality, analisis yang menekankan konflik struktural, dominasi, kontradiksi dan pengambilalihan (deprivation). Kaum teori berada pada paradigma ini menganjurkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut pandang kaum objektif.

Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cen derung realis, positivis, determinis, dan nomotetis.

Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan -hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara me nyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.

 

Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

 

Perbandingan Dua Dimensi Empat Paradigma

 

Paradigma : Fungsionalist Interpretive Radical Humanist Radical Structuralist
Sudut Pandang Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan menggunakan sudut pandang objektif Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan sudut pandang subjektif Paradigma ini didefinisikan dengan perhatian utamanya untuk mengembangkan sociology of radical change dari sudut pandang subjektif Paradigma ini berangkat dari pandangan Sociology of radical change  dari

sudut pandang objektif.

Akar Disiplin Psikologi, sosiologi Antropologi, sosiolinguistik Teori kritis (Jerman), studi kebudayaan Inggris dan Eksistensialisme Perancis Marxisme Jerman dan Rusia
Ciri Khas dan Karakteristik Ciri khasnya adalah

perhatian yang besar pada penjelasan- penjelasan mengenai status quo, keteraturan sosial, konsensus, integrasi sosial, soliadritas, pemenuhan kebutuhan dan aktualisasi.

Perhatian utamanya

ada pada bagaimana memahami dunia sebagaimana adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial dari pengalaman subjektif. Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan dalam dunia kesadaran seseorang dan subjektivitas, dalam bingkai rujukan orang yang terlibat langsung, bukan sebagai pengamat.

Paradigma ini berpandangan bahwa dalam sebuah masyarakat adalah penting untuk membuang atau melanggar batas-batas yang ada dalam pengaturan social Paradigma ini sangat

gigih dalam membahas isu-isu perubahan radikal, emansipasi, dan potensiality, analisis yang menekankan konflik struktural,

dominasi, kontradiksi dan pengambilalihan (deprivation).

Asumi Dasar  Bahwa masyarakat mempunyai keberadaan yang kongkrit dan mengikuti aturan tertentu.

 Bahwa teori-teori ilmiah dapat dinilai secara obyektif dengan referensi pada bukti empiris.

 Standar universal dari ilmu pengetahuan menentukan apa yang membentuk penjelasan dari sesuatu yang diamati.

 Bahwa aturan eksternal dan regulasi menguasai dunia eksternal.

 Memandang dunia sosial sebagai proses yang diciptakan oleh individu.

 Bahwa dalam ilmu pengetahuan alam, masalah subyeknya bersifat spiritual.

 Bahwa ilmu pengetahuan terbentuk secara sosial dan terjaga secara sosial, signifikansi dan maknanya hanya dapat dipahami di dalam konteks sosial.

 Bahwa realitas tercipta dan terpelihara secara sosial.

 Humanis radikal cenderung memandang masyarakat sebagai anti manusia.

 Humanis radikal percaya bahwa segala sesuatu dipegang secara keseluruhan karena keseluruhan mendominasi bagian dalam seluruh pemahaman yang dipegang

 Ide totalitas: menekankan pada hubungan dialektik antara totalitas dan bagian unsur pokoknya.

 Ide struktur: fokusnya adalah pada konfigurasi

hubungan sosial yang disebut dengan struktur.

 Ide kontradiksi: struktur atau pembentukan sosial, berisi kontradiksi dan hubungan antagonistis di dalam mereka sehingga dapat menimbulkan kerusakan mereka sendiri.

 Ide krisis: kontradiksi di dalam totalitas mencapai titik di mana mereka tidak lagi dapat ditahan. Menghasilkan krisis ekonomi dan politik di mana menunjukkan titik transformasi dari satu totalitas kepada lainnya di mana sekumpulan

struktur diganti oleh sifat lainnya yang secara fundamental berbeda.

Ontologi Realisme

(realitas dipahami sebagai sesuatu yang apa adanya dan terpisah dari pengalaman peneliti)

Nominalisme

(realitas dipahami sebagai hasil konstruksi pengalaman – pengalaman individu yang membentuk intereksi social)

Nominalisme

(realitas dipahami sebagai hasil konstruksi pengalaman – pengalaman individu yang membentuk intereksi social)

Realisme

(realitas dipahami sebagai sesuatu yang apa adanya dan terpisah dari pengalaman peneliti)

 

Epistemologi Positivistik

(pengetahuan didapatkan dari hasil pengamatan empiris terhadap fenomena social.)

Non Positivistik

(pengetahuan didapatkan dari hasil interpretasi terhadap fenomena dan gejala social)

Non Positivistik

(pengetahuan didapatkan dari hasil interpretasi terhadap fenomena dan gejala social)

Positivistik

(pengetahuan didapatkan dari hasil pengamatan empiris terhadap fenomena social.)

Human Nature Deterministik

(manusia merupakan agen yang sudah ditentukan perannya dalam setiap interaksi social)

Volountaristik

(manusia bebas dalam memilih perannya dalam relasi – relasi social)

Volountaristik

(manusia bebas dalam memilih perannya dalam relasi – relasi social

Deterministik

(manusia merupakan agen yang sudah ditentukan perannya dalam setiap interaksi social)

Metodologi Deduksi – induksi

(penelitian dilakukan dengan metode deduksi yaitu pengamatan terhadap gejala – gejala umum fenomenas social, kemudian menarik generalisasi terhadap fenomena)

Induksi

(penelitian dilakukan dengan metode induksi, yaitu meneliti secara grounded di akar – akar masyarakat, dan memberikan interpretasi terhadap gejala social yang ditemukan)

Induksi

(penelitian dilakukan dengan metode induksi, yaitu meneliti secara grounded di akar – akar masyarakat, dan memberikan interpretasi terhadap gejala social yang ditemukan)

Deduksi –  induksi

(penelitian dilakukan dengan metode deduksi yaitu pengamatan terhadap gejala – gejala umum fenomenas social, kemudian menarik generalisasi terhadap fenomena)

Oksiologi Bebas Nilai

(pengetahuan bebas dari kepentingan, pengalaman peneliti. Pengetahuan yang diperolah sebisa mungkin terbebas dari bias – bias yang mungkin bersumber dari pengalaman peneliti)

Sarat Nilai

(Pengetahuan merupakan hasil interpretasi, dan karenya pengetahuan bersifat sarat  dengan nilai, yaitu kepentingan peneliti didalamnya.)

Sarat Nilai

(Pengetahuan merupakan hasil interpretasi, dan karenya pengetahuan bersifat sarat  dengan nilai, yaitu kepentingan peneliti didalamnya.)

Bebas Nilai

(pengetahuan bebas dari kepentingan, pengalaman peneliti. Pengetahuan yang diperolah sebisa mungkin terbebas dari bias – bias yang mungkin bersumber dari pengalaman peneliti)

Perubahan Sosial Bertahap

(perubahan social hanya dapat dilakukan secara bertahap)

Bertahap

(perubahan social hanya dapat dilakukan secara bertahap)

Radikal

(perubahan social terjadi secara radikal, yaitu apabila sarana – sarana infrstruktur social berubah secara cepat, maka fenomena social pun akan berubah secara cepat)

Radikal

(perubahan social terjadi secara radikal, yaitu apabila sarana – sarana infrstruktur social berubah secara cepat, maka fenomena social pun akan berubah secara cepat)

Penekanan Teori Teori didapatkan dari pengamatan terhadap fenomena inpiris yang terjadi dalam realitas sosial Teori didapatkan dari interaksi pemikiran individu-individu yang kemudian berkembang menjadi consensus masyarakat Teori didapatkan dari interaksi pemikiran individu-individu yang kemudian berkembang menjadi consensus masyarakat Teori didapatkan dari pengamatan terhadap fenomena yang terjadi dalam struktur-struktur realitas social
Tokoh Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz. Paulo Freire Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

 

 

 

Seperti Apa Realitas Yang Mekanistik Itu?

*Suhartono

 Nominalism-realism (the ontological debate) Banyak sekali kontroversi mengenai kedua hal ini. Paham nominalis atau konvensionalis  memiliki  perspektif  bahwa  semua  yang ada di luar individu tidaklah real, hanya merupakan representasi nama dan simbol dimana sesuatu itu menjadi ada karena individu tersebut membuatnya ada. Jika setiap individu tidak memiliki representasi mengenai  sesuatu  yang  ada  diluarnya,  maka  sesuatu  itu  menjadi tidak  ada.  Berbeda  dengan  apa  yang  dipikirkan  oleh  kaum  realis bahwa setiap yang ada diluar individu adalah sesuatu yang nyata dan tidak bergantung pada persepsi atau cara pandang individu terhadap hal itu. Kaum realis percaya bahwa semua yang ada dalam hidup ini adalah   nyata   walaupun   individu   memiliki   atau   tidak   memiliki representasi terhadap sesuatu tersebut.

Berangkat dari asumsi ontologis memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.

Nominalisme dan realisme adalah dua aliran dalam filsafat yang berbeda atau bertolak belakang. Dari berbagai literatur dicontohkan perbedaan tersebut menyangkut hakikat dari suatu masalah (fenomena) terutama realita sosial yang diselidiki antara lain apakah realitas itu merupakan sesuatu yang obyektif atau subyektif (hasil pemikiran seseorang)? Atau apakah realitas itu merupakan sesuatu yang sudah ada (given) berada diluar pikiran manusia atau dari pikiran manusia. Realisme beranggapan bahwa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berwujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilih penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.

Penganut nominalis beranggapan bahwa masalah sosial itu merupakan sesuatu dari hasil pemikiran seseorang (subyektif) sebagai contoh nama benda atau nama orang merupakan kreasi seseorang untuk mendiskripsikan sesuatu. Sebaliknya penganut realis menganggap bahwa realitas sosial itu merupakan sesuatu yang berada diluar pemikiran manusia (obyektif), merupakan kenyataan. Dari sudut pandang ontologis (melihat hakikat atas sesuatu) realitas sosial tersebut sudah ada sebelum keberadaan dan kesadaran manusia.

Filsafat disebut banyak orang sebagai induk ilmu. Pengertian filsafat digambarkan Suriasumantri seperti ”… seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi”.

Ontologi adalah kajian filsafat yang membahas tentang hakikat atas suatu realita. Ilmu dan metafisika ini digambarkan Suriasumantri ”… merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncurkan ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya”.

Tafsiran metafisika (paham mekanistik) ini digunakan manusia antara lain terhadap alam. Gejala alam seperti hujan, angin, petir, dan lain-lain bisa didekati dari segi proses kimia-fisika. Namun demikian permasalahan terjadi jika tafsiran metafisika diterapkan pada makhluk hidup seperti manusia. Dalam Suriasumantri disebutkan ”… Disini kaum yang menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik”. Lebih jauh dijelaskan, ”Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut diatas”.

Perbedaan pandangan kaum mekanistik (monoistik) dan vitalistik (dualistik) ini sudah menjadi kajian dari ahli-ahli filsafat sejak dulu.”Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada didalamnya”. Perbedaan pandangan ini juga secara jelas digambarkan oleh Suriasumantri ”…proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun apakah kebenaran nya hakikat pikiran tersebut, apakah dia berbeda dengan zat yang ditelaahnya, ataukah hanya bentuk lain dari zat tersebut”.

Lebih lanjut disebutkan  Suriasumantri menyebutkan ”…yang membedakan robot dengan manusia bagi kaum yang menganut paham monistik hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya berbeda secara nyata”.

Asumsi yang bersifat ontologis merupakan asumsi yang menyangkut hakikat fenomena yang diselidiki. Para ilmuwan sosial, misalnya, dihadapkan dengan pertanyaan ontologis dasar: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.

istilah-istilah ini telah banyak menjadi subjek diskusi dalam literatur dan area-area kontroversi disekitarnya. Kaum normalis berada pada asumsi bahwa dunia sosial eksternal untuk kesadaran individu tidak lebih dari sebuah nama, konsep dan label yang digunakan untuk struktur realitas. Nominalist tidak pernah mengakui adanya stuktur apapun yang rill untuk menggambarkan konsep ini. Nama dianggap sebagai kreasi yang didasarkan pada kenyamanan mereka yang digunakan sebagai alat untuk menggambarkan, menciptakan rasa, dan melakukan negosiasi di dunia luar.

Realisme di sisi lain, berpatokan bahwa dunia sosial eksternal untuk kesadaran individual merupakan dunia nyata yang tercipta dari sesuatu yang keras, nyata, dan relative tidak berubah. Apakah kita menamai dan merasakan atau tidak struktur ataupun pertahanan para realis, mereka akan tetap ada sebagai entitas empiris. Bahkan mungkin kita tidak menyadari keberadaan struktur penting tertentu sehingga tidak memberikannya nama atau konsep untuk mengartikulasikan mereka. Bagi para Realis, dunia sosial ada secara independen dari apresiasi manusi terhadapnya. Individu dipandang sebagai seseorang yang dilahirkan dan hidup dalam dunia sosial yang memiliki realitas sendiri. Ini bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh invidu di luar sana. Secara ontologis, hal itu ada sebelum keberadaan dan kesadaran dari setiap manusia tunggal. Bagi realis, dunia sosial memiliki eksistensi yang sama keras dan konkritnya seperti alam.

Kaum mekanistik melihat gejala alam, termasuk makhluk hidup, hanya sebatas gejala fisika. Isaac Newton merumuskan system berpikir yang dipandang sebagai bentuk akhir filsafat mekanis. Masa tersebut dipandang sebagai mas aperalihan dari nilai-nilai yang lama ke nilai-nilai yang baru, dengan menggunakan sains modern sebagai perwujudannya. Realitas kehidupan manusia ditempatkan berdasarkan realitas yang otonom dengan hanya berdasarkan pada bukti-bukti empiris. Masyarakat akan selalu menetapkan fakta yang diakui eksistensinya oleh sain yang mekanistik. Pengalaman manusia diukur hanya dengan hitungan matematis tanpa mengikutsertakan unsur lain.

Realisme beranggapan bahwa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berwujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilih penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.

Definisi dan pemahaman tentang Realitas terus berkembang dari masa ke masa seiring bermunculnya pemikiran-pemikiran barat dan timur, antara lain Democritus, Sokrates, Plato, Aristoteles, hingga Rene Descartes (1596-1650), bapak filsafat modern, dianggap orang yang kali pertama membedakan antara jiwa dan tubuh atau res cogitans dan res extensa. Pandangan Descartes diikuti maupun dikukuhkan oleh Isaac Newton (1642-1727).

Referensi

Burrell, Gibson and Morgan Gareth. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann..

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nominalisme-Realisme dan Pandangan Dunia Mekanistik

ONTOLOGI I : NOMINALISME, REALISME DAN PANDANGAN DUNIA MEKANISTIK

 

Seperti Apa Realitas Menurut Agama?

Filsafat, sains dan agama beribicara mengenai realitas, segala sesuatu yang bisa kita cerap. Filsafat lahir terlebih dulu, sains baru muncul kemudian. Filsafat muncul karena ketakjuban mendalam ketika orang bersentuhan dengan realitas (dunia tempat hidupnya dan dirinya sendiri). Ketakjuban ini meninggalkan goresan mendalam dan tak henti menimbulkan pertanyaan. Orang kemudian mengajukan pertanyaan dengan sengaja untuk mendapatkan penjelasan. Dari mana asal semua benda? Apa itu cinta, kebaikan, kebahagiaan? Orang kemudian berolah pikir, sekuat tenaga menggunakan kemampuan akalnya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sudah banyak yang bisa dicapai dan dihasilkan. Sudah banyak manfaat yang bisa diambil dan hingga kini penyelidikan semacam itu tidak berhenti.

Tetapi filsafat hanya bergerak di tataran akal murni. Hasil penyelidikan dirumuskan dalam suatu pernyataan (proposisi). Bagaimana menilai benar tidaknya suatu pernyataan? Cukup dengan merujukkannya pada kaidah logika. Itu sebabnya logika sangat penting dalam filsafat. Logika adalah fondasi filsafat.

Sains tidak puas dengan ini. Dalam sains suatu pernyataan baru bisa dikatakan benar jika ia mengikuti kaidah logika dan merujuk pada bukti faktual. Bukti faktual ini harus bisa didapat dengan pengamatan (observasi). Sains dengan begitu bersifat empiris sementara filsafat spekulatif. Pernyataan filsafat analitik apriori; pernyataan sains sintetik a posteriori.

Cara yang ditetapkan oleh filsafat dan sains untuk menjelaskan realitas menghasilkan pagar pembatas mengenai pemaknaan realitas. Bagi sains realitas adalah segala sesuatu yang bisa diobservasi, bagi filsafat realitas adalah segala sesuatu yang bisa dipikirkan. Sains kemudian memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat dinyatakan secara kuantitatif. Fisika misalnya, menyelidiki materi dan energi, karena kedua hal ini dapat diukur dan ditimbang.

Apakah realitas itu terbatas pada segala sesuatu yang terobservasi dan atau segala sesuatu yang terpikirkan? Agama menjawab: Tidak! Apa yang dimaknai realitas menurut sains dan filsafat hanyalah sebagian dari keseluruhan realitas. Realitas dalam pandangan agama mencakup segala sesuatu yang dibicarakan dalam sains dan filsafat plus segala sesuatu yang sama sekali tidak dapat bukan saja diobservasi tetapi bahkan akal sekalipun tidak dapat memahaminya.

Hal-hal kualitatif seperti cinta, kebaikan, kebahagiaan tidak bisa dibicarakan dan diselidiki dalam sains karena tidak ada factual evidences yang dapat diobservasi dari hal-hal semacam ini. Filsafat masih bisa memperbincangkannya. Lalu bagaimana dengan realitas yang sama sekali tidak tercerap akal? Agama mengajarkan penggunaan perangkat lain selain akal untuk dapat bersentuhan dengan realitas semacam ini. Agama menunjukkan qalbu. Dengan qalbu kita bisa mengimani segala sesuatu yang tidak bisa kita observasi dan pikirkan.

Kebenaran-kebenaran tertinggi dalam dunia filsafat Islam masih terdikotomikan dua alur besar: rasionalsime dan idealisme, dengan berbagai bentuknya yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Kebenaran- kebenaran tertinggi ini selalu diperdebatkan adalah kebenaran metafisik yang menyangkut masalah: mana yang lebih awal antara wujud dan eksistensi.

Sebab hakikatnya terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu “objek”, kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Dalam konteks wujud, ada objek yang lebih  bisa  dipahami  ketimbang  konsepsi  wujud.  Menurut  para  filosof, konsepsi   wujud   sedemikian   terangnya,   sehingga   ia   persis   menyerupai matahari.  Karena  sedemikian  terangnya,  ia  tidak  mungkin  bisa  dilihat manusia.

Demikianlah wujud, begitu jelasnya mafhum wujud, maka ia tidak mungkin  bisa  didefinisikan  lewat  genus  (jins)  dan  diferensia  (fasl),  yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang wujud itu sendiri. Secara konseptual,  kata  Sabzawari  (w.1289), mafhum  wujud  adalah  sesuatu  yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami.

Secara historis, tema wujud menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh filosof klasik sejak Aristoteles. Karena itu kita akan dapati hampir seluruh buku-buku magnum opus filsafat, seperti as-Syifa karya Ibnu Sina, Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan buku- buku kalam karya Khowajeh Nasiruddin Thusi menempatkan masalah itu sebagai tema pentingnya. Namun harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih “sekadar” menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari tema- tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya.

Hinduisme tak bisa disebut filsafat, ataupun agama secara formal, la lebih merupakan organisme sosioreligiusyang besar dan rumit terdiri dari banyak sekali sekte, tradisi, dan sistem filosofis serta melibatkan berbagai ritual, upacara, dan disiplin spiritual, begitu juga pemujaan atas dewa dan dewi yang luar biasa banyaknya. Keragaman wajah dari tradisi spiritual yang rumit namun tetap bertahan dan kuat ini mencerminkan kompleksitas geografis, ras, bahasa, dan budaya dari Benua India yang luas. Berbagai manifestasi Hinduisme meliputi filsafat yang sangat intelektual melibatkan konsepsi dengan jangkauan dan kedalaman luar biasa, hingga praktik-praktik ritual massa yang naïf dan kekanak-kanakan. Jika mayoritas orang Hindu adalah penduduk desa sederhana yang menjaga agama populer ini tetap hidup dalam ritual pemujaan mereka sehari-hai Hinduisme di sisi lain melahirkan banyak guru spiritual luar biasa yang menyebarkan berbagai wawasan mendalamnya.

Tema dasar yang kerap dijumpai dalam mitologi Hindu adalal tentang penciptaan alam semesta melalui pengorbanan diriTuhan, ‘pengorbanan’ dalam makna aslinya berarti ‘menjadikan sakral’. Tuhan menjadi dunia dan akhirnya menjadi Tuhan kembali. Aktivitas: penciptaan ilahiah ini disebut lila, pertunjukan ilahiah, dan dunia dipandang sebagai panggung pertunjukan Ilahiah ini. Seperti kebanyakar mitologi Hindu, mitos lila bernuansa magis kuat .Brahman adalah penyihir agung yang mengubah dirinya menjadi dunia dan menampilkan pertunjukan ini dengan ‘kekuatan kreatif sihirnya’, yang merupakan makna asli istilah maya dalam Rig Weda. Istilah maya salah satu istilah terpenting dalam filsafat India telah berubah maknanya selama berabad-abad. Dari ‘kekuatan’, atau ‘kekuasaan’, sang penyihir agung, menjadi istilah untuk menandai kondisi psikologis setiap orang yang berada dalam pengaruh keterpesonaan akibat pertunjukan sihir itu. Selama kita menganggap kemajemukan bentuk lila sebagai realitas, tanpa memahami kesatuan Brahman yang melandasi semua bentuk itu, kita ada dalam pengaruh mantra sihir maya.

Jika nuansa Hinduisme adalah mitologis dan ritualistik, maka nuansa Buddhisme pastinya adalah psikologis. Buddha tak tertarik memenuhi rasa ingin tahu manusia tentang asal-mula dunia, hakikat Ilahi, atau pertanyaan lain semacam itu. la berminat secara eksklusif hanya pada situasi manusia, pada penderitaan dan frustrasi manusia. Ajarannya karena itu tak bersifat metafisis, namun psikoterapis. La menunjukkan asal-mula frustrasi manusia dan jalan mengatasinya, untuk keperluan ini ia mengambil konsep tradisional India tentang maya, karma, nirwana, dan lain-lain, dan memberinya interpretasi psikologis yang dinamis, menyegarkan, dan langsung relevan.

Setelah Buddha wafat, Buddhisme berkembang ke dalam dua tradisi, Hinayana dan Mahayana. Meskipun memiliki taraf intelektual tinggi dengan berbagai filsafat ini namun Buddhisme Mahayana tak pernah kehilangan dirinya dalam pemikiran abstrak spekulatif. Sebagaimana biasa dalam mistisisme Timur, akal dipandang hanya sebagai alat untuk melapangkan jalan menuju pengalaman mistis secara langsung, yang disebut orang Buddhis sebagai ‘kebangkitan’. Esensi pengalaman ini adalah melampaui dunia distingsi dan oposisi intelektual untuk mencapai dunia acintya, yang tak terpikirkan, ketika realitas tampil sebagai ‘kesedemikianan’ yang tak terbagi dan tak terdiferensiasi.

Selama abad ke-6 S.M., kedua sisi filsafat Cina ini berkembang ke dalam dua tradisi filsafat yang berbeda, Confusianisme dan Taoisme. Confusianisme adalah filsafat tentang organisasi sosial, tentang pikiran dan pengetahuan praktis. Filsafat ini memberi masyarakat Cina sebuah sistem pendidikan dan kaidah-kaidah etika sosial yang ketat. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk membentuk sebuah dasar etika bagi sistem keluarga Cina tradisional dengan strukturnya yang rumit dan ritual-ritual pemujaan nenek moyangnya. Taoisme, di sisi lain, terutama terkait dengan pengamatan alam dan penemuan Jalan, atau Tao, darinya. Kebahagiaan manusia, menurut orang Taois, didapat ketika orang mengikuti tatanan alamiah, bertindak secara spontan dan mempercayai pengetahuan intuitif mereka.

Pasangan yin dan yang adalah motif utama yang meiesap ke dalam budaya Cina dan menentukan seluruh ciri khas dari jalan hidup Cina tradisional. “Hidup,” kata Chuang Tzu, “adalah perpaduan yang selaras dari yin dan yang.”” Sebagai bangsa petani, orang Cina sudah akr^b dengan pergerakan-pergerakan matahari dan bulan dan dengan per­ubahan musim. Perubahan musim dan fenomena pertumbuhan dan kerusakan yang dihasilkannya di alam organik karena itu dipandang mereka-sebagai ekspresi paling jelas dari saling memengaruhi antara yin dan yang, antara musim salju yang dingin dan gelap serta musim kemarau yang terang dan panas. Saling memengaruhi musiman antara kedua kutub ini juga tercermin dalam makanan yang kita makan yang mengandung unsur yin dan yang. Makanan yang sehat terdiri dari, bagi orang Cina, penyeimbangan unsur yin dan yang.

Dari dua kecenderungan utama pemikiran Cina, Confusianisme dan Taoisme; yang terakhir Taoisme adalah pemikiran yang berorientasi mistis, sehingga lebih relevan untuk perbandingan dengan fisika modern. Seperti Hinduisme dan Buddhishie, lebih menaruh perhatian pada kebijakan intuitif, ketimbang rasiornal berbagai keterbatasan dan relativitas dunia pemikiran rasional. Taoisme pada prinsipnya, merupakan jalan pembebasan dari dunia ini dan dalam hal ini, dapat dibandingkan dengan jalan Yoga atau Vedanta dalam Hinduisme, atau Delapan Jalan Buddha. Dalam konteks kebudayaan Cina; pembebasan laois berarti, secara khusus, pembebasan dari aturan- aturan konvensional yang ketat.

Referensi

Capra, Fritjof. 1975. “The Tao of Physics”. New York: Bantam Books

Armahedi Mazhar. 2000. “Mencari Kesatuan dalam Kemajemukan Realitas” dalam Fazlur Rahman, Filsafat Shadra. Bandung: Pustaka.

http://suarakritingfree.blogspot.com/2012/10/realitas-dalam-filsafat-sains-dan-agama.html

 

 

 

Seperti Apa Realitas yang Ekologis?

*Suhartono

Refleksi mendalam atas posisi manusia sebagai subentitas dari keagungan alam semesta diharapkan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk kemudian menunda terlebih dahulu setiap klaim atas sentralitas posisi manusia sebagai penentu perkembangan alam semesta. Whitehead menyebut tahapan kesadaran manusia ketika mampu melampaui kekerdilan persepsinya atas semesta, dan kemudian mampu menemukan cara pandang yang utuh dengan seluruh realitas ekologisnya sebagai “diri ekologis”. Diri ekologis adalah “diri” yang mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan dan menciptakan keselarasan hubungan dengan satuan-satuan aktual lainnya.

Dalam pemikiran proses menurut Alfred North Whitehead, realitas dipahami sebagai suatu serikat atau komunitas wujud­-wujud aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Pemikiran Proses yang menekankan model sosial atau ekologis dalam memahami realitas dapat me­numbuhkan sikap-sikap yang menunjang kesa­daran ekologis. Pemikiran ini, seperti menekankan kesalingtergantungan antara manusia dan alam dan bukan sikap eksploitatif yang mengobjekkan dan me­nguras alam.

Filsafat Whitehead dengan demikian menunjukkan pentingnya lingkungan hidup manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri”. Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.

Berkaitan dengan itu, pemikiran Henryk Skolimowski dalam Eco-philosophy juga hadir sebagai tanggapan terhadap pandangan dunia yang mekanistik. Eco-philosophy secara menyeluruh bersifat ekologis. Eco-philosophy melihat kemanusiaan sebagai bagian dalam suatu kesatuan integral dengan alam semesta dalam evolusi. Alam semesta merupakan tempat yang sakral dan kita adalah penjaga kesakralannya.

Tulisan ini mencoba untuk melihat perbandingan antara pemikiran proses Alfred North Whitehead dengan paham Eco-Philosophy dari Henryk Sklolimowski dari sudut pandang ekologi. Untuk itu, dalam tulisan ini pertama-tama akan dipaparkan bagaimana ‘Filsafat Proses A.N. Whitehead’, kemudian diikuti dengan uraian mengenai ‘Eco-Philosophy: The World is A Sanctuary’, dan terakhir ditutup dengan ‘Kesadaran Ekologis dalam Eco-Philosophy dan Filsafat Proses’ yang berisi rangkuman dan perbandingan dua pemikiran dari dua pemikir tersebut.

Realitas dipahami sebagai suatu serikat atau komunitas wujud­-wujud aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Filsafat Whitehead dengan demikian menunjukkan pentingnya lingkungan hidup manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri”. Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.

Refleksi mendalam atas posisi manusia sebagai sub-entitas dari keagungan alam semesta diharapkan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk kemudian menunda terlebih dahulu setiap klaim atas sentralitas posisi manusia sebagai penentu perkembangan alam semesta. Whitehead menyebut tahapan kesadaran manusia ketika mampu melampaui kekerdilan persepsinya atas semesta, dan kemudian mampu menemukan cara pandang yang utuh dengan seluruh realitas ekologisnya sebagai “diri ekologis”. Diri ekologis adalah “diri” yang mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan dan menciptakan keselarasan hubungan dengan satuan-satuan aktual lainnya.

Pemikiran Proses menekankan model sosial atau ekologis dalam memahami realita dan dapat me­numbuhkan sikap-sikap yang menunjang kesa­daran ekologis. Alam dan manusia saling tergantung. Alam memiliki peranan penting bagi manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri” (satisfaction). Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya.

Dengan begitu, Pemikiran Whitehead telah memberikan sumbangan besar dan warna lain dalam pemikiran filosofis atau semacam kunci untuk membuka gembok penjara filsafat Barat yang notabene berwatak materialistik-positivistik. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.

Sebagian besar biologi dan ilmu kedokteran kontemporer lekat dengan pandangan hidup yang mekanistik dan mencoba mereduksi kerja organisme hidup menjadi mekanisme-meka nisme sel dan molekul yang dapat didefinisikan dengan jelas. Sampai pada tingkat-tingkat tertentu pandangan mekanistik dapat dibenarkan karena organisme hidup memang, dalam beberapa hal, berperilaku seperti sebuah mesin. Organisme hidup telah mengembangkan sejumlah besar bagian dan mekanisme yang menyerupai mesin – tulang, aksi otot, peredaran darah, dan sebagainya barangkali karena kerja yang me­nyerupai mesin semacam itu sangat bermanfaat di dalam evolusi mereka. Namun, hal ini bukan berarti bahwa organisme hidup adalah sebuah mesin. Mekanisme-mekanisme biologis hanyalah kasus-kasus khusus dari prinsip-prinsip organisasi

yang jauh lebih luas; sebenarnya tidak ada kerja organisme apa pun yang sepenuhnya terdiri atas mekanisme-mekanisme semacam itu. Ilmu biomedis, yang mengikuti Descartes, telah memusatkan perhatiannya terlalu banyak pada sifat-sifat benda hidup yang menyerupai mesin dan telah mengabaikan hakikatnya yang organismik, atau sistemik. Meskipun pengetahuan tentang aspek-aspek sel dan molekul struktur biologis akan tetap penting, suatu pemahaman yang lebih lengkap tentang kehidupan hanya akan diperoleh dengan mengembangkan sua­tu “biologi sistem”, suatu biologi yang memandang suatu orga­nisme scbagai suatu sistem hidup dan bukannya sebagai sebuah mesin,

Pandangan sistem melihal dunia dalam pengertian hubungan dan integrasi. Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil. Pendekatan sistem tidak memusat­kan pada balok-balok bangunan dasar atau zat-zat dasar melainkan lebih menekankan pada prinsip-prinsip organisasi da­sar. Contoh-contoh sistem semacam ini terdapat di alam raya. Setiap organisme dari bakteri yang paling kecil, bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan binatang, hingga manusia merupakan suatu keseluruhan yang terintegrasi dan dengan demikian berarti sebuah sistem yang hidup. Sel-sel itu merupa­kan sistem yang hidup, dan begitu pula berbagai jaringan dan organ tubuh; otak manusia merupakan satu contoh sistem hi­dup yang paling kompleks. Namun, sistem itu tidak terbatas pada organisme individual dan bagian-bagiannya. Aspek-aspek keseluruhan yang sama juga ditunjukkan oleh sistem-sistem sosial semacam komunitas semut, sarang lebah, atau keluarga manusia dan juga ditunjukkan oleh ekosistem yang terdiri atas berbagai organisme dan benda mati dalam suatu interaksi timbal-balik. Yang dilestarikan di suatu wilayah belantara bukan lagi pohon-pohon atau organisme-organisme secara invidual melainkan jaring-jaring hubungan yang kompleks antara pepohonan dan organisme-organisme tersebut.

Perbedaan nyata yang pertama antara mesin dengan organisme adalah kenyataan bahwa mesin itu dibangun, sedangkan organisme itu tumbuh. Perbedaan fundamental ini berarti bahwa pemahaman tentang organisme harus berorientasi pada proses. Misalnya, menyajikan gambaran sebuah sel yang akurat dapat saja menggunakan lukisan yang statis, atau dengan kata lain, menggambarkan sel dalam pengertian bentuk-bentuk statis merupakan sesuatu yang mungkin dilakukan. Namun demikian, sebenarnya sel-sel, seperti halnya semua sistem hidup harus dipahami dalam pengertian proses-proses yang mencerminkan organisasi yang dinamis dari sistem tersebut. Sementara aktivitas-aktivitas sebuah mesin ditentukan oleh stukturnya, hubungan tersebut justru berlawanan di dalam organisme dimana struktur organik ditentukan oleh berbagai proses.

Mesin itu berfungsi sesuai dengan rantai hubungan sebab-akibat yang linear, dan ketika mesin itu rusak, maka biasanya terdapat satu penyebab tunggal yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab kerusakan tersebut. Sebaliknya, kerja orga­nisme dituntun oleh pola-pola arus informasi yang berputar yang dikenal dengan putaran umpan-balik. Misalnya, komponen A mungkin mempengaruhi komponen B; komponen B mempengaruhi komponen C; dan pada gilirannya kompo­nen C “mengumpan-balik” pengaruh  pada A dan dengan demikian menutup putaran tersebut. Ketika sistem semacam itu rusak, kerusakan itu biasanya disebabkan oleh faktor-faktor ganda yang mungkin saling memperkuat satu sama lain melalui putaran umpan-balik yang saling tergantung. Faktor manakah yang merupakan penyebab pertama kerusakan tersebut seringkali menjadi tidak relevan.

Kesalinghubungan organisme hidup yang nonlinear ini rnenunjukkan bahwa usaha-usaha ilmu biomedis konvensional untuk mengaitkan penyakit dengan penyebab-penyebab tung­gal itu benar-benar problematis. Lebih-lebih hal tersebut rne­nunjukkan kekeliruan “determinisme genetik”, kepercayaan bahwa berbagai ciri fisik atau mental suatu organisme individu­al “dikendalikan” atau “ditentukan” oleh susunan genetiknya. Pandangan sistem menjelaskan bahwa gen-gen tidak menentukan kerja suatu organisme secara unik sebagaimana gir dan roda menentukan kerja sebuah arloji. Sebaliknya, gen merupakan bagian yang integral dari suatu keseluruhan yang terati dan oleh karena itu menyesuaikan dengan organisasi sistemil nya.

Referensi

Capra, Fritjof. 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

http://kampusbebeck.blogspot.com/2011/06/kesadaran-ekologis-dalam-eco-philosophy.html

Filsafat Organisme dan Kearifan Ekologis

 

 

Apa yang Dimaksud dengan Epistemologi?

*Purwanto Wahyudi

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (antologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.Antlogi adalah pembahasan tentang hakikat pengetahuan, epitimologi adalah pembahasan tentang metode dan landasan pemikiran yamg dipakai sampai kepada pengetahuan yang ilmiah,dan aksiologi adalah pembahasan tentang apa dan bagaimana fungsi pengetahuan itu bagi kehidupan manusia.  Ketiga landasan ini saling berkaitan,maka epistimologi  dikaitkan dengan antologi dan aksiologi ilmu. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan.Maka ilmu diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Jadi dengan ilmu,manusia mencoba menguasai alam ini.

Berdasarkan landasan antologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistimologi yang cocok? Persoalan yang utama dihadapi oleh tiap epistimologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek antologi dan aksiologi masing-masing.Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistimologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Kata Epistimologi berasal darei kata Yunani yaitu “episeme” dan “logos”.epise diartikan sebagai pengetahuan dan logos diartikan sebagai pikiran. Maka secara bahasa dapat diartikan sebagai pengetahuan yang benar. Epistimologi atau teori pengetahuan dalam pengertian tang luas merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan.Sebagai cabang filsafat, epistimologi mempelajari dan mencoba menentukan hakikat pengetahuan. Maka jika kita pahami lebih luas, bahwa epistimologi berbicara tentang asal mula pengetahuan, sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan, nilai validitas, dan kebenaran pengetahuan.

Pengetahuan

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bah­kan seorang anak kecil pun telah mempunyai berbagai pengetahuan se­suai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara lang­sung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berba­gai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.

Ilmu pengetahuan, suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).

Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan pene­muan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan. Sebuah laporan penelitian ilmiah mempunyai sistematika cara berpikir tertentu “yang tercermin dalam format dan tekniknya. Perbedaan utama dari metode ilmiah bila dibanding­kan dengan metode-metode pengetahuan lainnya, menurut Jacob Bronowski, adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik dan eksplisit.

Penelitian merupakan pencerminan secara kongkret kegiatan ilmu da­lam memproses pengetahuannya. Metodologi penelitian ilmiah dan haki­katnya merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan. Atau dengan perkataan lain, struktur berpikir yang melatarbelakangi langkah-lang­kah dalam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan. Dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk dapat memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah pene­litian. Bagi pendidikan keilmuan maka aspek-aspek filsafat ilmu sebaik­nya secara langsung dikaitkan dengan kegiatan berpikir ilmiah pada umumnya dan kegiatan penelitian pada khususnya. Langkah-langkah penelitian yang mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dila­kukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan adalah koheren dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan. Dengan de­mikian maka pengetahuan filsafati yang bersifat potensial secara kongkret memperkuat kemampuan ilmuwan dalam melakukan kegiatan ilmiah secara operasional.

 Sumber Pengetahuan

Pada dasarnya terdapat dua cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar,yaitu berdasarkan pada rasio yang disebut dengan rasionalisme dan berdasarkan pada pengalaman yang disebut dengan empirisme dan intuisi yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.

Kaum rasionalisme mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima.Paham ini dikenal dengan nama idealisme..Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya.Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersipat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya.Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlalu dalam alam sekitar kita.Jadi ide bagi kaum rasionalis adalah bersipat apriori dan prapengalaman yang di dapatkan manusia lewat penalaran rasional.

Sedangkan kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan di dapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurutnya bersipat konkrit dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indera manusia.Gejala itu kalau ditelaah lebih lanjut mempunyai karakteristik tertentu dan mempunyai pola yang teratur tentang kejadian sesuatu.Contohnya,suatu benda padat kalau dipanaskan akan memanjang,langit mendung akan diikuti turunnya hujan.maka pengamatan akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala dengan mengikuti pola tertentu.Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yangtelah terjadi.dengan menggunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersipat individual.

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).

Intusionisme. Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Dialektis yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.

 Perkembangan Ilmu Pada Masa Modern dan Kontemporer secara Epistimologi.

Sebagai ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistimologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan.Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles ,yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung namun harus bersikap kontemplatif  diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia dibumi ini.

Pada abad-abad berikutnya di dunia pada umumnya timbul suatu tekad untuk berlomba mencari kebenaran suatu ilmu sehingga dapat dirasakan  kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia membawa perkembangan manusia pada masa depan yang semakin maju.Hasilnya ilmu pengetahuan selama masa modern mengubah manusia dan dunianya.Terjadilah revolusi industri  I mulai sekitar tahun  1800 dengan pemakaian mesin-mesin mekanis,lalu revolusi industri II mulai tahun 1900 dengan pemakaian listrik dan awal pemakaian sinar-sinar dan kemudian revolusi III yang ditandai dengan penggunaan kekuatan alam dan penggunaan computer yang sedang kita nikmati saat ini.

Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia dan ilmuan akan selalu berinovasi dan berkreasi untuk penemuan-penemuan dan perumusan berikutnya.

Kecendrungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan,baik dalam dunia teknik mikro maupun makro.dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan semakin meningkat keinginan manusia ,memaksa,merajalela akibatnya  hasil dari ilmu pengetahuan manusiawi lagi bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri.Dan dipihak lain hasil ilmu pengetahuan bisa mengancam kehidupan manusia itu sendiri,seperti lomba persenjataan,menguras kekayaan bumi yang tidak bisa diperbaharui lagi,dll.

Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam lingkungan ilmuan yang prihatin terhadap  perkembangan teknik, industri dan persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan bumi ini.

Gregory Bateson melihat secara mendasar permasalahan yang ditimbulkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi .Menurutnya sebab-sebab utama yang menimbulkan krisis ialah kesalahan epistimologi  barat.Ini semua berkisar dari insektisida  sampai polusi ,jarahan radio aktif dan kemungkinan mencairnya es antartika.desakan kuat kita untuk menyelamatkan kehidupan individu yang akan mendatang bahaya kelaparan dunia di masa mendatang.

Ilmu pengetahuan harus bernilai praktis bagi manusia ,diantaranya dalam  betuk teknologiAkibatnya menaklukkan alam an mengekspoitasinya tidaklah dapat dianggap kesalahan,karena metode yang digunakannya adalah deduksi-induksisebagai pengaruh dari pemikiran positivisme.

Metode ini amat dominant dalam epistimologi modern ,khususnya dalam metode keilmuan,ketiga objek yang dikaji adalah realitas empiris,inderawi,dan dapat dipikirkan dengan rasio.Hermen Khan menyebutkan budaya yang dihasilkan  dari epistimologi diatas adalah budaya inderawi,secular,humanistic,utiliter, dan hedonistik.

Tentang tujuan ilmu pengetahuan dalam ilmu pengetahuan modern ialah bahwa ilmu pengetahuan bertujuan menundukkan alam ,alam dipandang sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan dinikmati dengan tidak memperhatikan akibat-akibat negatifnyauntuk masa mendatang.

Nasr mengkritik ilmu pengetahuan modern barat bahwa ilmu modern mereduksi seluruh esensi dalam pengertian metafisik,kepada material dan substansial.Pandangan dunia metafisisnyaris sirna dalam ilmu pengetahuan modern.kalaupun ada metafisik mereduksi menjadi filsafat rasional sekedar pelengkap ilmu pengetahuan  alam dam matematika.Ilmu pengetahuan modern menyingkirkan  kosmologi,pada hal kosmologi ilmu sacral yang menjelaskan kaitan materi  dengan wahyu dan doktrin metafisis.

Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan di zaman kontemporer  ditandai dengan berbagai teknologi canggih.Teknologi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan yang pesat .Mulai dari penemuan computer ,satelit komunikasi,interet,,dll.Manusia dewasa ini memiliki mobilitas yang tinggi karena pengaruh teknologi komunikasi dan informasi.

Kecendrungan filsafat Eropa pada umumnya mengarah kepada aliran positivisme. Pada akhirnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa proposisi-proposisi metafisik adalah serangkai­an pengetahuan yang nihil dan tidak memiliki makna. Auguste Comte meyakini ada tiga tahapan pemikiran manusia, yaitu:

  1. Tahapan teologis: manusia memaknai penyebab kejadian-kejadian alam pada hal-hal yang bersifat fiktif.
  2. Tahapan metafisik: manusia mencari sebab-sebab kejadian alam pada substansi yang tak diindrai yang ada pada sifat sesuatu.
  3. Tahapan saintifik: manusia sudah beranjak dari pertanyaan ‘mengapa’ seputar fenomena kepada ‘bagaimana’ kemunculannya dan hubungan antara satu fenomena dengan yang fenomena lainnya.

Pada tahapan terakhir, manusia sudah memahami sesuatu secara objektif. Comte menyebutnya sebagai tahapan positif. Menurut sebagian pemikir positivisme, ‘semakin maju ilmu pengetahuan maka (kepercayaan) pada Tuhan akan semakin mundur’.

Secara mendasar positivisme mengingkari adanya konsepsi-konsepsi universal, bahkan mereka menolak adanya persepsi khusus yang disebut dengan akal yang dikhususkan menangkap hal-hal yang bersifat universal. Mereka membatasi pengalaman manusia hanya kepada pengalaman yang bersifat indrawi dan mengingkari pengalaman-pengalaman internal seperti ilmu hudhuri.

 

Referensi:

Anshari, Endang Saifuddin. 1985. Ilmu, Filsafat dan Agama: Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Gharawiyan, Mohsen. 2012. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Ilmu. Jakarta: Sadra Press.

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi

http://yusmadi68.blogspot.com/2012/08/epitimologi.html