5 Filosofi “Kekinian” Audit Internal

*Syarif SM.

Fungsi audit internal telah mengalami perubahan yang cukup pesat sejak tahun 1941, saat terbentuknya the Institute of Internal Auditors (IIA). Perubahan yang signifikan terjadi pada tataran praktis, tetapi tidak pada wilayah konseptual. Gil Courtemanche (1991) menguraikan perkembangan konsep audit internal ke dalam tiga tahapan, yaitu tradisional, modern, dan neo-modern. Konsep audit internal tradisional terutama berurusan dengan fungsi pengendalian pada bagian/divisi pengendalian intern. Selanjutnya, konsep audit internal modern ditandai dengan penyediaan fungsi pengendalian intern dan pelayanan jasa konsultatif kepada pihak manajemen. Konsep internal auditing neo-modern yang terbentuk pada tahun 1986, berpandangan bahwa audit internal merupakan fungsi utama dalam organisasi yang melibatkan pihak-pihak manajemen puncak, auditor eksternal, dan manajemen operasional.

Dalam rangka memperkokoh fundamen pemahaman kita mengenai internal auditing, berikut ini disarikan pokok-pokok pikiran Lawrence B. Sawyer dalam artikelnya yang terkenal, yaitu “An internal Audit philosophy” (1995). Pada tulisan ini, diuraikan 5 filosofi audit internal yang masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi saat ini.

 

  1. Internal Auditor Harus Bisa Memberikan Nilai Tambah

Fungsi audit internal harus bisa memberikan nilai tambah kepada semua pihak yang berkepentingan dengan tugas-tugas internal auditor. Hal ini berarti bahwa setiap aktivitas yang dilakukan oleh internal auditor kepada pihak stakeholders harus membawa perubahan yang positif dalam pencapaian visi dan misi organisasinya. Sawyer mengungkapkan dalam ungkapan sederhana tetapi mempunyai makna yang sangat dalam, yaitu “To leave every place a little better than I found it.” Fungsi audit internal memang dituntut untuk meninggalkan suatu tempat sehingga menjadi lebih baik dibandingkan dengan pada saat ia datang. Jadi, auditor internal harus dapat “mewarnai” organisasi pengguna jasanya, sekecil apapun perubahan positif yang dapat dikerjakannya.

 

  1. Fungsi Audit Internal Harus Didasarkan pada Mandat/Kewenangan yang Kuat dan Jelas

Sangatlah tepat kiranya ungkapan yang disampaikan oleh Sawyer, yaitu You can’t stomp your foot when you are on your knees.Secara sadar, kita memang akan sangat kesulitan untuk menghentakkan kaki kita jika kita hanya bertumpu pada lutut kita, bukan pada telapak kaki dan di atas lantai yang kuat. Tentu saja, fungsi audit internal akan terlaksana dengan baik jika memiliki kewenangan/mandat dan landasan hukum yang jelas dan kuat serta mendapatkan dukungan dari pimpinan tertinggi dalam organisasi. Jika yang terjadi sebaliknya, maka sebagus apapun sumber daya manusia, sarana prasarana, dana, dan metode kerja yang dimiliki oleh organisasi audit internal, hal itu hampir pasti tidak akan mampu mengubah impian stakeholders menjadi lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

 

  1. Pahami dengan Baik Tujuan Stakeholders

Fungsi audit internal akan terlaksana dengan efisien dan efektif serta dapat memberikan nilai tambah kepada pihak stakeholders apabila auditor internal sangat memahami apa keinginan dari stakeholders. Setiap pimpinan puncak suatu organisasi pasti menginginkan tujuan organisasinya dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Nah, di sinilah diperlukan kejelian fungsi audit internal untuk dapat “mengawal” pencapaian tujuan organisasi dari pihak stakeholders. Salah satu prasyarat mutlak untuk melaksanakan tugas ini adalah adanya keharusan memuluskan komunikasi yang efektif antara pemberi mandat (manajemen puncak) dangan penerima mandat (auditor internal). Hal ini untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penetapan strategi dan operasionalisasi kegiatan pada organisasi auditor internal. Kesinambungan dan keteraturan komunikasi juga diharapkan mampu memberikan jaminan kepada manajemen puncak bahwa organisasi sudah berada pada jalur yang tepat dalam mencapai tujuannya atau memerlukan perubahan-perubahan yang signifikan dan bersifat segera.

 

  1. Fungsi Audit Internal Harus Memperoleh dan Menyajikan Informasi Secara Akurat

Fungsi utama dari auditor internal adalah mengumpulkan fakta. Berdasarkan fakta dan informasi yang diperoleh tersebut, internal auditor merumuskan simpulan dan rekomendasi perbaikan. Tentu saja, baik buruknya simpulan dan rekomendasi dari auditor internal sangat tergantung pada kualitas informasi yang diperolehnya dari pihak stakeholders. Untuk itu, auditor internal harus mengembangkan sikap hati-hati, teliti, dan profesional dalam proses pengumpulan informasi sehingga fungsi auditor internal bagaikan peran seorang pemberi keterangan ahli dalam sidang pengadilan, yaitu memperjelas suatu perkara untuk meyakinkan hakim dalam pengambilan keputusan.

 

  1. Fungsi Audit Internal Harus Mencermati Budaya dan Situasi Politis yang Sedang Berlangsung

Esensi dari politik adalah bagaimana memperoleh/mempertahankan dan menjalankan kekuasaan dengan baik. Esensi dari suatu budaya adalah sistem nilai yang dianut oleh pemegang kekuasaan. Sedangkan esensi dari peraturan adalah bagaimana membuat orang mau berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Kompetensi, integritas, dan loyalitas merupakan tiga hal yang sangat esensial pada fungsi audit internal. Seluruh auditor internal harus memiliki dan melaksanakan ketiga aspek tersebut sebagai syarat mendapatkan pengakuan atas profesionalisme dan dihormati oleh rekan sejawat maupun atasannya. Akan tetapi, ketiga kemampuan penting yang dimiliki tersebut akan menjadi sia-sia apabila auditor internal tidak peduli atau tidak memahami budaya dan situasi politis yang berkembang dalam organisasi para stekeholder-nya. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa auditor internal disebut ”ahli” dan ”bijak” jika dia bekerja secara cermat sesuai dengan standar profesional dan juga mampu memahami budaya dan situasi politis yang sedang berlangsung.

Teknik Mendeteksi Kecurangan dan Potensinya (Red Flag)

Teknik Mendeteksi Kecurangan dan Potensinya (Red Flag)

*Suhartono

Businessman holding a red flag

Dalam banyak peraturan mengenai akuntansi dan auditing, menunjukkan bahwa setiap prosedur audit akan dirancang memberikan keyakinan memadai dari (1) mendeteksi tindakan illegal yang akan memiliki efek langsung dan material terhadap penentuan dari jumlah laporan keuangan dan (2) mendeteksi transaksi material dari pihak terkait.

  • Meninjau Kembali Jenis-jenis Kecurangan

Skema penipuan bisa menjadi penipuan terhadap organisasi. Ada empat perilaku dasar dalam kecurangan keuangan yang akan memengaruhi pelaporan dan informasi keuangan. Empat hal tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Skema kecurangan laporan keuangan.
  2. Penyalahgunaan asset.
  3. Pendapatan dan asset yang diperoleh dari kecurangan.
  4. Pengeluaran dan kewajiban yang dipergunakan untuk tujuan yang tidak tepat.
  • Deteksi Kecurangan

Mendeteksi kecurangan cukup sulit, terutama kecurangan yang melibatkan salah saji material dalam laporan keuangan. Kecurangan umumnya tersembunyi dan sering melalui kolusi. Biasanya, dokumen pendukung transaksi dihilangkan atau tidak disimpan di file perusahaan.

  • Meletakkan Dasar untuk Pendeteksian

Kemampuan auditor untuk mendeteksi fraud dapat secara signifikan ditingkatkan dengan pemahaman atas suatu organisasi dan lingkungan di mana ia beroperasi. Dengan kemampuan ini, auditor mengkinlebih mampu untuk mengidentifikasi anomaly atau potensi red flag lainnya, seperti hubungan analitik masuk akal, kelemahan control, transaksi yang tidak memliki tujuan bisnis yang jelas, pihak yang terkait, dan kinerja keuangan yang tak terduga.

  • Menginterpretasikan Potensi Red Flag

Tentu saja tidak akan mudah untuk menginterpretasikan atau mengenali potensi kecurangan dengan mudah, seperti kedengarannya. Pertama-tama, flag (bendera) sebenarnya kurang tepat untuk menggambarkan suatu kecurangan tersembunyi. Sebab, bendera merupakan simbol atas tanda-tanda peringatan yang terlihat jelas.

  • Deteksi Kecurangan Akuntansi Berdasarkan Pihak yang Berkepentingan Dengan Informasi Akuntansi

Pendeteksian  terjadinya  praktik  kecurangan  bisa  dilakukan  dengan mengenali gejala-gejalanya antara lain:

  1. Gejala Kecurangan pada Manajemen

Umumnya agak sulit dideteksi, namun gejalanya dapat dikenali yaitu timbulnya ketidakcocokan  diantara  manajemen  puncak,    rendahnya  moral  dan  motivasikaryawan, Departemen akuntansi  kekurangan staf, tingkat komplain yang tinggi terhadap  organisasi/perusahaan  dari  pihak  konsumen,  pemasok,  atau  badan otoritas,  terjadi  kekurangan  kas  secara  tidak  teratur  dan  tidak  terantisipasi, menurunnya    tingkat   penjualan atau  laba  sementara utang dan piutang usaha meningkat, perusahaan mengambil kredit  sampai batas maksimal untuk  jangka waktu  yang  lama,  terdapat  kelebihan  persediaan  yang  signifikan,  terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun  buku.

  1. Gejala Kecurangan pada Karyawan atau Pegawai

Gejala kecurangan yang dilakukan oleh karyawan atau pegawai dapat dikenali antara lain yaitu pembuatan ayat  jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan  tanpa  perincian/penjelasan  pendukung,  melakukan  pengeluaran  tanpa dokumen  pendukung,  pencatatan  yang  salah/tidak  akurat  pada  buku jurnal/besar,  penghancuran,  penghilangan,  pengrusakan  dokumen  pendukung pembayaran, kekurangan barang yang diterima, kemahalan harga barang yang dibeli, munculnya faktur ganda, penggantian mutu barang (Sie Infokum, 2008).Perubahan  perilaku drastis  dari  individu  yang melakukan  kecurangan  bisa digunakan sebagai indikasi (Sie Infokum, 2008), antara lain yaitu

  • Perubahan perilaku secara  signifikan,  seperti:  easy going,  tidak  seperti  biasanya,gaya hidup mewah,  mobil atau pakaian mahal
  • Gaya hidup di atas rata-rata
  • Sedang mengalami trauma emosional di rumah atau tempat verja
  • Penjudi berat
  • Peminum berat
  • Sedang dililit utang
  • Temuan audit atas kekeliruan (error) atau ketidakberesan (irregularities) dianggap tidak material ketika ditemukan
  • Bekerja tenang,  bekerja  keras,  bekerja  melampaui  jam  kerja,  sering  bekerja

 

Wind, Ajeng. -. Forensic Accounting. Dunia Cerdas: Jakarta.

https://diankar77.wordpress.com/2014/07/06/cara-mendeteksi-kecurangan-fraud-akuntansi-2/.

Aditor Internal Jangan Seperti “Kapak Tumpul”

Seorang tukang kayu sibuk menebang kayu dengan kapak. Dari pagi sampai petang ia mengayunkan kapaknya. Seorang temannya datang menegur, “Hai, tidak pernah aku melihat engkau mengasah kapakmu. Kapakmu itu sudah tumpul. Mengapa kau tidak mengasahnya?” Sang tukang kayu berhenti sejenak. Tanpa menoleh, ia menjawab, “Karena aku terlalu sibuk!” lalu ia kembali mengayunkan kapaknya dan mengayunkan lagi, dan mengayunkan lagi.

 

Sesungguhnya, makin tajam suatu kapak, makin ampuh faedahnya, dan makin ringan dan cepat pula kerja tukang kayu. Sebab itu, penebang kayu yang bijak akan senantiasa mengasah kapaknya. Sementara itu, sangatlah naif jika ada seorang tukang kayu yang merasa tidak punya waktu mengasah kapaknya karena sibuk menebang.

 

Mungkin ada di antara kita juga bersikap demikian. Tiap hari sepanjang tahun kita sibuk melakukan tugas audit mengikuti standar atau mengawasi pelaksanaan audit apakah telah memenuhi ketentuan, sehingga tidak punya waktu untuk merenungi untuk apa semuanya itu kita lakukan, mengapa standar demikian harus digunakan, dan apakah ada standar lain yang lebih tepat untuk memenuhi tujuan audit, atau adakah cara yang terbaik untuk melakukannya. Kita tidak punya waktu berpraksis, berteori, apalagi berfilsafat.

 

Kata Yunani “theoria” mula-mula berarti menonton drama sambil mengamati dan merenungkannya. Seseorang berteori ketika ia mengambil jarak dari kegiatan yang lalu dengan menyusun ulang sistematika pengerjaannya. Sementara, “praksis” dalam Bahasa Yunani berarti sebuah pelaksanaan yang dikerjakan sebagai hasil perenungan. Praksis adalah pekerjaan yang tujuannya sudah dipertimbangkan membawa kebaikan bagi semua pihak. Praksis adalah praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Pengertian hidup dan bekerja secara praksis dipopulerkan oleh pakar pendidikan Paolo Freire (1921-1997) dalam buku Pedagogy of the Oppressed. Namun, pengertian itu sebetulnya telah tercakup dalam The Nicomachean Ethics, karya Aristoteles (384-322 SM), tentang tiga gaya hidup, yaitu hidup kontemplatif (merenung), hidup berpraksis (melakonkan hidup sebagai buah renungan), dan hidup produktif (mewujudkan buah dalam karya nyata).

 

Dalam hidup, tidak semestinya jika kita hanya sibuk mengapak, melainkan kita juga harus mengasah. Begitu pula, kita tidak bisa sekadar hidup dengan mengasah, tetapi juga perlu mengapak. Kita memang adalah orang yang sibuk menaati ketentuan. Begitu sibuk dan taatnya, sampai-sampai kita tidak sempat lagi mempertanyakan mengapa kita begitu sibuk untuk menaati standar atau tradisi yang berlaku. Apakah tujuan kita untuk sibuk menaati standar atau ketentuan itu? Untuk siapa sebetulnya kita lakukan hal itu? Apa yang hendak diraih dengan kesibukan untuk sekadar menjalankan standar dan ketentuan itu?

 

Kita mengayunkan kapak. Mungkin kapak kita pernah sangat bagus.Tetapi sebagus-bagusnya sebuah kapak, ia perlu diasah, atau mungkin perlu diganti dengan kapak lain. Mana ada kapak yang tajam sepanjang masa, dan tidak perlu diganti? Mungkin kapak kita sudah tumpul. Atau mungkin gagangnya sudah perlu diganti. Bahkan mungkin sudah lama kapak itu tumpul dan gagangnya pun sudah lama memerlukan ganti. Untuk itu, perlu perenungan.

 

Manusia yang ideal adalah manusia yang merenung dan bekerja. Artinya, manusia perlu merenungkan pekerjaannya dan mengerjakan renungannya. Sudahkan manusia auditor yang mengaku profesional berperilaku demikian?

Peran Auditor dan Penyidik Forensic Accounting

*Suhartono

Untuk memahami peran penyidik akuntansi forensic (forensic accounting) di dalam menghalangi, mendeteksi, dan menyelidiki kecurangan berbeda dari auditor independer sebagai pemeriksa laporan keuangan. Pertama-tama, perlu untuk dipahami dan diingat adanya perbedaandi antara keduanya. Sebagai tambahan, dunia professional keduanya telah berubah selama beberapa tahun terakhir, dengan maksud pemeriksaan yang lebih baik.

Auditor berfokus untuk memastikan bahwa laporan keuangan dalam suatu perusahaan adalah wajar yang penilaiannya berdasarkan materi (uang). Berdaasrkanhal tersebut, tanggung jawab auditor adalah untuk mendesain dan menerapkan prosedur audit yang cukup di lapangan dan dan untuk mendeteksi adanya kecurangan materi dalam laporan keuangan yang disajikan, tanpa harus mendeteksi asal kekurangan atau ketidaksesuaian tersebut. Auditor memiliki tugas terutama untuk.

  • Membuat oenyesuaian, usaha yang layak untuk mendeteksi pernyataan salah materi di laporan keuangan.
  • Menyebabkan manajemen untuk membenarkan pernyataan materi yang salah atau penyajian keliru sebelum laporan keuangan diberikan kepada komunitas pengguna.

Bahkan ini tampaknya pernyataan sederhana dari seorang auditor yang pekerjaannya cukup kompleks, di dalamnya termasuk:

  • Jaminan layak.
  • Pernyataan salah yang material.
  • Pelacakan yang berbeda dari pencegahan dan investigasi.
  • Harapan untuk keberhasilan dari proses auditing.

Penyidik akuntansi forensic memiliki seperangkat fokus yang berbeda berdasarkan perannya yang tentunya membutuhkan alat yang berbeda, proses berpikir yang berbeda, dan sikap yang berbeda. Fokus penyidik akuntansi forensik adalah tidak dengan memperoleh pendapat umum atas laporan keuangan secara keseluruhanm yang berasal dari upaya dan dalam batas materialitas yang wajar. Sebaliknya, perhatian penyidik akuntansi forensic adalah pada tingkat yang lebih mendalam dengan perkembangan rinci informasi factual yang dihasilkandari bukti dokumen dan kesaksian tentang siapa, apa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa suatu hal dicurigai atau dikenal ketidakwajaran.

Sampling dan konsep materialitas pada umumnya tidak digunakan dalam menentukan lingkup prosedur akuntansi forensic. Sebaliknya, semua bukti yang relevan dicari dan diperiksa. Berdasarkan temuan investigasi, penyidik akuntansi forensic melakukan kajian dan langkah-langkah untuk mengatasi kerugian atau kerusankan organisasi. Kemudian, merekomendasikan serta mengimplementasikan tindakan korektifm sering termasuk perubahan proses dan kebijakan dan/atau tindakan terhadap personil akuntansi. Selainitu, penyidik akuntansi forensic mengambil tindakan pencegahan untuk mengatasi kemungkinan terulangnya masalah. Temuan penyidik akuntansi forensic dan rekomendasi dapat dijadikan dasar untuk kesaksian dalam proses litigasi atau tindakan pidana terhadap para pelaku kecurangan. Hasil kerja mereka juga dapat digunakan dalam kesaksisan kepada lembaga pemerintah, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. Oleh karena itu, lingkup penyelidikan dan bukti-bukti yang dikumpulkan serta didokumntasikan harus mampu menjawab tantangan atau sangkalan yang mungkin dibawa oleh pihak-pihak berpengaruh atau regulator yang skeptic. Meski berbeda, namun sangat jelas bahwa antara audit dan akuntansi forensic memiliki kesamaan.

Dengan maraknya berbagai kasus kecurangan, Howard Silverstone dan Howard Davia mengemukakan dalam buku Fraud 101 Techniques and Startegies for Detection, Edisi Kedua, bahwa dalam melaksanakan fungsi audit, internal auditor sudah dituntut tidak hanya sekedar sebagai “anjing penjaga (watchdog)” saja tetapi juga berfungsi sebagai “anjing polisi/mata-mata (bloodhound)”. Sebagai penjaga diilustrasikan fungsinya hanya sedikit menggigit tetapi lebih banyak menggonggong. Melalui nalurinya, anjing penjaga akan menggonggong apa yang dilihat dan diciumnya tanpa ingin mengetahui apakah seseorang tersebut sah atau tidak memasuki wilayah penjagaannya.

Dengan berfungsi sebagai “bloodhound”, maka internal auditor harus dapat merasa apabila seorang penyusup memang diizinkan untuk mendekati dan apakah seseorang tersebut memiliki kunci masuk ataukah memiliki password untuk masuk pintu. Sebagai mata-mata, harus tahu ada alat kamera pengaman yang memonitor selama 24 jam, adanya saluran penanganan apabila diketahui ada seseorang memasuki area tanpa ijin, dan mewaspadai gelagat disekelilingnya apabila terjadi perbuatan yang tidak wajar. Oleh karena itu akuntan harus merubah pola pikirnya dengan melakukan kombinasi antara prosedur audit dengan prosedur investigatif atau teknik-teknik investigatif untuk dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor risiko audit dan kemungkinan salah saji material yang disebabkan adanya kecurangan. Dengan menggunakan prosedur audit untuk mengidentifikasi keadaan sekitar yang mendorong terjadinya kecurangan adalah untuk memahami jalan pikiran pelaku kecurangan.

 

Wind, Ajeng. -. Forensic Accounting. Dunia Cerdas: Jakarta.

http://mettoewahyana.blogspot.co.id/2008/10/peranan-forensic-accounting-dalam-audit.html

 

Psikologi Pelaku Kecurangan (Fraudster)

Psikologi Pelaku Kecurangan (Fraudster)

an-9*Suhartono

Sesuatu yang ideal sudah barang tentu memiliki pasangan yang tidak ideal atau buruk. Kejujuran, nyatanya dibarengi dengan kecurangan. Sikap negatif ini selalu muncul sebagai lawan dari jujur. Mungkin memang tidak akan pernah muncul istilah jujur, jika kecurangan sama sekali tidak ada. Hal yang memprihatinkan adalah semakin  majunya peradaban manusia, ternyata kejujuran menjadi hal yang perlu dipaksakan dan kecurangan menjadi hobi yang perlu ditekan. Saat ini, makin langka menemukan seseorang yang jujur. Sebaliknya, penipu bertebaran di banyak tempat. Mulai dari pengemis hingga pejabat, semua ada penipunya. Tetapi jangan khawatir, orang jujur juga masih banyak.

Sebagaimana telah disebutkan, kecurangan menjadi salah satu hobi yang perlu ditekan. Penekanan dilakukan melalui jalur hukum. Dikeluarkannya beragam peraturan terkait kecurangan merupakan usaha untuk terus mencegah terjadinya kecurangan, baik yang berulang atau masih baru. Kecurangan memang jenis kejahatan yang ringan. Namun secara tidak disadari, dapat menimbulkan kerugian material yang luar biasa. Sebagai contoh yang mudah, adalah korupsi yang banyak dilakukan oleh pejabat akan membuat pelaksanaan pembangunan terhambat bahkan tidak berlangsung. Kecurangan membawa dampak langsung terhadap perkembangan suatu negara. Negara-negara yang mampu menekan angka kecurangan hingga ke level terendah, ternyata lebih mampu untuk bersaing dan menunjukkan pembangunan yang luar biasa maju.

Kecurangan dalam perjalanan sejarahnya hingga sekarang, ternyata memiliki tingkat atau level yang cenderung naik. Dahulu kebanyakan hanya kelas orang-orang bawah (Pendidikan, Kesejahteraan, dsb.) yang banyak melakukan kecurangan. Tentu saja jumlahnya tidak terlalu besar dan sangat mudah diidentifikasi. Kecurangan ini biasa disebut kejahatan kerah biru (Blue Collar Crime), menggambarkan kelas pekerja. Seiring berjalannya waktu, ternyata kecurangan juga menjadi hobi bagi kalangan yang lebih atas, dengan kerugian yang ditimbulkan lebih besar dan sulit untuk diidentifikasi. Kejahatan kelas atas ini umum disebut dengan kejahatan kerah putih (White Collar Crime). Sebab, banyak dilakukan oleh orang berpangkat tinggi yang jarang berurusan dengan sesuatu yang kotor. Selama beberapa decade, sejak kejahatan “kerah putih” dikenali, penelitian persuasive telah menyatakan bahwa dua faktor harus dipertimbangakan dalam menganalisis psikologi dan kepribadian penipu.

  • Kualitas biologis seorang individu yang bervariasi dan pengaruh perilaku, termasuk perilaku social.
  • Kualitas social yang berasal dari pengamatan interaksi seseorang dengan orang lainnya.

Dari penelitian psikologi tersebut, tiga jenis umum penipu keuangan telah diamati, diantaranya sebagai berikut.

  • Penjahat kambuhan yang ingin bersaing dan menegaskan diri.
  • Penjahat tergantung situasi yang berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri, keluarga mereka, atau perusahaan mereka dari sebuah kehancuran.
  • Makelar kekuasaan adalah pelaku kecurangan yang akhir-akhir ini makin banyak, diakibatkan oleh kegagalan bisnis yang memalukan.

Masing-masing jenis pelaku kecurangan (fraudster) adalah sebagai berikut.

  • Mereka adalah predator yang cenderung memiliki kecerdasan lebih tinggi dari rata-rata orang umum dan berpendidikan baik.
  • Bergantung pada situasi dan kondisi.
  • Makelar kekuasaan.
  • Merasa tidak melakukan kesalahan atau menimbulkan kerugian
  • Macam-macam rasionalisasi.

 

Wind, Ajeng. -. Forensic Accounting. Dunia Cerdas: Jakarta.