Seperti Apa Realitas yang Ekologis?

*Suhartono

Refleksi mendalam atas posisi manusia sebagai subentitas dari keagungan alam semesta diharapkan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk kemudian menunda terlebih dahulu setiap klaim atas sentralitas posisi manusia sebagai penentu perkembangan alam semesta. Whitehead menyebut tahapan kesadaran manusia ketika mampu melampaui kekerdilan persepsinya atas semesta, dan kemudian mampu menemukan cara pandang yang utuh dengan seluruh realitas ekologisnya sebagai “diri ekologis”. Diri ekologis adalah “diri” yang mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan dan menciptakan keselarasan hubungan dengan satuan-satuan aktual lainnya.

Dalam pemikiran proses menurut Alfred North Whitehead, realitas dipahami sebagai suatu serikat atau komunitas wujud­-wujud aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Pemikiran Proses yang menekankan model sosial atau ekologis dalam memahami realitas dapat me­numbuhkan sikap-sikap yang menunjang kesa­daran ekologis. Pemikiran ini, seperti menekankan kesalingtergantungan antara manusia dan alam dan bukan sikap eksploitatif yang mengobjekkan dan me­nguras alam.

Filsafat Whitehead dengan demikian menunjukkan pentingnya lingkungan hidup manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri”. Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.

Berkaitan dengan itu, pemikiran Henryk Skolimowski dalam Eco-philosophy juga hadir sebagai tanggapan terhadap pandangan dunia yang mekanistik. Eco-philosophy secara menyeluruh bersifat ekologis. Eco-philosophy melihat kemanusiaan sebagai bagian dalam suatu kesatuan integral dengan alam semesta dalam evolusi. Alam semesta merupakan tempat yang sakral dan kita adalah penjaga kesakralannya.

Tulisan ini mencoba untuk melihat perbandingan antara pemikiran proses Alfred North Whitehead dengan paham Eco-Philosophy dari Henryk Sklolimowski dari sudut pandang ekologi. Untuk itu, dalam tulisan ini pertama-tama akan dipaparkan bagaimana ‘Filsafat Proses A.N. Whitehead’, kemudian diikuti dengan uraian mengenai ‘Eco-Philosophy: The World is A Sanctuary’, dan terakhir ditutup dengan ‘Kesadaran Ekologis dalam Eco-Philosophy dan Filsafat Proses’ yang berisi rangkuman dan perbandingan dua pemikiran dari dua pemikir tersebut.

Realitas dipahami sebagai suatu serikat atau komunitas wujud­-wujud aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Filsafat Whitehead dengan demikian menunjukkan pentingnya lingkungan hidup manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri”. Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.

Refleksi mendalam atas posisi manusia sebagai sub-entitas dari keagungan alam semesta diharapkan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk kemudian menunda terlebih dahulu setiap klaim atas sentralitas posisi manusia sebagai penentu perkembangan alam semesta. Whitehead menyebut tahapan kesadaran manusia ketika mampu melampaui kekerdilan persepsinya atas semesta, dan kemudian mampu menemukan cara pandang yang utuh dengan seluruh realitas ekologisnya sebagai “diri ekologis”. Diri ekologis adalah “diri” yang mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan dan menciptakan keselarasan hubungan dengan satuan-satuan aktual lainnya.

Pemikiran Proses menekankan model sosial atau ekologis dalam memahami realita dan dapat me­numbuhkan sikap-sikap yang menunjang kesa­daran ekologis. Alam dan manusia saling tergantung. Alam memiliki peranan penting bagi manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri” (satisfaction). Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya.

Dengan begitu, Pemikiran Whitehead telah memberikan sumbangan besar dan warna lain dalam pemikiran filosofis atau semacam kunci untuk membuka gembok penjara filsafat Barat yang notabene berwatak materialistik-positivistik. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.

Sebagian besar biologi dan ilmu kedokteran kontemporer lekat dengan pandangan hidup yang mekanistik dan mencoba mereduksi kerja organisme hidup menjadi mekanisme-meka nisme sel dan molekul yang dapat didefinisikan dengan jelas. Sampai pada tingkat-tingkat tertentu pandangan mekanistik dapat dibenarkan karena organisme hidup memang, dalam beberapa hal, berperilaku seperti sebuah mesin. Organisme hidup telah mengembangkan sejumlah besar bagian dan mekanisme yang menyerupai mesin – tulang, aksi otot, peredaran darah, dan sebagainya barangkali karena kerja yang me­nyerupai mesin semacam itu sangat bermanfaat di dalam evolusi mereka. Namun, hal ini bukan berarti bahwa organisme hidup adalah sebuah mesin. Mekanisme-mekanisme biologis hanyalah kasus-kasus khusus dari prinsip-prinsip organisasi

yang jauh lebih luas; sebenarnya tidak ada kerja organisme apa pun yang sepenuhnya terdiri atas mekanisme-mekanisme semacam itu. Ilmu biomedis, yang mengikuti Descartes, telah memusatkan perhatiannya terlalu banyak pada sifat-sifat benda hidup yang menyerupai mesin dan telah mengabaikan hakikatnya yang organismik, atau sistemik. Meskipun pengetahuan tentang aspek-aspek sel dan molekul struktur biologis akan tetap penting, suatu pemahaman yang lebih lengkap tentang kehidupan hanya akan diperoleh dengan mengembangkan sua­tu “biologi sistem”, suatu biologi yang memandang suatu orga­nisme scbagai suatu sistem hidup dan bukannya sebagai sebuah mesin,

Pandangan sistem melihal dunia dalam pengertian hubungan dan integrasi. Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil. Pendekatan sistem tidak memusat­kan pada balok-balok bangunan dasar atau zat-zat dasar melainkan lebih menekankan pada prinsip-prinsip organisasi da­sar. Contoh-contoh sistem semacam ini terdapat di alam raya. Setiap organisme dari bakteri yang paling kecil, bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan binatang, hingga manusia merupakan suatu keseluruhan yang terintegrasi dan dengan demikian berarti sebuah sistem yang hidup. Sel-sel itu merupa­kan sistem yang hidup, dan begitu pula berbagai jaringan dan organ tubuh; otak manusia merupakan satu contoh sistem hi­dup yang paling kompleks. Namun, sistem itu tidak terbatas pada organisme individual dan bagian-bagiannya. Aspek-aspek keseluruhan yang sama juga ditunjukkan oleh sistem-sistem sosial semacam komunitas semut, sarang lebah, atau keluarga manusia dan juga ditunjukkan oleh ekosistem yang terdiri atas berbagai organisme dan benda mati dalam suatu interaksi timbal-balik. Yang dilestarikan di suatu wilayah belantara bukan lagi pohon-pohon atau organisme-organisme secara invidual melainkan jaring-jaring hubungan yang kompleks antara pepohonan dan organisme-organisme tersebut.

Perbedaan nyata yang pertama antara mesin dengan organisme adalah kenyataan bahwa mesin itu dibangun, sedangkan organisme itu tumbuh. Perbedaan fundamental ini berarti bahwa pemahaman tentang organisme harus berorientasi pada proses. Misalnya, menyajikan gambaran sebuah sel yang akurat dapat saja menggunakan lukisan yang statis, atau dengan kata lain, menggambarkan sel dalam pengertian bentuk-bentuk statis merupakan sesuatu yang mungkin dilakukan. Namun demikian, sebenarnya sel-sel, seperti halnya semua sistem hidup harus dipahami dalam pengertian proses-proses yang mencerminkan organisasi yang dinamis dari sistem tersebut. Sementara aktivitas-aktivitas sebuah mesin ditentukan oleh stukturnya, hubungan tersebut justru berlawanan di dalam organisme dimana struktur organik ditentukan oleh berbagai proses.

Mesin itu berfungsi sesuai dengan rantai hubungan sebab-akibat yang linear, dan ketika mesin itu rusak, maka biasanya terdapat satu penyebab tunggal yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab kerusakan tersebut. Sebaliknya, kerja orga­nisme dituntun oleh pola-pola arus informasi yang berputar yang dikenal dengan putaran umpan-balik. Misalnya, komponen A mungkin mempengaruhi komponen B; komponen B mempengaruhi komponen C; dan pada gilirannya kompo­nen C “mengumpan-balik” pengaruh  pada A dan dengan demikian menutup putaran tersebut. Ketika sistem semacam itu rusak, kerusakan itu biasanya disebabkan oleh faktor-faktor ganda yang mungkin saling memperkuat satu sama lain melalui putaran umpan-balik yang saling tergantung. Faktor manakah yang merupakan penyebab pertama kerusakan tersebut seringkali menjadi tidak relevan.

Kesalinghubungan organisme hidup yang nonlinear ini rnenunjukkan bahwa usaha-usaha ilmu biomedis konvensional untuk mengaitkan penyakit dengan penyebab-penyebab tung­gal itu benar-benar problematis. Lebih-lebih hal tersebut rne­nunjukkan kekeliruan “determinisme genetik”, kepercayaan bahwa berbagai ciri fisik atau mental suatu organisme individu­al “dikendalikan” atau “ditentukan” oleh susunan genetiknya. Pandangan sistem menjelaskan bahwa gen-gen tidak menentukan kerja suatu organisme secara unik sebagaimana gir dan roda menentukan kerja sebuah arloji. Sebaliknya, gen merupakan bagian yang integral dari suatu keseluruhan yang terati dan oleh karena itu menyesuaikan dengan organisasi sistemil nya.

Referensi

Capra, Fritjof. 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

http://kampusbebeck.blogspot.com/2011/06/kesadaran-ekologis-dalam-eco-philosophy.html

Filsafat Organisme dan Kearifan Ekologis

 

 

Apa yang Dimaksud dengan Epistemologi?

*Purwanto Wahyudi

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (antologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.Antlogi adalah pembahasan tentang hakikat pengetahuan, epitimologi adalah pembahasan tentang metode dan landasan pemikiran yamg dipakai sampai kepada pengetahuan yang ilmiah,dan aksiologi adalah pembahasan tentang apa dan bagaimana fungsi pengetahuan itu bagi kehidupan manusia.  Ketiga landasan ini saling berkaitan,maka epistimologi  dikaitkan dengan antologi dan aksiologi ilmu. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan.Maka ilmu diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Jadi dengan ilmu,manusia mencoba menguasai alam ini.

Berdasarkan landasan antologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistimologi yang cocok? Persoalan yang utama dihadapi oleh tiap epistimologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek antologi dan aksiologi masing-masing.Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistimologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Kata Epistimologi berasal darei kata Yunani yaitu “episeme” dan “logos”.epise diartikan sebagai pengetahuan dan logos diartikan sebagai pikiran. Maka secara bahasa dapat diartikan sebagai pengetahuan yang benar. Epistimologi atau teori pengetahuan dalam pengertian tang luas merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan.Sebagai cabang filsafat, epistimologi mempelajari dan mencoba menentukan hakikat pengetahuan. Maka jika kita pahami lebih luas, bahwa epistimologi berbicara tentang asal mula pengetahuan, sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan, nilai validitas, dan kebenaran pengetahuan.

Pengetahuan

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bah­kan seorang anak kecil pun telah mempunyai berbagai pengetahuan se­suai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara lang­sung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berba­gai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.

Ilmu pengetahuan, suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).

Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan pene­muan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan. Sebuah laporan penelitian ilmiah mempunyai sistematika cara berpikir tertentu “yang tercermin dalam format dan tekniknya. Perbedaan utama dari metode ilmiah bila dibanding­kan dengan metode-metode pengetahuan lainnya, menurut Jacob Bronowski, adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik dan eksplisit.

Penelitian merupakan pencerminan secara kongkret kegiatan ilmu da­lam memproses pengetahuannya. Metodologi penelitian ilmiah dan haki­katnya merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan. Atau dengan perkataan lain, struktur berpikir yang melatarbelakangi langkah-lang­kah dalam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan. Dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk dapat memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah pene­litian. Bagi pendidikan keilmuan maka aspek-aspek filsafat ilmu sebaik­nya secara langsung dikaitkan dengan kegiatan berpikir ilmiah pada umumnya dan kegiatan penelitian pada khususnya. Langkah-langkah penelitian yang mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dila­kukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan adalah koheren dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan. Dengan de­mikian maka pengetahuan filsafati yang bersifat potensial secara kongkret memperkuat kemampuan ilmuwan dalam melakukan kegiatan ilmiah secara operasional.

 Sumber Pengetahuan

Pada dasarnya terdapat dua cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar,yaitu berdasarkan pada rasio yang disebut dengan rasionalisme dan berdasarkan pada pengalaman yang disebut dengan empirisme dan intuisi yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.

Kaum rasionalisme mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima.Paham ini dikenal dengan nama idealisme..Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya.Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersipat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya.Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlalu dalam alam sekitar kita.Jadi ide bagi kaum rasionalis adalah bersipat apriori dan prapengalaman yang di dapatkan manusia lewat penalaran rasional.

Sedangkan kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan di dapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurutnya bersipat konkrit dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indera manusia.Gejala itu kalau ditelaah lebih lanjut mempunyai karakteristik tertentu dan mempunyai pola yang teratur tentang kejadian sesuatu.Contohnya,suatu benda padat kalau dipanaskan akan memanjang,langit mendung akan diikuti turunnya hujan.maka pengamatan akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala dengan mengikuti pola tertentu.Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yangtelah terjadi.dengan menggunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersipat individual.

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).

Intusionisme. Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Dialektis yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.

 Perkembangan Ilmu Pada Masa Modern dan Kontemporer secara Epistimologi.

Sebagai ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistimologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan.Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles ,yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung namun harus bersikap kontemplatif  diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia dibumi ini.

Pada abad-abad berikutnya di dunia pada umumnya timbul suatu tekad untuk berlomba mencari kebenaran suatu ilmu sehingga dapat dirasakan  kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia membawa perkembangan manusia pada masa depan yang semakin maju.Hasilnya ilmu pengetahuan selama masa modern mengubah manusia dan dunianya.Terjadilah revolusi industri  I mulai sekitar tahun  1800 dengan pemakaian mesin-mesin mekanis,lalu revolusi industri II mulai tahun 1900 dengan pemakaian listrik dan awal pemakaian sinar-sinar dan kemudian revolusi III yang ditandai dengan penggunaan kekuatan alam dan penggunaan computer yang sedang kita nikmati saat ini.

Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia dan ilmuan akan selalu berinovasi dan berkreasi untuk penemuan-penemuan dan perumusan berikutnya.

Kecendrungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan,baik dalam dunia teknik mikro maupun makro.dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan semakin meningkat keinginan manusia ,memaksa,merajalela akibatnya  hasil dari ilmu pengetahuan manusiawi lagi bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri.Dan dipihak lain hasil ilmu pengetahuan bisa mengancam kehidupan manusia itu sendiri,seperti lomba persenjataan,menguras kekayaan bumi yang tidak bisa diperbaharui lagi,dll.

Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam lingkungan ilmuan yang prihatin terhadap  perkembangan teknik, industri dan persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan bumi ini.

Gregory Bateson melihat secara mendasar permasalahan yang ditimbulkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi .Menurutnya sebab-sebab utama yang menimbulkan krisis ialah kesalahan epistimologi  barat.Ini semua berkisar dari insektisida  sampai polusi ,jarahan radio aktif dan kemungkinan mencairnya es antartika.desakan kuat kita untuk menyelamatkan kehidupan individu yang akan mendatang bahaya kelaparan dunia di masa mendatang.

Ilmu pengetahuan harus bernilai praktis bagi manusia ,diantaranya dalam  betuk teknologiAkibatnya menaklukkan alam an mengekspoitasinya tidaklah dapat dianggap kesalahan,karena metode yang digunakannya adalah deduksi-induksisebagai pengaruh dari pemikiran positivisme.

Metode ini amat dominant dalam epistimologi modern ,khususnya dalam metode keilmuan,ketiga objek yang dikaji adalah realitas empiris,inderawi,dan dapat dipikirkan dengan rasio.Hermen Khan menyebutkan budaya yang dihasilkan  dari epistimologi diatas adalah budaya inderawi,secular,humanistic,utiliter, dan hedonistik.

Tentang tujuan ilmu pengetahuan dalam ilmu pengetahuan modern ialah bahwa ilmu pengetahuan bertujuan menundukkan alam ,alam dipandang sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan dinikmati dengan tidak memperhatikan akibat-akibat negatifnyauntuk masa mendatang.

Nasr mengkritik ilmu pengetahuan modern barat bahwa ilmu modern mereduksi seluruh esensi dalam pengertian metafisik,kepada material dan substansial.Pandangan dunia metafisisnyaris sirna dalam ilmu pengetahuan modern.kalaupun ada metafisik mereduksi menjadi filsafat rasional sekedar pelengkap ilmu pengetahuan  alam dam matematika.Ilmu pengetahuan modern menyingkirkan  kosmologi,pada hal kosmologi ilmu sacral yang menjelaskan kaitan materi  dengan wahyu dan doktrin metafisis.

Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan di zaman kontemporer  ditandai dengan berbagai teknologi canggih.Teknologi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan yang pesat .Mulai dari penemuan computer ,satelit komunikasi,interet,,dll.Manusia dewasa ini memiliki mobilitas yang tinggi karena pengaruh teknologi komunikasi dan informasi.

Kecendrungan filsafat Eropa pada umumnya mengarah kepada aliran positivisme. Pada akhirnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa proposisi-proposisi metafisik adalah serangkai­an pengetahuan yang nihil dan tidak memiliki makna. Auguste Comte meyakini ada tiga tahapan pemikiran manusia, yaitu:

  1. Tahapan teologis: manusia memaknai penyebab kejadian-kejadian alam pada hal-hal yang bersifat fiktif.
  2. Tahapan metafisik: manusia mencari sebab-sebab kejadian alam pada substansi yang tak diindrai yang ada pada sifat sesuatu.
  3. Tahapan saintifik: manusia sudah beranjak dari pertanyaan ‘mengapa’ seputar fenomena kepada ‘bagaimana’ kemunculannya dan hubungan antara satu fenomena dengan yang fenomena lainnya.

Pada tahapan terakhir, manusia sudah memahami sesuatu secara objektif. Comte menyebutnya sebagai tahapan positif. Menurut sebagian pemikir positivisme, ‘semakin maju ilmu pengetahuan maka (kepercayaan) pada Tuhan akan semakin mundur’.

Secara mendasar positivisme mengingkari adanya konsepsi-konsepsi universal, bahkan mereka menolak adanya persepsi khusus yang disebut dengan akal yang dikhususkan menangkap hal-hal yang bersifat universal. Mereka membatasi pengalaman manusia hanya kepada pengalaman yang bersifat indrawi dan mengingkari pengalaman-pengalaman internal seperti ilmu hudhuri.

 

Referensi:

Anshari, Endang Saifuddin. 1985. Ilmu, Filsafat dan Agama: Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Gharawiyan, Mohsen. 2012. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Ilmu. Jakarta: Sadra Press.

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi

http://yusmadi68.blogspot.com/2012/08/epitimologi.html

Apa Perbedaan Epistemologi Barat dan Timur?

*Purwanto Wahyudi

 Secara etomologi, istilah epistemology berasal dari kata Yunani episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan yang sistematik. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Sedangkan, ilmu pengetahuan adalah suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).

Adalah urgen, menurut Nasr, untuk mencoba mencoba mencari hubungan antara ilmu pengetahuan Barat dengan wacana kebudayaan Timur, untuk melihat watak ilmu pengetahuan Barat, dengan klaim dominasi globalnya, dan peradaban Timur, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya pengetahuan suci.

Ilmu pengetahuan Barat ini diletakkan dalam posisi yang berbeda dengan kebudayaan timur, bukan karena menafikan keterpengaruhan dan kontribusi peradaban Timur terhadap ilmu pengetahuan Barat, namun karena ilmu pengetahuan Barat sejak renaissance (aufklarung) telah menciptakan bentuk dan paradigma baru yang diderivasikan dari corak pemikiran rasionalistis dan antropomorpis serta sekularisasi kosmos. Bentuk baru ini melahirkan ilmu pengetahuan yang monolitik dan unilateral.

Kecenderungan epistemology Barat pada umumnya mengarah kepada aliran positivisme. Pemikiran ini hanya mendasarkan dan membatasi pengetahuan manusia pada data oleh panca indra dan akal. Sehingga dalam kajiannya, metode yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan adalah empirisme dan rasionalisme.  Empirisme berarti pengelaman indrawi. Aliran ini mempercayai bahwa indrawi manusia sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang berhubungan dengan dunia dan pengalaman batiniah yang berhubungan dengan pribadi manusia.

Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa indra manusia adalah sumber pengetahuan manusia, baik jasmani maupun rohani. Dengan demikian manusia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan indra yang dipunyainya, tidak harus dengan wahyu, keyakinan seperti ini akan mungkin terjadi ketika seseorang mengikuti pola pemikiran aliran empirisme. Karen mereka beranggapan pengalaman adalah guru yang terbaik untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran.

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Menurut aliran rasionalisme kebenaran dapat dikatakan benar jika sesuai dengan kenyataan, jadi sesuatu yang dianggap benar harus sesuai dengan kenyataan ataudapat dibyktikan, kalau sesuatu itu tiudak dapat lihat secara nyata maka hal tersebut tidak dianggap benar karena tidak sesuai dengan kenyataan. Aliran ini juga berpendapat bahwa pengalaman dan pengamatan bukan jaminan untuk mendapatkan kebenaran. Para rasionalisme berprinsip bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi. Akal budi akan mampu menemukan kebenaran dan pengetahuan yang kan secara terus menrus mencari kebenaran hingga ke akar permasalahan. Aliran ini berusaha menghilangkan aspek pengamatan inderawi sebagai alat untuk mendapatkan kebenaran, tetapi mereka lebih mengunggulkan akal untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan.

Tetapi pencarian kebenaran dengan metode rasional menurut Jujun S. Suriasumantri (2003:112) pemikiran rasionalisme dengan deduktifnya menghasilkan kesimpulan yang benar bila ditinjau dari sisi alur logika, tetapi sangat bertentangan kenyataan yang sebenarnya.  Dengan demikian metode rasional dalammencari kebenaran mempunyai kelemahan.

Epistemologi sains dalam pandangan sekuler mencoba mencari kebenaran dengan metode ilmiah. Metode ini dianggap valid dalam menemukan kebenaran.dengan metode ilmiah mereka mendapatkan ilmu. Ilmu dapat dikatakan sebagai ilmu kalau telah memenuhi metode ilmiah. Pengetahaun dapat dikatakan sebagai ilmu jika telah memenuhi kaidah ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara kerja pikiran. Sehingga nantinya akan menghasilkan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat ilmiah. Metode ilmiah berusaha menggabungkan cara berfiir deduktif dan induktif (Jujun S. Suriasumantri, 2003:119-120). Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa metode ilmiah menggabungkan pemikiran deduktif dan induktif. Penalaran deduktif mengacu kepada rasionalisme sedangkan induktif mengacu kepada empirisme.

Aliran rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan, menurut aliran ini indra diperlukan untuk merangsang akal manusia dan memberi bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja dengan baik. Tetapi menurut aliran ini akal dapat menyampaikan manusia kepada kebenaran. Menurut aliran ini keputusan-keputusan tentang kebenaran yang rasional dan dapat dibuktikan dengan konsistensi logis proposisi-proposisi kebenaran tersebut, atau apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan maka itu dianggap sebagai kebenaran.

Pada epistemologi Timur, semua hal dan kejadian dalam pandangan tradisi Timur dipersepsikan oleh indera saling berkaitan, terhubung, dan aspeknya berbeda atau manifestasi realitas akhir yang sama. Dasar pengetahuan pada pengalaman mistis tradisi Timur menyarankan suatu kesejaajran ke dasar ilmu pengetahuan terhadap eksperimen. Itu digambrakan dalam tradisi Barat sebagai pikiran langsung yang meletakkan keluar realism intelektual dan dihasilkan melalui penglihatan dengan melihat dalam diri, dengan observasi. daripada pemikiran, Pandangan dunia Timur adalah pandangan yang didasarkan oleh pengalaman mistis pada pengalaman nonintelektual langsung atas realitas dan pengalaman ini memiliki sejumlah karakteristik dasar yang tak bergantung pada latar belakang geografis historis, dan kultural dari masing-masing mistiskusnya.

Ciri khas terpenting pandangan dunia Timur hampir dapat dikatakan esensi dari pandangan dunia itu adalah kesadaran akan kesatuan dan hubungan timbal balik dari segala sesuatu, benda dan peristiwa, pengalaman atas seluruh fenomena di dunia sebagai manifestasi dari satu kesatuan dasar. Segala sesuatu dipandang sebagai bagian yang saling bergantung dan tak terpisahkan dari keseluruhan jagat raya ini sebagai manifestasi yang berbeda dari realitas hakiki yang sama. Tradisi-tradisi Timur senantiasa mengacu pada realitas hakiki yang tak terbagi-bagi ini, yang memanifestasikan dirinya kedalam sesuatu, dimana segala sesuatu adalah bagian-bagain dalam dirinya. Tradisi-tradisi epsitemologi di dunia Timur pada prinsipnya adalah pengalaman metafisik. Perkembangannya didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu dan kemampuan rasional, namun tetap didasarkan juga pada yang bersifat metafisika dan perasaan subjektif yang secara holistis menyatu dalam hidup seseorang.

Capra melihat bahwa akar dari perkembangan sains bermula dari filsafat Gerika, khususnya dari arus piker Milesian, yang dapat dikatakan sangat mirip dengan konsep piker monistis dan organis dari filsafat India dan Cina Kuno. Capra lebih jauh meletakkan pengetahuan intuitif di atas pengetahuan rasional, bahkan riset nasional. Wawasan intuitif tidak terpakai di dunia fisika, kecuali ia bias diformulasikan dalam kerangka kerja matematis, yang didukung dengan suatu penafsiran dalam bahasa yang gamblang. Sebaliknya, capra juga mengargumentasikan adanya elemen rasional di dalam mistisme timur. Memang tingkatan pemakaian rasio dan logika berbeda-beda di setiap arus pikir ini. Dia melihat bahwa Taoist sangat mencurigai rasio dan logika. Dan di dalam dunianya, Mistisme Timus didasarkan pada wawasan langsung ke dalam natur realitanya, sedangkan fisika didasarkan pada penelitian terhadap fenomena natural di dalam kajian pengujian ilmiah.

Dengan penerimaan Panteisme dan Mistisme merasuki dunia sains, maka seluruh realita materi kini dilihat sebagai realita yang hidup. Dengan lebih tajam lagi, dapat dikatakan bahwa benda-benda yang selama ini dianggap mati, kini dianggap hidup, bahkan setara dengan manuusia. Karena semua realita pada dasarnya tunggal, maka tidak mungkin ada satupun fenomena yang dipertentangkan. Disini, seluruh konsep pembagian, keteraturan, keterbatasan, kekhususan, tidak boleh lagi membatasi perkembangan pemikiran sains dan cara mengerti realita dunia ini.

Dari penjelasan dapat dipahami akan perbedaan dari dua keduanyaan yang sangat jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu Epistemologi Barat dan Timur. Dimana Epistemologi Barat kajiannya didasarkan pada praduga-praduga sedangkan Epistemologi Timur didasarkan pada kajian metafisika. Sumber ilmu pengetahuan pada Epistemologi Barat adalah hanya pada akal (rasio) dan data/fakta empiris sedangkan Sumber Epistemologi Timur adalah akal sehat, panca indra, intuisi dan wahyu.

Referensi

Anshari, Endang Saifuddin. 1985. Ilmu, Filsafat dan Agama: Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Capra, Fritjof. 1975. The Tao of Physics. New York: Bantam Books

Fautanu, Idzam. 2012. Filasafal Ilmu: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Referensi.

Gharawiyan, Mohsen. 2012. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Ilmu. Jakarta: Sadra Press.

Nasr, Seyyed Hossein. 1993. The Need for Sacred Science. Richmond: Curzon Press.

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

http://adnanjamaljusticeforall.blogspot.com/2011/10/ilmu-sebagai-metode-mendapatkan

 

 

Bagaimana dengan Epistemologi dari Perspektif Agama?

* Muh Amrih

 Epistemologi sebenarnya berawal dari paradigma agama. Kekuasaan agama sangat dominan dalam menetapkan fenomena ilmiah yang ada. Supremasi agama dijunjung tinggi dan doktrinnya tidak boleh dielakkan. Ajaran-ajaran agama dahulu di tradisi barat menjadi penentu kebenaran. Tetapi seiring perkembangannya, pemisahan antara ajaran agama dengan ilmu pengetahuan terjadi. Sebagai hasil, beberapa ilmuwan yang mampu menemukan kebenaran secara empiris namun tidak sesuai dengan doktrin agama telah dihukum berat hingga meninggal. Satu peristiwa yang telah pernah terjadi, Galileo yang dihukum gantung. Epistemologinya membuktikan bahwa bumi mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Para ilmuwan yang melakukan bantahan terhadap agama terus berlangsung dan akhirnya terjadi pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan negara. Gereja dibatasi kekuasannya mengenai urusan masalah agama dan selebihnya menjadi kekuasaan negara. Dengan pemisahan tersebut, kekuasaan negara berada diatas kekuasaan gereja. Dengan demikian, negara dapat melakukan inovasi-inovasi terhadap penyelenggaran negara termasuk mengenai pengembangan pemikiran tentang alam dan manusia.

Sebagai hasil, agar peristiwa tidak ingin terulang kembali seperti keadaan sebelumnya yang mengutamakan ajaran agama dalam pengembangan keilmuan. Epistemologi dari tradisi barat akhirnya lebih membebaskan diri dari pemikiran keagamaan atau berada pada paham sekuler. Dengan demikian, keabsahan ilmu pengetahuan berdasarkan pada korespondensi, koherensi dan pragmatisme. Korespondensi memberikan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif, koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai pernyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif. Sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kemashalatan, kebenarannya bersifat fungsional.

Terlepas dari epistemologi berdasarkan pada tradisi barat ataupun tradisi timur yang membebaskan kepercayaan agama, kedua tradisi tersebut sesungguhnya mengakui kekuasaan lebih tinggi bermula dari agama, sumbernya adalah Tuhan. Berikut dikaji secara literatur bagaimana epistemologi dari perspektif agama yang kenyataannya telah dulu ada hingga pengaruhnya masih tetap diyakini secara bijak.

Semua ajaran agama tidak seluruhnya dapat dianalisis dan ditelaah berdasarkan fakta lapangan dan bukti-bukti empiris. Agama tidak seluruhnya dapat dikaji secara ilmiah oleh karena ajaran agama didasarkan pada wahyu dari Tuhan, bukan berdasarkan hasil penyelidikan keilmuan melalui metode deduktif dan induktif (Qomar, 2005). Lebih lanjut, konsep-konsep agama seringkali bersifat doktriner, tanpa pengujian terlebih dahulu dan tidak dapat diuji. Demi mencapai kebenaran ilmu pengetahuan yang terandalkan, para ilmuan terkadang telah beranggapan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus dibersihkan dari pengaruh konsep-konsep normatif agama. Karena epistemologinya hanya berusaha mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dan hakiki pengetahuan yang  mengkaji pengandaian dan syarat logis berdasar pada pengetahuan (Tafsir, 2003). Padahal tidak demikian. Perspektif agama yang menghasilkan kitab sebagai pedoman hidup menciptakan konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan tiga prinsip yakni korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tetapi juga didapatkan melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi). Ini niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu melalui kitab suci. A. Yusuf Ali dalam Qomar (2005) menyiratkan sumber ilmu pengetahuan menurut epistemologi Islam menjadi tiga yakni wahyu, rasio, dan indera. Hal yang sama, Solehudin (2012) menjelaskan bahwa agama yang bersumber dari Islam melalui Al-Quran, mengisyaratkan melalui beberapa tahapan. Pertama, ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui tanggapan indrawi (al-hissi) atau dapat juga dikatakan melalui pengalaman empirik (al tajribah). Kedua, melalui metode bayani (analisis kebahasaan). Ketiga, melalui analisis pemikiran yang logis dan rasional (nazariyah dan aqliyah) atau dengan istilah yang populer metode burhani. Keempat, melalui intuisi dan kontemplasi atau ma’rifat al-qalb setelah melewati proses riyadh dan mijjadah sehingga terjadi mukashafah, atau yang lebih dikenal dengan metode ‘irfani. Dan kelima, melalui wahyu dan kesaksian langsung (shahadah) orang-orang yang terpercaya atas diturunkannya wahyu kepada nabi/rasul Tuhan, atau dikenal metode al-mathu.

Nasution (1996) mengungkapkan bahwa manusia mempunyai akal, yaitu daya pikir yang berpusat di pikiran kepala dan daya rasa yang berpusat di kalbu. Daya pikir dipertajam melalui intelektual dan daya rasa dipertajam melalui ibadah. Semua agama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan berpusat pada Pencipta, maka cara ini dapat mempertajam daya rasa. Lebih lanjut, manusia terdiri dari unsur materi, yaitu tubuh yang mempunyai hayat dan unsur non-materi yang mempunyai dua daya yaitu daya rasa di dada dan daya pikir di kepala. Daya rasa jika diasah dengan baik, mempertajam hati nurani dan daya pikir jika dilatih akan mempertajam penalaran. Iqbal dalam Danusiri (1996) menyatakan bahwa manusia sebagai kesatuan jiwa dan badan mampu menangkap seluruh realitas, materi dan non materi, karena di dalam diri manusia terdapat tiga potensi epistemologis, yaitu: serapan panca indra, kekuatan akal dan intuisi. Aspek lahir (external) realitas dapat ditangkap oleh panca indra; aspek batinnya (internal) dapat ditangkap oleh akal; dan tingkatannya yang paling tinggi dapat ditangkap oleh intuisi. Mengenai indra, kemampuannya terletak pada daya penangkapan benda benda material. Ilmu yang diperoleh indera disebut ilmu inderawi atau ilmu empiris.

Pengalaman empirik ini diperoleh melalui penelitian yang realitasnya selalu berulang-ulang atau berputar dan merupakan akibat dari realitas. Di samping panca indera, akal juga merupakan alat untuk memperoleh ilmu, yang hasilnya agama akan tidak ada artinya manakala akal pikiran dikurung untuk tidak berpikir secara kritis dalam memahami dan melaksanakan agama secara wajar (Solihin, 1996). Ini dapat dipahami, sebab akal mempunyai potensi yang luar biasa. Gerak pikiran dalam tempo yang singkat bisa berpindah perhatiannya dari tak terbatass ke yang terbatas. Berdasarkan potensi akal ini, maka muncul metode ‘aqliyah yang merupakan cara penggalian hukum Islam dengan menggunakan penalaran rasional (akal). Iqbal (Danusiri, 1996) mendefinisikan hati sebagai sejenis intuisi batin atau wawasan dan mengenalkan kita kepada masalah-masalah kenyataan selain dari yang terbuka bagi cerapan penginderaan. Sedangkan fungsi dari intuisi ini adalah memberikan informasi mengenai hal-hal yang tidak dapat ditangkap indera.

Dalam perspektif agama tanpa memperhatikan jenis agama secara parsial apakah Islam, Kristen, Budha, Hindu, atau sebagainya, epistemology sebenarnya dipandang secara menyeluruh. Semua potensi yang ada dalam diri manusia yang terdiri dari panca indera, daya pikir, dan  intuisi digunakan secara integral dalam berepistemologi. Panca indera mampu dipertajam dengan daya pikir dan intuisi menyelaraskan keduanya.

Dalam agama islam. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemology adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dalam hadisnya yang lain Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu,” Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS,Al-Maidah:11).  Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa menuntut ilmu penting bagi manusia, karena dapat meningkatkan derajat manusia di sisi Allah Swt dan di sisi manusia.

Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium (M.Zainuddin, 2006:53).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak hanya menggunakan rasionalitas, empirisme saja dalam menemukan kebenaran, tetapi Islam menghargai dan menggunakan wahyu dan intuisi, ilham dalam mencari kebenaran. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal (QS.Al Maidah:31).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan ilmu yang benar dapat muncul dari contoh-contoh dan fenomena alam yang sengaja Allah ciptakan agar manusia memperhatikan dan mengambil pelajaran. Bahkan, dalam Al-Quran dinyatakan bahwa akal saja tidak akan mampu mengambil kebenaran dari ayat-ayat Allah, untuk mencari kebenaran menurut Al-quran tidak dapat mengandalkan akal sebagi satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran. Al-Quran menyatakan semua tanda-tanda /ayat-ayat Allah tidak ada gunanya keculai bagi mereka yang beriman. Dalam ayat lain Allah memberi dorongan kepada manusia untuk menggunakan inderanya agar mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan (QS.An Nur:43).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip epistemology menurut islam adalah didasarkan kepada kejian metafisika, sumbernya kepada wahyu, akal sehat, panca indra dan intuisi, pendekatannya bersifat tawhidy, objeknya fisik dan sekaligus metafisik, ilmu sarat dengan nilai (value full), validitas kebenaran konteks (data & fakta) diselaraskan dengan teks (wahyu), berorientasi dunia dan akhirat.

 

 

Referensi

Danusiri. 1996. Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional, Bandung: Mizan.

Solehudin, Ending. 2012. Filsafat Ilmu Menurut Al-Quran. Islamica, Vol. 6, No.2.

Solihin, Mochtar. “Epistemologi Ilmu Menurut al-Ghazali” dalam Jurnal Mimbar Studi: Nomor 3 Tahun XXII, Mei-Agustus 1999.

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Tafsir, Ahmad. 2003 Filsafat Umum: Akal dan Hati dari Thales sampai Capra. Jakarta: Rosda.

http://adnanjamaljusticeforall.blogspot.com/2011/10/ilmu-sebagai-metode-mendapatkan

http://tonybestthinker.blogspot.com/2014/03/epistemologi-islam-barat.html

 

Bagaimana “Aku” Membangun ilmu pengetahuan?

*Muh Amrih

Salah satu corak pengetahuan ialah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu pengetahuan yang ekuivalen atinya dengan science. Dalan ensiklopedia bahasa Indonesia ilmu pengetahuan adalah suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).

Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu pengetahuan, yaitu: objek materia dan objek forma. Objek materia ialah seluruh lapangan atau badan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. Objek forma ialah objek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu lainnya, jika berobjek sama.Pada garis besarnya objek ilmu pengetahuan adalah alam dan manusia. Oleh karena itu ada ahli yang membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bagian besar, yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia.

Manusia menjadi subjek dengan mengidentifikasi dirinya dengan yang lain. Manusia adalah misteri. Ada sebuah sajak kuno yang bisa menggambarkan kemisterian manusia, //Aku datang-entah dari mana/ Aku ini-entah siapa/ Aku pergi-entah kemana/ Aku akan mati-entah kapan/ Aku heran bahwa aku bergembira//  Misteri ini adalah sebuah kegelapan yang memaksa manusia untuk mencari tahu siapa dirinya, dimana dirinya, dan kemana dirinya untuk keberlangsungan hidupnya itu sendiri. Manusia yang misteri ingin membongkar kemisterian tersebut dengan berbagai jalan, misal dengan berbagai mitos, atau pemikiran, logos, atau dari jawaban yang didapatkan dari tradisi berbagai agama, atau teologi.

Aku (manusia) yang seharusnya menarik perhatian kita itu, adalah sebagian dari suatu alam tak terhingga dan ia sendiri di antara makhluk-makhluk hidup bertubuh, bisa atau memiliki kesanggupan untuk mempertimbangkan (mengawasi, memikirkan) ala mini, mengadakan percobaan-percobaan dan menduga adanya hubungans-hubungan dan undangd-undang antara kenyataan-kenyataan. Ia juga, menjadi objek dari percobaan-percobaan dan perhatian pengawas. Kalau kita mengetahui bahwa pengetahuan adanya undang-undang yang berlaku atas dunia hidup itu bisa menerangi arti dari manusia dengan menerangkan wujudnya di muka bumi, tali-tali yang mempersatukan dia dengan bentuk-bentuk hidup lainnya dan perbedaan-perbedaan yang member sifat-sifat kepadanya, maka kita harus mempelajari evolusi (perkembangan) dari seluruh dunia dari awalnya, tanpa lupa bahwa observasi-observasi kita itu bisa tertutup oleh alat observasi kita sendiri.

Di dalam Al-Qur’an, ada satu episode menarik tentang rencana penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Episode ini dimulai dengan dialog antara Allah SWT dan para malaikat tentang rencana penciptaan manusia dan tujuannya hingga keberadaan Adam AS di bumi dengan berbagai pilihan dan konsekuensinya. Dijelaskan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah sebagai khalifah Allah di muka bumi (Khalifatullah fil Ardhi). Salah satu arti dari khalifah adalah pengganti atau wakil Allah, yang bertugas mewujudkan rencana Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta (Rabbul Alamin). Pemilihan Adam (atau manusia), sebagai pengemban amanah yang amat berat tentulah memiliki alasan kuat. Salah satu alas an terpenting adalah adanya potensi Ilmu pengetahuan pada diri manusia dan kemampuan untuk mengembangkannya. Kedua hal tersebut sangat diperlukan di dalam pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi, di samping berbagai persyaratan-persyaratan lainnya. Setidaknya ada dua pelajaran berharga yang dapat diambil dari peristiwa tersebut di atas, yaitu bahwa Allah SWT adalah sumber pertama dan utama dari ilmu pengetahuan ”The Ultimate Source of Knowledge” sekaligus sebagai’Facilitator’ yang memfasilitasi proses  pembelajaran, atau penguasaan, pengembangan, dan penciptaan ilmu pengetahuan secara mandiri pada diri manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa Allah SWT adalah ’Sang Maha Guru’ pertama bagi manusia yang di dalam rangkaian ayat-ayat tersebut di atas direpresentasikan oleh Adam AS manusia pertama yang di muka bumi.

Ada beberapa cabang ilmu pengetahuans yang berobjek materia sama (manusia), tegasnya tingkah laku manusia. Apabila kita pelajari tingkah laku manusia sebagai makhluk hidup di dalam masyarakat maka tingkah laku itu mempunyai berbagai segi, sedsperti aspek bologis, psikologis, sosiologis dan anthropologis. Tentu segi-segi lain daripada tingkah laku manusia itu masih ada, yaitu aspek-aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia sebagai insan politik, sebagai insan ekonomi, dan sebagai insan hukum atau sebagai insan sejarah. Akan tetapi untuk memahami konsep manusia-masyarakat, pendekatan dari sudut ilmu-ilmu inti tentang tingkah laku manusia, yaitu psikologi, sosiologi dan anthropologi adalah yang paling utama.

Kita telah membuktikan bahwa filsafat secara global berkaitan dengan ilmu pengetahuan lain. Sumbangsih filsafat terhadap ilmu pengetahuan lain adalah dalam menjelaskan prinsip-prinsip asertifnya, yaitu dalam mebuktikan subjek-subjeknya yang tidak badihi dan memdbuktikan kaidah-kaidah universal apriorinya.

  1. Membuktikan subjek-subjek ilmu pengetahuan, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setiap bidang ilmu pengetahuan memiliki subjek pembahasan sendiri. Jika subjeknya tidak badihi maka subjek tersebut perlu dibuktikan. Di dalam pembuktian ilmu setiap subjek ilmu pengetahuan wilayahnya bukan dalam persoalan bidang ilmu pengetahuan itu sendiri dan karenanya membutuhkan metode lain. Misalnya dalam membuktikan wujud hakiki subjek ilmu alam butuh metode akal. Hal-hal seperti ini hanya metafisik yang dapat membantu bidang ilmu pengetahuan lainnya, yang dapat membuktikan subjek-subjek ilmu pengetahuan dalam dengan argumentasi akal.
  2. Membuktikan kaidah-kaidah universal apriori, prinsip universal yang paling penting yang dibutuhkan seluruh bidang ilmu pengetahuan adaladh prinsip kausalitas dan hukum-hukum turunannya. Pusat perhatian seluruh usaha ilmiah adalah bagaimana menemukan hubungan kausal di antara fenomena-fenomena yang ada.

Demikian halnya, hukum-hukum particular kausalitas seperti “keidentikan” dan keniscayaan universal ilmu pengetahuan yang filsafat general dan berlaku pada seluruh ilmu pengetahuan. Walaupun ilmu-ilmu saling berhubungan, namun pada saat yang sama tiap ilmu memiliki batasan tertentu. Berdasarkan batasan itu kita dapat membagi tingkatan ilmu. Dahulu para pemikir dan ilmuwan membagi tingkatan ilmu untuk memudahkan mereka dalam tujuan pedagogis. Dengan cara ini akan terlihat dengan jelas manakah ilmu yang apriori dan mana yang posterior serta metode apa yang dipakai untuk masing-masingnya.

Referensi:

Gharawiyan, Mohsen. 2012. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Ilmu. Jakarta: Sadra Press.

Anshari, Endang Saifuddin. 1985. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: PT Bina Ilmu.

http://www.pandaisikek.net/index.php/artikel/buletin-dakwah/583-allah-swt-qsang-maha-guruq

http://undedescendit.blogspot.com/2011/06/aku-adalah-yang-lain.html