Ditulis Oleh:
Syarif Syahrir Malle, S.E., M.Si.
(Auditor SPI UIN Alauddin Makassar)
Telah dipublikasikan di Harian Ujung Pandang Ekspres edisi cetak Kamis, 28 Mei 2020
Selasa (26/5/2020) Badan Pemeriksa Keungan (BPK) RI menggelar taklimat akhir (exit meeting) pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun anggaran 2019 secara virtual bersama pimpinan kementerian/lembaga. Sekadar mengingatkan Pemerintah sebelumnya telah menyampaikan LKPP tahun 2019 kepada BPK pada 27 Maret 2020 dengan status unaudited. Adapun LKPP merupakan konsolidasi dari Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) dan 87 Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL).
Biasanya setelah masa pemeriksaan BPK selesai dan opini telah diserahterimakan, ada kebiasaan baru yang kita saksikan di media massa dan media sosial, yakni iklan ucapan selamat atas raihan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang ditujukan untuk kalangan Bupati, Walikota, Gubernur, dan Menteri bahkan sampai Presiden. Menurut saya ini normal dan sah-sah saja.
Disebut normal, bisa jadi karena pimpinan satker maupun si kolega pemberi iklan ucapan terbawa euforia haru dan perasaan bangga. Namun hati-hati, jangan sampai terjerumus status ‘abnormal’, yakni keadaan tidak mau memahami makna sesungguhnya dari opini WTP yang dikeluarkan oleh BPK.
Opini tersebut bukan pesan bahwa satker bebas dari ‘virus’ bernama Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, namun ia hanya ‘semacam apresiasi’ dari BPK bahwa Laporan keuangan (LK) yang disusun merupakan media akuntabilitas keuangan dan telah disajikan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang berlaku.
Silahkan tanya pegawai yang terbiasa berjibaku menyusun laporan keuangan, memang bukan hal mudah menyusunnya, khususnya di daerah. Ada beberapa faktor ‘ruwet’ yang memengaruhinya. Misalnya (1)keterbatasan SDM akuntan yang paham SAP, (2) kelemahan sistem pengendalian intern, dan (3)faktor kepentingan politik legislatif dan eksekutif dalam penggunaan anggaran yang cenderung menabrak aturan. Hal ini sangat terasa dan memerlukan perjuangan. Bahkan hingga ada perintah lembur khusus menuntaskannya. Sampai disini, wajarlah BPK memberikan apresiasi kepada satker.
Model Audit BPK
Seperti kita ketahui, pemerintah melakukan strategi refocusing kegiatan dan realokasi anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) Tahun 2020 terkait Penanganan COVID-19. Menyikap hal tersebut, BPK memastikan proses audit Laporan Keuangan Pemerintah berjalan profesional meskipun berlaku status new normal life. Wakil Ketua BPK, Agus Joko Pramono dikutip dari News.DDTC mengatakan adanya pandemi dan berlakunya pembatasan sosial akan mengubah cara auditor negara dalam melaksanakan pemeriksaan.
Situasi ini tidak hanya berlaku untuk Indonesia, tapi juga menjadi perhatian banyak lembaga audit di banyak negara. Intinya apapun nanti pilihan metode audit yang diyakini BPK, kita sebagai warga negara tentu berharap Covid-19 ini jangan sampai mengurangi kadar profesionalitas, konservatisme, dan keadilan dalam pemeriksaan keuangan pemerintah. Sebaliknya di sisi lain, jangan pula pemeriksaan dalam keadaan pandemi justru semakin memberatkan administrasi pemerintah sebagai auditi.
Harapan pada BPK
Ada dua hal yang rakyat titipkan kepada auditor BPK. pertama fokuslah pada audit atas eksekusi anggaran oleh Pemerintah di tengah keadaan bencana, tanpa menafikan pada perubahan atau pergeseran anggaran. Silahkan buka memori ingatan masing-masing. Ada masalah pelaksanaan pertanggungjawaban anggaran setiap kali pelaksanaan anggaran dalam keadaan kahar atau krisis. BPK sendiri mengakui ada memori organisasi panjang di masa lalu saat pemeriksaan, sebutlah misalnya: Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998. Kemudian, pelaksanaan anggaran dalam bencana Tsunami 2004, dan penanganan krisis 2008 yang berujung skandal Bank Century.
Kedua, jangan biarkan pemeriksaan BPK selesai hanya pada seremoni opini yang diberikan. Namun semestinya tinggalkan jejak edukasi dan beri solusi perbaikan sistem kepada satker. Terdapat temuan pengelolaan aset tetap Barang Milik Daerah (BMD) yang belum akuntabel dan berulang tiap tahun saat BPK ‘masuk’ di daerah. Hal ini dikarenakan kelemahan sistemik bawaan masa lalu yang memosisikan pengelolaan BMD tidak lebih penting dibanding pengelolaan uang. Selain itu, karena pola pikir pelaku yang lebih hobi membeli daripada memelihara. Mesti ada upaya holistik mempebaiki hal ini, melibatkan kepala daerah, Inspektorat dan unsur terkait lainnya.
Akhirnya, jika kita coba menginternalisasikan makna new normal life, sesungguhnya tidak ada yang berubah dalam konteks pengawasan anggaran, rakyat tetap berperan ‘mengawasi-pengawas’ dalam mencegah praktek perburuan opini dengan menghalalkan segala cara. Apalah jadinya jika pemberian opini WTP hanya menjadi komoditas menaikkan gengsi para pejabat publik. Masih lekat dalam ingatan, tahun 2017, selang seminggu setelah BPK memberikan hasil audit kepada Presiden dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), malamnya dua auditor utama BPK ditangkap KPK bersama dengan oknum dari Kemendes. (dikutip dari jateng.tribunnews.com/2017/05/28). Ingin terulang kejadin itu?
0 Comments