Seorang tukang kayu sibuk menebang kayu dengan kapak. Dari pagi sampai petang ia mengayunkan kapaknya. Seorang temannya datang menegur, “Hai, tidak pernah aku melihat engkau mengasah kapakmu. Kapakmu itu sudah tumpul. Mengapa kau tidak mengasahnya?” Sang tukang kayu berhenti sejenak. Tanpa menoleh, ia menjawab, “Karena aku terlalu sibuk!” lalu ia kembali mengayunkan kapaknya dan mengayunkan lagi, dan mengayunkan lagi.
Sesungguhnya, makin tajam suatu kapak, makin ampuh faedahnya, dan makin ringan dan cepat pula kerja tukang kayu. Sebab itu, penebang kayu yang bijak akan senantiasa mengasah kapaknya. Sementara itu, sangatlah naif jika ada seorang tukang kayu yang merasa tidak punya waktu mengasah kapaknya karena sibuk menebang.
Mungkin ada di antara kita juga bersikap demikian. Tiap hari sepanjang tahun kita sibuk melakukan tugas audit mengikuti standar atau mengawasi pelaksanaan audit apakah telah memenuhi ketentuan, sehingga tidak punya waktu untuk merenungi untuk apa semuanya itu kita lakukan, mengapa standar demikian harus digunakan, dan apakah ada standar lain yang lebih tepat untuk memenuhi tujuan audit, atau adakah cara yang terbaik untuk melakukannya. Kita tidak punya waktu berpraksis, berteori, apalagi berfilsafat.
Kata Yunani “theoria” mula-mula berarti menonton drama sambil mengamati dan merenungkannya. Seseorang berteori ketika ia mengambil jarak dari kegiatan yang lalu dengan menyusun ulang sistematika pengerjaannya. Sementara, “praksis” dalam Bahasa Yunani berarti sebuah pelaksanaan yang dikerjakan sebagai hasil perenungan. Praksis adalah pekerjaan yang tujuannya sudah dipertimbangkan membawa kebaikan bagi semua pihak. Praksis adalah praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Pengertian hidup dan bekerja secara praksis dipopulerkan oleh pakar pendidikan Paolo Freire (1921-1997) dalam buku Pedagogy of the Oppressed. Namun, pengertian itu sebetulnya telah tercakup dalam The Nicomachean Ethics, karya Aristoteles (384-322 SM), tentang tiga gaya hidup, yaitu hidup kontemplatif (merenung), hidup berpraksis (melakonkan hidup sebagai buah renungan), dan hidup produktif (mewujudkan buah dalam karya nyata).
Dalam hidup, tidak semestinya jika kita hanya sibuk mengapak, melainkan kita juga harus mengasah. Begitu pula, kita tidak bisa sekadar hidup dengan mengasah, tetapi juga perlu mengapak. Kita memang adalah orang yang sibuk menaati ketentuan. Begitu sibuk dan taatnya, sampai-sampai kita tidak sempat lagi mempertanyakan mengapa kita begitu sibuk untuk menaati standar atau tradisi yang berlaku. Apakah tujuan kita untuk sibuk menaati standar atau ketentuan itu? Untuk siapa sebetulnya kita lakukan hal itu? Apa yang hendak diraih dengan kesibukan untuk sekadar menjalankan standar dan ketentuan itu?
Kita mengayunkan kapak. Mungkin kapak kita pernah sangat bagus.Tetapi sebagus-bagusnya sebuah kapak, ia perlu diasah, atau mungkin perlu diganti dengan kapak lain. Mana ada kapak yang tajam sepanjang masa, dan tidak perlu diganti? Mungkin kapak kita sudah tumpul. Atau mungkin gagangnya sudah perlu diganti. Bahkan mungkin sudah lama kapak itu tumpul dan gagangnya pun sudah lama memerlukan ganti. Untuk itu, perlu perenungan.
Manusia yang ideal adalah manusia yang merenung dan bekerja. Artinya, manusia perlu merenungkan pekerjaannya dan mengerjakan renungannya. Sudahkan manusia auditor yang mengaku profesional berperilaku demikian?
0 Comments