Postulat, Prinsip, dan Konsep Akuntansi Keuangan

*Suhartono

Pendahuluan

Kebutuhan akan sebuah theoritical framework di akuntansi keuangan sudah sejak lama dirasakan. APB dan FASB telah mencoba untuk mengembangkan dasar teoritis sebagai pedoman dalam memformulasikan peraturan akuntansi, meskipun pada akhirnya keduanya gagal dalam mengemban misinya. Meskipun ARS 1 dan ARS 3 secara postulat (dalil) dan dasar tidak diterima, studi ini menunjukkan sebagai titik awal percobaan untuk memberikan dasar teoritis terpadu untuk akuntansi keuangan oleh APB.

Dalam ARS 1, postulat dibedakan menjadi dua, one category (kelompok A dan B) dan second category (kelompok C). Kelompok A adalah economic and political environmental group, kelompok B adalah yang termasuk dalam wilayah akuntansi itu sendiri dan kelompok C adalah the imperatives (kewajiban). Perilisan ARS 1 tidak ditanggapi oleh banyak pihak dan kebanyakan lebih menunggu pada perilisan ARS 3. Postulat dasar pada yang dikembangkan ARS 1 merupakan bagianintegral dari ARS 3. Ada delapan prinsip yang dikembangkan dalam ARS 3. Kegagalan ARS dan ARS 3 disebabkan oleh kurangkan ketegasan dalam pembuatan alasan (reasoning), hanya memberikan sedikit perhatian pada kebijakan pembuatan peraturan, dan juga ketidakberhasilan Moonitz-Sprouse dalam menyelesaikan tugas mereka.

Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita membahas tentang pengertian dari postulat, konsep dan prinsip. Postulat adalah asumsi dasar yang tidak dapat diverifikasi. Prinsip adalah aturan yang secara empiris teruji dan menjadi hukum, yang merupakan pendekatan umum yang digunakan dalam pegakuan dan pengukuran kejadian-kejadian akuntansi.  Konsep adalah ide-ide generik yang diperoleh dari particular instances dan bukan bagian dari formulasi teori formal.

Konsep Dasar Akuntansi

Konsep dasar umumnya merupakan abstraksi atau konseptualisasi karakteristik lingkungan tempat atau wilayah diterapkannya pelaporan keuangan. Menurut Paul Grady, konsep dasar merupakan konsep yang mendasari kualitas kebermanfaatan dan keterandalan informasi akuntansi atau sebagai keterbatasan yang melekat pada statemen keuangan.

Konsep dasar pada umumnya merupakan abstraksi atau konseptualisasi karakteristik lingkungan tempat atau wilayah diterapkannya pelaporan keuangan. Berbagai sumber atau penulis mengajukan sehimpunan atau seperangkat konsep dasar yang isinya berbeda – beda. Konsep dasar secara implisit melekat pada tiap penalaran dalam merekayasa akuntansi. Konsep dasar bersifat asumsi yang validitasnya tidak selalu dapat diuji tetapi bermanfaat sebagai basis penalaran.

Berbagai sumber manyajikan daftar konsep dasar yang berbeda-beda karena perbedaan persepsi terhadap arti pentingnya suatu konsep untuk disebut sebagai konsep dasar. Konsep dasar yang satu dalam banyak hal merupakan turunan atau konsekuensi dari konsep dasar lainnya

Postulate dan Principle

Pembentukan APB tidak dapat dihindari adalah sebuah batas awal bagi pengembangan akuntansi teori dan peran penelitian. Akan tetapi Alvin R. Jennings, dalam pidatonya mengemukakan bahwa pendekatan baru untuk perkembangan prinsip akuntansi tidak dimaksudkan untuk pembentukan badan baru. Yang ia bayangkan adalah organisasi penelitian baru dengan AICPA.

ARS No. 1 dan No. 3

Dalam ARS 1, postulat dibedakan menjadi dua, one category (kelompok A dan B) dan second category (kelompok C). Kelompok A adalah economic and political environmental group, kelompok B adalah yang termasuk dalam wilayah akuntansi itu sendiri dan kelompok C adalah the imperatives (kewajiban). Perilisan ARS 1 tidak ditanggapi oleh banyak pihak dan kebanyakan lebih menunggu pada perilisan ARS 3. Postulat dasar pada yang dikembangkan ARS 1 merupakan bagian integral dari ARS 3. Ada delapan prinsip yang dikembangkan dalam ARS 3. Kegagalan ARS dan ARS 3 disebabkan oleh kurangkan ketegasan dalam pembuatan alasan (reasoning), hanya memberikan sedikit perhatian pada kebijakan pembuatan peraturan, dan juga ketidakberhasilan Moonitz-Sprouse dalam menyelesaikan tugas mereka.

Basic Concepts Underlying Historical Costing

Konsep akuntansi telah banyak berkembang mulai dari kebutuhan praktis hingga beberapa karya teoritis seperti An Introduction to Corporate Accounting Standards oleh Paton dan Littleton dengan menggunkan pendekatan deduktif untuk memberikan kerangka dasar untuk menilai praktek akuntansi suatu perusahaan; cara pengevaluasian asset untuk arus kas di masa mendatang oleh Canning, pembuatan buku yang terpisah yang focus pada kegunaan akuntansi, respectively, perubahan nilai unit moneter dan kelemahan historical cost, yang disusun oleh Sweeney dan McNeal; Sanders, Hatfield dan Moore mengenai monograf prinsip praktek akuntansi; buku Gilman yang telah menyempurnakan konsep pendapatan; serta Littleton yang berusaha memperoleh praktik akuntansi yang relevan secara induktif. Pada bagian ini, akan didiskusikan mengenai konsep. Konsep merupakan hasil dari suatu proses mengidentifikasi, klasifikasi, dan menginterpretasikan fenomena dan persepsi. Konsep ini kemudian akan di jabarkan menjadi :

  1. Postulates
  2. Going Concern or Continuity

Pernyataan ini secara simple menyatakan bahwa perusahaan akan berjalan secara terus menerus, kecuali jika terdapat bukti-bukti yang mengarah ke sisi lain. Suatu entitas akuntansi dipandang akan berjalan terus apabila tidak terdapat bukti sebaliknya. Hal itu, berarti bahwa perusahaan sebagai suatu kesatuan, dianggap akan melanjutkan usahanya berkesinambungan (going Concern), dimana sejak saat didirikannya tidak pernah ada niatan untuk dibubarkan. Konsep kontinuitas usaha hanya dapat dibenarkan atas dasar pengalaman perusahaan pada umumnya. Oleh karena itu,npenerapa konsep ini dalam perusahaan tertentu adalah semata-mata asumsi dan kenyataan ini harus tetap dipertimbangkan dalam proses pelaporan. Tingkat kegagalan usaha adalah tinggi terutama untuk perusahaan  perseorangan yang kecil. Gejala kebankrutan dalam masa berikutnya kadang-kadang lebih menonjol daripada pertumbuhan yang berlanggung terus.

  1. Time Period

Bagi entitas bisnis, time period merupakan kalender ataupun tahun bisnis. Sehingga, laporan keuangan berisi mengenai kondisi keuangan, earning dan aliran dana selama tahun tersebut. Sehingga, laporan keuangan berisi mengenai kondisi keuangan, earning dan aliran dana selama tahun tersebut. Ketika periode ini relative lebih pendek dari umur perusahaan, maka muncul akrual basis, recognition dan matching principle, serta laporan interim bagi yang membutuhkan pelaporan keuangan kurang dari satu periode. Proses akuntansi keuangan ini, adalah untuk menyajikan informasi tentang aktivitas ekonomi perusahaan dalam periode waktu tertentu. Akuntansi menganggap bahwa waktu satu tahun adalah periode yang tepat untuk pelaporan. Waktu satu tahun dianggap tidak terlalu pendek atau panjang. Penakar alternative adalah unit produksi, pekerjaan-order, atau projek.

  1. Accounting Entity

Pada dasarnya dapat terlihat secara jelas jika entitas terpisah dengan pemilik. Namun terdapat dua permasalahan penting, yaitu permasalahan menentukan entitas dan akuntansi untuk setiap hubungan yang terjadi, dalam artian apakah menggunakan metode penggabungan atau tidak untuk memperlihatkan hubungan tersebut dan apakah akuntansi fokus pada hubungan antara perusahaan dan pemiliknya. Makna entitas atau kesatuan akuntansi adalah perusahaan dianggap sebagai entitas ekonomi dan entitas hokum yang terpisah dari pihak – pihak yang berkepentingan, oleh karena itu informasi akuntansi hanya berhubungan dengan entitas dimaksud yang membatasi kepenmtingan para pemiliknya.

  1. Monetary Unit

untuk tujuan akuntansi, unit moneter menjadi hal yang handal dalam prinsip dan metode, sehingga laporan keuangan menggunakan dasar unit moneter dalam pelaporannya.

  1. Principles
  2. Input-Oriented Principles

Prinsip ini fokus terhadap pendekatan secara umum atau aturan pembuatan laporan keuangan dan isi dari laporan tersebut, termasuk pengungkapan tambahan lainnya.

General Underlying Rules of Operation

  • Recognition

Revenue didefinisikan sebagai hasil dari perusahaan dalam menyediakan produk dan jasanya. Sehingga penjualan asset tidak diakui dalam revenue pokok perusahaan. Recognition fokus pada masalah mengenai kapan revenue dan expense dicatat.

  • Matching

Expense merupakan biaya yang telah terjadi dalam upaya menghasilkan revenue. Pada dasarnya expense bukan diakui saat dilakukan pembayaran, melainkan diakui ketika expense tersebut berkontribusi terhadap revenue yang dihasilkan. Proses pengakuan tersebut dinamakan matching . Matching  beserta recognition sangat diperlukan guna mengukur  income. Namun, terdapat dua permasalahan dalam matching, pertama dalam pengukuran menggunakan historical cost terkadang terlalu rendah dari nilai yang sebenarnya dan yang kedua, matching memerlukan metode yang sangat sistematis dan rasional.

Constraining Principles

  • Conservatism

Didefinisikan sebagai cara untuk memilih satu dari beberapa metode akuntansi yang akan menghasilkan revenue recognition  yang lebih lambat, expense recognition secara lebih cepat, penilaian asset yang lebih rendah ataupun pengakuan liabilitas yang lebih tinggi.

  • Disclosure

Diartikan sebagai laporan keuangan yang relevan baik dari dalam maupun luar bagian utama laporan keuangan itu sendiri, termasuk penggunaan metode dalam laporan tersebut, apakah menggunakan lebih dari satu metode ataupun yang tidak lazim maupun inovasi dari suatu metode. Hal ini termasuk supplementary financial statement schedule, disclosure pada footnote untuk informasi yang tidak dapat diungkapkan pada bagian utama, disclosure atas material ataupun suatu kejadian, pandangan terhadap operasi kedepan dan analisa operasi yang dilakukan manajemen. Konservatisma  adalah sikap atau aliran(mazhab) dalam menghadapi ketidakpastian untuk mengambil tindakan atau keputusan atas dasar munculan(outcome)yang terjelek dari ketidakpastian tersebut. Sikap konservatif juga mengandung makna sikap berhati-hati dalam menghadapi risiko dengan cara bersedia mengorbankan sesuatu untuk mengurangi atau menghilangkan resiko.

  • Materiality

Menyangkut penting atau tidaknya suatu item (atau segrup item) bagi pengguna dalam melakukan penilaian maupun pengambilan keputusan.

  • Objectivity,

Pada dasarnya objectivity menyangkut kualitas bukti transaksi yang dirangkum dan diorganisir di dalam laporan keuangan.

  1. Output-Oriented Principles

Prinsip ini lebih mengarah pada kemampuan laporan keuangan untuk dibandingkan dengan laporan perusahaan lain.

Applicable to Users

  • Comparability

Dilihat dari sisi pengguna, merupakan tingkatan kehandalan yang dicari pada laporan keuangan ketika mengevaluasi kedaan keuangan ataupun hasil dari suatu operasi pada interfirm basis, memprediksi income ataupun cash flows.

Aplicable to Preparers

  • Consistency

Merupakan penggunaan suatu metode oleh perusahaan secara konsisten.

  • Uniformity

Menyangkut beberapa hal antara lain, seperangkat prinsip untuk perusahaan-perusahaan dimana setiap perusahaan boleh mengintrepetasikannya, perlakuan akuntansi yang sama untuk situasi yang sama dan perlakuan akuntansi yang sama untuk akun yang memiliki keadaan ekonomi yang berbeda.

Equity Theories

Hubungan perusahaan dengan pemilik dalam rekening ekuitas pemilik. Teori deduktif telah berusaha untuk menggambarkan hubungan ini dan berguna dalam menafsirkan hak tidak legal dan kepentingan dalam ekuitas pemilik rekening serta dalam menentukan komponen-komponen tertentu dari laba.

  1. Proprietary Theory

Teori kepemilikan mengasumsikan bahwa pemilik dan perusahaan yang hampir identik. Pada teori ini, aset dimiliki pemilik perusahaan, kewajiban perusahaan juga adalah kewajiban pemilik, dan kepemilikan ekuitas terhutang kepada pemilik.

∑Assets – ∑Liabilities = ∑Owner’s Equity

 Entity Theory

Ketidakpuasan dengan orientasi dari teori kepemilikan menyebabkan perkembangan teori entitas. Perusahaan dan pemilik adalah dua hal yang terpisah. Namun demikian, akun ekuitas pemilik tidak mewakili kepentingan mereka sebagai pemilik tetapi hanya klaim mereka sebagai pemegang saham. Dalam mengukur laba, baik bunga dan dividen merupakan distribusi pendapatan untuk penyedia modal. Maka, keduanya diperlakukan sama dan tidak merupakan pengurang penghasilan.

∑Assets = ∑Equities (including liabilities)

 Residual Equity Theory

Teori ini termasuk variasi dari kedua teori proprietary dan teori entitas. Pemegang saham biasa adalah pengambil risiko utama dalam perusahaan. Kepentingan mereka dalam perusahaan sebagai penyangga atau pelindung bagi semua kelompok dengan klaim sebelumnya tentang perusahaan, seperti pemegang saham preferen dan pemilik obligasi. Informasi penting dari teori ini adalah bahwa informasi sesuai untuk tujuan pengambilan keputusan, seperti yang membantu dalam memprediksi arus kas, harus diberikan kepada pemegang saham sisa.

∑Assets – ∑Specific Equities (including liabilities and preferred stock) = Residual Equity

 Fund Theory

Dana hanyalah sekelompok aktiva dan kewajiban yang terkait. Dimana sekelompok aktiva dan kewajiban yang terkait tersebut ditujukan untuk tujuan, yang mungkin iya atau mungkin tidak menghasilkan pendapatan.

∑Assets = ∑Restrictions of Assets

Fund teori ini adalah teori yang berlaku untuk pemerintah dan bukan untuk mencari laba yang mana endowment fund, sitaan, dan kelompok aset khusus sering ditujukan untuk tujuan spesifik dan tujuan terpisah (tidak spesifik).

  1. Commander Theory

Teori ini bisa dikatakan sebagai sinonim dari manajemen. Komandan teori mungkin dipandang sebagai akuntansi manajemen daripada akuntansi keuangan, tetapi manajer dalam peran fidusia-nya harus “mengubah” pandangan komandan kepada investor.

Kesimpulan

 Bahwa konsep dasar berfungsi melandasi penalaran pada tingkat perekayasaan akuntansi, konsep dasar lebih banyak manfaatnya bagi penyusunan staandar dalam berargumen untuk menentukan konsep, prinsip, metoda, atau teknik yang akan dijadikan standar. Dalam tiap standar yang diterbitkan, misalnya, FASB menyertakan bagian yang disebut basis penyimpulan yang didalamnya terrefleksi konsep dasar yang dianut baik secara eksplisit maupun implicit.

 

Referensi

 Wolk, H.I., J.L. Dodd, dan M.G. Tearny. 19–. Accounting Theory: Conceptual Issues in a Political and Economic Environment. 6th ed. Thompson, South Western.

Suwardjono. 2011.Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi 3, BPFE:Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Interaksi Simbolik

*Suhartono

Defenisi Interaksi Simbolik

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (guru Blumer) yang kemudian dimodifikai oleh Blumer untuk tujuan tertentu.

Interaksi simbolik adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”.

Menurut Mead setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlihat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk symbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Cooley adalah sosiolog pertama yang menyatakan hidup manusia secara social ditentukan oleh bahasa, interaksi, dan pendidikan. Konsep penting dalam bangunan teori Cooley adalah konsep cermin diri (looking glass self) dan kelompok primer.

Jones memusatkan teorinya atas sifat saling ketergantungan organisasi antar individu dan lingkungan sosialnya. Jones berusaha mengidentifikasi factor-faktor psikologis, biologis, yang dibawa sejak lahir dan menjelaskan perilaku manusia tersebut.

Menurut Dewey, etika dan ilmu, teori dan praktik, berpikir dan bertindak, putusan faktual dan evaluative adalah dua hal yang saling menyatu, tidak bisa dipisahkan. Manusia terlibat dalam proses pengenalan. Manusia tidak menerima begitu saja pengetahuannya dari luar tetapi secara sadar, aktif dan dinamis membentuk pengetahuannya dan tindakannya.

Kuhn lebih menekankan aspek makro/struktur sosial (kelas, sosial, etnik) yang mempengaruhi individu termasuk sikap dan perilaku seksual. Kuhn menekankan bahwa perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap keinginan lingkungan sosialnya.

Dalam interaksi simbolik manusia diasumsikan sebagai makhluk yang bertindak atas dasar bagaimana mereka mendefinisikan, menafsirkan dan mengkonseptualisasikan sesuatu atas dasar pengalamannya. Apa yang ada dalam interaksi sosial, baik budaya kebendaan dan atau tindakan sosial, adalah simbol yang bisa ditafsirkan atau didefinisikan, dan berdasarkan hal inilah mereka membangun makna bersama, yang dipakai sebagai pola interaksi di antara mereka. Peneliti interaksi simbolik mencari titik pandang bersama (shared perspektive) atau social consencius yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

Interaksi Simbolik dalam Perspektif Sejarah

Interaksi simbolik merupakan salah satu perspektif teori yang baru muncul setelah adanya teori aksi (action theory) sebagaimana di kembangkan oleh Max Weber. Sebagai teori yang baru muncul setelah teori aksi, maka pendekatan yang digunakan juga mengikuti pendekatan Weber dalam teori aksi (action theory).

Teori interaksi simbolik berkembang pertama kali di Chicago University dan dikenal dengan aliran Chicago. Tokoh utama dari teori ini berasil dari berbagai Universitas di luar Chicago, di antaranya John Dewey dan Cooley filosof yang semula mengembangkan teori interaksi simbolik di Michigan University kemudian pindah ke Chicago dan banyak memberi pengaruh kepada W.I. Thomas dan G.H. Mead.

George Herbert Mead lahir tahun 1863 di Massachussets. Umur sebelas tahun ia sekolah di Kolese Oberlin. Setelah lulus, ia mengajar sebentar di sekolah dasar. Pekerjaan itu cuma berlangsung empat bulan karena ia dipecat gara-gara terlalu sering mengusir keluar anak-anak yang suka ribut di sekolah.

Pada tahun 1887, George Herbert Mead masuk Harvard University mengambil filsafat dan psikologi. Lewat gurunya, Josiah Royce, ia menaruh minat besar pada filsafat Hegel. Pada masa-masa itu, Mead bertemu sejumlah orang-orang berpengaruh ataupun sekedar karya mereka, misalnya Willian James, Helen Castle (wanita yang kelak disuntingnya di Berlin), Whilhelm Wui di dengan konsep gerak isyaratnya dan juga G. Stanley Hall, psikolog sosial Amerika. Menjelang akhir hayatnya, Mead sempat berhubungan dengan John Dewey dan Charles Horton untuk suatu alasan akademis.

Mead sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin, bahwasanya organisme secara berkelanjutan terlibat dalam usaha penyesuaian diri dengan lingkungannya sehingga organisme itu mengalami perubahan yang terus-menerus, sehingga dia melihat pikiran manusia sebagai sesuatu yang muncul dalam proses evolusi alamiah. Pemunculannya itu memungkinkan manusia untuk menyesuaikan diri secara lebih efektif dengan alam.

Menurut banyak pakar pemikiran George Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan pada beberapa cabang filsafat antara lain pragmatisme, dan behaviorisme.

Pragmatisme, Dirumuskan oleh John Dewey, Wiliam James, Charles Peirce, Josiah Royce, aliran filsafat ini memiliki beberapa pandangan yaitu :

  1. Realitas yang sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak di dan terhadap dunia.
  2. Percaya bahwa manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.

Behaviorisme. menurut Mead, manusia harus dipahami berdasarkan pada apa yang mereka lakukan. Namun, manusia punya kualitas lain yang membedakannya dengan makhluk lain. Kaum behavioris berkilah bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua makhluk lain, termasuk manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara langsung dan seksama. Mead menolak gagasan itu, menurutnya pengamatan atas perilaku luar manusia semata menafikan kualitas penting manusia yang berbeda dengan kualitas alam.

Herbert Blumer

Blumer berpendidikan di Universitas Misaouri. Dia mendapatkan gelar B.A. dan M.A. pada tahun 1921 dan 1922 secara berturut-turut. Kemudian, pindah ke Universitas Chicago. Di sini, dia mengalami pengaruh yang kuat tentang pemikiran Mead. Secara lengkap gelar Ph.D-nya didapat pada tahun 1929. Dia tinggal di Chicago untuk beberapa tahun, kemudian pada tahun 1950, dia pindah ke Berkeley, dan menetap selamanya di kota ini. Perhatian intelektualnya berfokus pada psikologi sosial, perilaku kolektif, dan sistem hubungan dengan negara Massachusetis (negara bagian Amerika Serikat). Dia bertanggung jawab terhadap perkembangan istilah interaksi simbolik dan dia membuat kontribusi besar terhadap model ini sebagai teori dalam sosiologi. Karya-karyanya sebagian besar berupa artikel mengenai kerja sama antarnegara, perilaku kolektif, dan sistem hubungan dengan negara Massauchusetis. Bagaimanapun, koleksi karyanya sangat otoritatif, yaitu Interaksi Simbolik, Prespektif dan Metode (1969); karya ini berhubungan dengan diskusi-diskusi kita saat ini.

Blumer sangat memerhatikan perkembangan teori interaksi simbolik tentang masyarakat, interaksi simbolik berhubungan dengan karakter yang ganjil dan jelas, interaksi sebagaimana telah diletakkan di antara manusia. Keganjilan ini terdiri dari timbal balik dan interpretasi simbolik. Sosiologi, menurut perspektif ini, adalah menyangkut proses penafsiran manusia, baik secara individu maupun kelompok, tentang tindakan manusia sebagai masyarakat, sebuah paradigma konseptualisasi masyarakat sebagai sebuah sistem tentang proses penafsiran.

Lingkup Pembahasan Interaksi Simbolik

Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual menjadi penting di dalam interaksi simbolik.

Kemudian secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu: (1) Perilaku manusia mempunyai makna di balik yang menggejala, (2) Pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia, (3) Masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang “holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga, (4) Perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran fenomenologi, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanil dan otomatik, (5) Konsep mental manusia itu berkembang dialektik, dan (6) Perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.

Prinsip metodologi interaksi simbolik ini adalah: (1) simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila kita hanya merekam fakta. Kita juga harus mencari yang lebih jauh, yakni mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya, (2) karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subjek perlu dapat ditangkap. Pemahaman mengenai konsep jati diri subjek yang demikian itu adalah penting, (3) peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol dengan jati diri dengan lingkungan yang menjadi hubungan sosialnya. Konsep jati diri terkait dengan konsep sosiologik tentang struktur sosial, dan lainnya, (4) hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual saja, (5) metode-metode yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya, (6) metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna di balik interaksi, dan (7) sensitizing, yaitu sekedar mengarahkan pemikiran itu yang cocok dengan interaksi simbolik dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional, yakni scientific concepts.

Masyarakat sebagai Interaksi-Simbolis

Interaksionisme-simbolis yang diketengahkan Blumer mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar, yang dapat diringkas ebagai berikut:

  1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.
  2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok yang diajukan oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol yang berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupakan simbol berarti yang paling umum.
  3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik; makna lebih merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (b) obyek sosial seperti ibu, guru, menteri atau teman; dan (c) obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Blumer (1969:10-11) membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia obyek: “diciptakan, disetujui, ditransformir dan dikesampingkan” lewat; interaksi-simbolis. Ilustrasi peranan makna yang diterapkan kepada : obyek fisik dapat dilihat dalam perlakuan yang beda terhadap sapi di Amerika Serikat dan di India. Obyek (sapi) sama, tetapi di Amerika sapi dapat berarti makanan, sedang di India sapi dianggap; sakral. Bila dilihat dari perspektif lintas kultural, obyek-obyek fisik; yang maknanya kita ambil begitu saja bisa dianggap terbentuk secara sosial.
  4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. Jadi seorang pemuda dapat melihat dirinya sebagai mahasiswa, suami, dan seorang yang baru saja menjadi ayah. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi simbolis.
  5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat olel manusia itu sendiri. Blumer menulis (1969:15) Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedi untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari oran lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari: cai bertindak tertentu.
  6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggot anggota kelompok; hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai; “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindak berbagai manusia” (Blumer, 1969: 17). Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”

Substansi dan Perbincangan Interaksi Simbolik

Mead bermaksud membedakan teori yang dikemukakannya dengan teori behaviorisme. Behaviorisme mempunyai pandangan bahwa perilaku individu adalah sesuatu yang dapat diamati, artinya mempelajari tingkah laku manusia secara objektif dari luar. Interaksi simbolik menurut Mead mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang melatarbelakangi tindakan sosial itu dari sudut aktor. Jadi, interaksi simbolik memandang manusia bertindak bukan semata-mata karena stimulus-respons, tetapi juga didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan tersebut.

Perspektif tentang masyarakat manusia yang menekankan pada pentingnya bahasa dalam membentuk upaya saling memahami sebagaimana diungkapkan oleh Mead, selanjutnya dirangkum oleh Blumer dalam suatu pernyataai yang dikenal dengan tiga premis interaksi simbolik, yaitu:

  1. Manusia melakukan tindakan terhadap “sesuatu” berdasarkan makna yang dimiliki “sesuatu” tersebut untuk mereka.
  2. Makna dari “sesuatu” tersebut berasal dari atau muncul dari interaksi sosial yang dialami seseorang dengan sesamanya.
  3. Makna-makna yang ditangani dimodifikasi melalui suatu proses interpretatif yang digunakan orang dalam berhubungan dengan “sesuatu” yang ditemui.

Herbert Blumer seorang tokoh modern teori interaksi simbolik, menjelaskan perbedaan antara teori ini dengan behaviorisme sebagai berikut. Menurut Blumer; konsep interaksi simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya, bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain tersebut Interaksi antar individu, dihubungkan oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi, atau saling berusaha memahami maksud dari tindakan masing-masing. Jadi, proses interaksi manusia itu bukan suatu proses di mana adanya stimulus secara otomatis dan langsung menimbulkan tanggapan atau respons. Akan tetapi, antara stimulus yang diterima dan respons yang terjadi sesudahnya terdapat proses interpretasi antar aktor. Dengan demikian, proses interpretasi yang menjadi penengah antara stimulus-respons menempati posisi kunci dalam teori interaksi simbolik. Sehingga konsep inilah yang membedakan mereka dengan penganut behaviorisme.

Interaksi Simbolik dalam Kenyataan Sosial

Manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Kemampuan itu diperlukan untuk komunikasi antar pribadi dan pikiran subjektif. George Herbert Mead (1863-1931) menyatakan bahwa pikiran atau kesadaran manusia sejalan dengan kerangka evolusi Darwin. Berpikir sama artinya, bagi Mead setara dengan melakukan perjalanan panjang yang berlangsung dalam masa antar generasi manusia yang bersifat subhuman. Dalam “perjalanan” itu, ia terus-menerus terlibat dalam usaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga sangat memungkinkan terjadinya perubahan bentuk atau karakteristiknya.

Komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling sederhana dan yang paling pokok dalam berkomunikasi, tetapi manusia tidak terbatas pada bentuk komunikasi ini. Bentuk yang lain adalah komunikasi simbol. Karakteristik khusus dari komunikasi simbol manusia adalah bahwa dia tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik. Sebaliknya, dia menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar. Kemampuan manusia menggunakan simbol suara yang dimengerti bersama memungkinkan perluasan dan penyempurnaan komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin melalui isyarat fisik saja.

Simbol juga dipergunakan dalam (proses) berpikir subjektif, terutama simbol-simbol bahasa. Cuma, di sini simbol-simbol itu tidak dipakai secara nyata (covert), yaitu melalui percakapan internal. Serupa dengan itu, secara tidak kelihatan individu itu menunjuk pada dirinya sendiri-mengenai diri atau identitas yang terkandung dalam reaksi-reaksi orang lain terhadap perilakunya. Dengan demikian, maka yang dihasilkan adalah konsep diri yang mencakup kesadaran diri yang dipusatkan pada diri sebagai objeknya.

Manusia dan Makna dalam Perspektif Interaksi Simbolik

Mead memandang realitas sosial dengan kacamata psikologi sosial sebagai suatu proses, bukan statis. Manusia maupun aturan sosial berada dalam proses ‘akan jadi’, bukan sebagai fakta yang sudah lengkap. Mead meneliti bagaimana proses individu menjadi anggota organisasi (masyarakat).

Mead mengawalinya dari diri (self) yang menjalani internalisasi atau interpretasi subjektif atas realitas struktur yang lebih luas. Diri ini berkembang ketika orang belajar “mengambil peranan orang lain” atau masuk ke dalam pertandingan (games) ketimbang permainan (play).

Manusia itu disamping mampu memahami orang lain juga mampu memahami dirinya sendiri. Hal ini ditunjang oleh penguasannya atas bahasa, sebagai simbol terpenting dan isyarat. Karena dengan bahasa dan isyarat itu, seseorang melakukan interaksi simbolik dengan dirinya sendiri.

Bagi Blumer, interaksi simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu bagi mereka, (2) Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Pandangan Herbert Blumer tentang Interaksi Simbolik

Dalam pandangan interaksi simbolik, manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi objektif, tetapi setidaknya merupakan aktor yang bebas. Pendekatan ini memperhatikan interpretasi subjektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus objektif, bukan aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial.

Pandangan Blumer tentang interaksi simbolik banyak diilhami oleh gurunya (Herbert Mead). Menurut keduanya, orang tak hanya menyadari orang lain, tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian, orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolik dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi sosial adalah sebuah interaksi antarpelaku dan bukan antar faktor-faktor yang menghubungkan mereka, atau yang membuat mereka berinteraksi. Pada umumnya interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa dan melalui isyarat Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, tetapi berada dalam proses yang kontinyu. Proses penyampaian makna merupakan fokus kajian interaksi simbolik. Ciri-ciri interaksi simbolik adalah pada konteks simbol, sebab mereka mencoba mengerti makna atau maksud dari suatu aksi yang dilakukan antara yang satu dengan yang lain. Dalam berinteraksi, orang belajar memahami simbol-simbol konvensional dan berusaha menggunakannya sehingga mampu memahami peranan aktor-aktor yang lainnya.

Teori interaksi simbolik merujuk pada karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respons aktor baik secara langsung maupun tidak langsung selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Untuk itu, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain.

Menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke mana arah tindakannya. Individu bukan dikelilingi oleh lingkungan objek-objek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya, tetapi individu membentuk objek-objek itu. Individu berupaya mengkreasi objek-objek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut.

 

Daftar Pustaka

Ahmadi, Dadi. 2008. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator, Vol.9 No.2 – Desember, hal. 301-316.

Anonym. Jurnal tidak terpublikasi Universitas Sumatera Utara.

Atmadja, Anantawikrama Tungga. 2013. Pergulatan Metodologi dan Penelitian Kualitatif dalam Ranah Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Profesi Vol. 3 No.2 – Desember, hal. 122 -141.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP) Vol.8 No.1 – Oktober , hal. 128-146.

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

Poloma, Margaret M. 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Kahmad, Dadang. 2005. Perkembangan dan Paradigma Utama: Teori Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia.

http://mika-punya.blogspot.com/2012/05/teori-simbolik.html

 

Dua Dimensi Empat Paradigma Gibson Burrell and Gareth Morgan

Paradigma dalam Menganalisis Ilmu Sosial

Dengan mengkombinasikan pandangan-pandangan mengenai asumsi sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar masyarakat, paradigma untuk menganalisis teori sosial bisa dibagi menjadi empat, yaitu radical humanist, radical structuralist, interpretive, dan functionalist. Untuk lebih jelas, klasifikasi tersebut bisa digambarkan dalam kuadran seperti berikut:

Paradigma Functionalist

Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan menggunakan sudut pandang objektif. Ciri khasnya adalah perhatian yang besar pada penjelasan-penjelasan mengenai status quo, keteraturan sosial, konsensus, integrasi sosial, soliadritas, pemenuhan kebutuhan dan aktualisasi.

Paradgma functionalis lebih sering melakukan pendekatan yang berorientasi   masalah,   lebih  memerhatikan   bagaimana   menyediakan solusi praktis terhadap permasalahan praktis. Ia mengacu kepada tradisi dari kaum sosial positif. Kaum fungsionalis cenderung untuk mengasumsikan  bahwa  dunia  sosial  merupakan  teridiri  dari  artefact empiris  relatif  dan  hubungan,  yang  dapat  diidentifikasi,  dipelajari  dan diukur,  pendekatan  ini diturunkan  dari pendekatan  ilmu alam.  Analogi yang   paling   favorit   adalah   analogi-analogi   mekanik   dan   biologi. Pendekatan ini merefleksikan asumsi-asumsi mengenai alam ilmu sosial, yang berada pada oposisi paham sosiologi positif.

Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, ke setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih mendasarkan pada “filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.

Paradigma ini pada dasamya berusaha me nerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu meka nika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi per geseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu per geseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.

Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi “perubahan radikal” mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah ter jadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objek tivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.

Paradigma Interpretive

Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan sudut pandang subjektif. Perhatian utamanya ada pada bagaimana memahami dunia sebagaimana adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial dari pengalaman subjektif. Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan dalam dunia kesadaran seseorang dan subjektivitas, dalam bingkai rujukan orang yang terlibat langsung, bukan sebagai pengamat.

Paradigma  interpretasi  diinformasikan  dengan  penekanan  untuk memahami dunia apa adanya, untuk memahami dasar alam dunia ilmu sosial pada level pengalaman subjektif. Ia berusaha mencari penjelasan dunia alam sadar individu dan subjektivitas, dimana pola acuan peserta beroposisi   dengan   aksi   pengamat.   Ia   cenderung   menjadi   kaum nominalis, anti positif, volunter, dan ideographic.

Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan- anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pan dangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradgima Radical Humanist

Paradigma ini didefinisikan dengan perhatian utamanya untuk mengembangkan sociology of radical change dari sudut pandang subjektif. Paradigma ini berpandangan bahwa dalam sebuah masyarakat adalah penting untuk membuang atau melanggar batas-batas yang ada dalam pengaturan sosial.

Paradigma kemanusiaan radikal didefinisikan dengan penekanannya untuk  mengembangkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut pandang kaum subjektif. Pendekatannya terhadap ilmu sosial memiliki banyak kesamaan  dengan  paradigma   interpretif,   dalam hal ini ia memandang dunia sosial dari perspektif yang cenderung menjadi kaum nominalis, anti-positif, dan ideographic.

Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pen dekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilang kan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah di kuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka. Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan “konsientisasi”, yang pada dasarnya membangkit kan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal.

 

Paradgima Radical Structuralist

Paradigma ini berangkat dari pandangan Sociology of radical change dari sudut pandang objektif. Radical structuralist sangat gigih dalam membahas isu-isu perubahan radikal, emansipasi, dan potensiality, analisis yang menekankan konflik struktural, dominasi, kontradiksi dan pengambilalihan (deprivation). Kaum teori berada pada paradigma ini menganjurkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut pandang kaum objektif.

Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cen derung realis, positivis, determinis, dan nomotetis.

Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan -hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara me nyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.

 

Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

 

Perbandingan Dua Dimensi Empat Paradigma

 

Paradigma : Fungsionalist Interpretive Radical Humanist Radical Structuralist
Sudut Pandang Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan menggunakan sudut pandang objektif Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan sudut pandang subjektif Paradigma ini didefinisikan dengan perhatian utamanya untuk mengembangkan sociology of radical change dari sudut pandang subjektif Paradigma ini berangkat dari pandangan Sociology of radical change  dari

sudut pandang objektif.

Akar Disiplin Psikologi, sosiologi Antropologi, sosiolinguistik Teori kritis (Jerman), studi kebudayaan Inggris dan Eksistensialisme Perancis Marxisme Jerman dan Rusia
Ciri Khas dan Karakteristik Ciri khasnya adalah

perhatian yang besar pada penjelasan- penjelasan mengenai status quo, keteraturan sosial, konsensus, integrasi sosial, soliadritas, pemenuhan kebutuhan dan aktualisasi.

Perhatian utamanya

ada pada bagaimana memahami dunia sebagaimana adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial dari pengalaman subjektif. Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan dalam dunia kesadaran seseorang dan subjektivitas, dalam bingkai rujukan orang yang terlibat langsung, bukan sebagai pengamat.

Paradigma ini berpandangan bahwa dalam sebuah masyarakat adalah penting untuk membuang atau melanggar batas-batas yang ada dalam pengaturan social Paradigma ini sangat

gigih dalam membahas isu-isu perubahan radikal, emansipasi, dan potensiality, analisis yang menekankan konflik struktural,

dominasi, kontradiksi dan pengambilalihan (deprivation).

Asumi Dasar  Bahwa masyarakat mempunyai keberadaan yang kongkrit dan mengikuti aturan tertentu.

 Bahwa teori-teori ilmiah dapat dinilai secara obyektif dengan referensi pada bukti empiris.

 Standar universal dari ilmu pengetahuan menentukan apa yang membentuk penjelasan dari sesuatu yang diamati.

 Bahwa aturan eksternal dan regulasi menguasai dunia eksternal.

 Memandang dunia sosial sebagai proses yang diciptakan oleh individu.

 Bahwa dalam ilmu pengetahuan alam, masalah subyeknya bersifat spiritual.

 Bahwa ilmu pengetahuan terbentuk secara sosial dan terjaga secara sosial, signifikansi dan maknanya hanya dapat dipahami di dalam konteks sosial.

 Bahwa realitas tercipta dan terpelihara secara sosial.

 Humanis radikal cenderung memandang masyarakat sebagai anti manusia.

 Humanis radikal percaya bahwa segala sesuatu dipegang secara keseluruhan karena keseluruhan mendominasi bagian dalam seluruh pemahaman yang dipegang

 Ide totalitas: menekankan pada hubungan dialektik antara totalitas dan bagian unsur pokoknya.

 Ide struktur: fokusnya adalah pada konfigurasi

hubungan sosial yang disebut dengan struktur.

 Ide kontradiksi: struktur atau pembentukan sosial, berisi kontradiksi dan hubungan antagonistis di dalam mereka sehingga dapat menimbulkan kerusakan mereka sendiri.

 Ide krisis: kontradiksi di dalam totalitas mencapai titik di mana mereka tidak lagi dapat ditahan. Menghasilkan krisis ekonomi dan politik di mana menunjukkan titik transformasi dari satu totalitas kepada lainnya di mana sekumpulan

struktur diganti oleh sifat lainnya yang secara fundamental berbeda.

Ontologi Realisme

(realitas dipahami sebagai sesuatu yang apa adanya dan terpisah dari pengalaman peneliti)

Nominalisme

(realitas dipahami sebagai hasil konstruksi pengalaman – pengalaman individu yang membentuk intereksi social)

Nominalisme

(realitas dipahami sebagai hasil konstruksi pengalaman – pengalaman individu yang membentuk intereksi social)

Realisme

(realitas dipahami sebagai sesuatu yang apa adanya dan terpisah dari pengalaman peneliti)

 

Epistemologi Positivistik

(pengetahuan didapatkan dari hasil pengamatan empiris terhadap fenomena social.)

Non Positivistik

(pengetahuan didapatkan dari hasil interpretasi terhadap fenomena dan gejala social)

Non Positivistik

(pengetahuan didapatkan dari hasil interpretasi terhadap fenomena dan gejala social)

Positivistik

(pengetahuan didapatkan dari hasil pengamatan empiris terhadap fenomena social.)

Human Nature Deterministik

(manusia merupakan agen yang sudah ditentukan perannya dalam setiap interaksi social)

Volountaristik

(manusia bebas dalam memilih perannya dalam relasi – relasi social)

Volountaristik

(manusia bebas dalam memilih perannya dalam relasi – relasi social

Deterministik

(manusia merupakan agen yang sudah ditentukan perannya dalam setiap interaksi social)

Metodologi Deduksi – induksi

(penelitian dilakukan dengan metode deduksi yaitu pengamatan terhadap gejala – gejala umum fenomenas social, kemudian menarik generalisasi terhadap fenomena)

Induksi

(penelitian dilakukan dengan metode induksi, yaitu meneliti secara grounded di akar – akar masyarakat, dan memberikan interpretasi terhadap gejala social yang ditemukan)

Induksi

(penelitian dilakukan dengan metode induksi, yaitu meneliti secara grounded di akar – akar masyarakat, dan memberikan interpretasi terhadap gejala social yang ditemukan)

Deduksi –  induksi

(penelitian dilakukan dengan metode deduksi yaitu pengamatan terhadap gejala – gejala umum fenomenas social, kemudian menarik generalisasi terhadap fenomena)

Oksiologi Bebas Nilai

(pengetahuan bebas dari kepentingan, pengalaman peneliti. Pengetahuan yang diperolah sebisa mungkin terbebas dari bias – bias yang mungkin bersumber dari pengalaman peneliti)

Sarat Nilai

(Pengetahuan merupakan hasil interpretasi, dan karenya pengetahuan bersifat sarat  dengan nilai, yaitu kepentingan peneliti didalamnya.)

Sarat Nilai

(Pengetahuan merupakan hasil interpretasi, dan karenya pengetahuan bersifat sarat  dengan nilai, yaitu kepentingan peneliti didalamnya.)

Bebas Nilai

(pengetahuan bebas dari kepentingan, pengalaman peneliti. Pengetahuan yang diperolah sebisa mungkin terbebas dari bias – bias yang mungkin bersumber dari pengalaman peneliti)

Perubahan Sosial Bertahap

(perubahan social hanya dapat dilakukan secara bertahap)

Bertahap

(perubahan social hanya dapat dilakukan secara bertahap)

Radikal

(perubahan social terjadi secara radikal, yaitu apabila sarana – sarana infrstruktur social berubah secara cepat, maka fenomena social pun akan berubah secara cepat)

Radikal

(perubahan social terjadi secara radikal, yaitu apabila sarana – sarana infrstruktur social berubah secara cepat, maka fenomena social pun akan berubah secara cepat)

Penekanan Teori Teori didapatkan dari pengamatan terhadap fenomena inpiris yang terjadi dalam realitas sosial Teori didapatkan dari interaksi pemikiran individu-individu yang kemudian berkembang menjadi consensus masyarakat Teori didapatkan dari interaksi pemikiran individu-individu yang kemudian berkembang menjadi consensus masyarakat Teori didapatkan dari pengamatan terhadap fenomena yang terjadi dalam struktur-struktur realitas social
Tokoh Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz. Paulo Freire Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

 

 

 

Seperti Apa Realitas Yang Mekanistik Itu?

*Suhartono

 Nominalism-realism (the ontological debate) Banyak sekali kontroversi mengenai kedua hal ini. Paham nominalis atau konvensionalis  memiliki  perspektif  bahwa  semua  yang ada di luar individu tidaklah real, hanya merupakan representasi nama dan simbol dimana sesuatu itu menjadi ada karena individu tersebut membuatnya ada. Jika setiap individu tidak memiliki representasi mengenai  sesuatu  yang  ada  diluarnya,  maka  sesuatu  itu  menjadi tidak  ada.  Berbeda  dengan  apa  yang  dipikirkan  oleh  kaum  realis bahwa setiap yang ada diluar individu adalah sesuatu yang nyata dan tidak bergantung pada persepsi atau cara pandang individu terhadap hal itu. Kaum realis percaya bahwa semua yang ada dalam hidup ini adalah   nyata   walaupun   individu   memiliki   atau   tidak   memiliki representasi terhadap sesuatu tersebut.

Berangkat dari asumsi ontologis memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.

Nominalisme dan realisme adalah dua aliran dalam filsafat yang berbeda atau bertolak belakang. Dari berbagai literatur dicontohkan perbedaan tersebut menyangkut hakikat dari suatu masalah (fenomena) terutama realita sosial yang diselidiki antara lain apakah realitas itu merupakan sesuatu yang obyektif atau subyektif (hasil pemikiran seseorang)? Atau apakah realitas itu merupakan sesuatu yang sudah ada (given) berada diluar pikiran manusia atau dari pikiran manusia. Realisme beranggapan bahwa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berwujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilih penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.

Penganut nominalis beranggapan bahwa masalah sosial itu merupakan sesuatu dari hasil pemikiran seseorang (subyektif) sebagai contoh nama benda atau nama orang merupakan kreasi seseorang untuk mendiskripsikan sesuatu. Sebaliknya penganut realis menganggap bahwa realitas sosial itu merupakan sesuatu yang berada diluar pemikiran manusia (obyektif), merupakan kenyataan. Dari sudut pandang ontologis (melihat hakikat atas sesuatu) realitas sosial tersebut sudah ada sebelum keberadaan dan kesadaran manusia.

Filsafat disebut banyak orang sebagai induk ilmu. Pengertian filsafat digambarkan Suriasumantri seperti ”… seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi”.

Ontologi adalah kajian filsafat yang membahas tentang hakikat atas suatu realita. Ilmu dan metafisika ini digambarkan Suriasumantri ”… merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncurkan ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya”.

Tafsiran metafisika (paham mekanistik) ini digunakan manusia antara lain terhadap alam. Gejala alam seperti hujan, angin, petir, dan lain-lain bisa didekati dari segi proses kimia-fisika. Namun demikian permasalahan terjadi jika tafsiran metafisika diterapkan pada makhluk hidup seperti manusia. Dalam Suriasumantri disebutkan ”… Disini kaum yang menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik”. Lebih jauh dijelaskan, ”Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut diatas”.

Perbedaan pandangan kaum mekanistik (monoistik) dan vitalistik (dualistik) ini sudah menjadi kajian dari ahli-ahli filsafat sejak dulu.”Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada didalamnya”. Perbedaan pandangan ini juga secara jelas digambarkan oleh Suriasumantri ”…proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun apakah kebenaran nya hakikat pikiran tersebut, apakah dia berbeda dengan zat yang ditelaahnya, ataukah hanya bentuk lain dari zat tersebut”.

Lebih lanjut disebutkan  Suriasumantri menyebutkan ”…yang membedakan robot dengan manusia bagi kaum yang menganut paham monistik hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya berbeda secara nyata”.

Asumsi yang bersifat ontologis merupakan asumsi yang menyangkut hakikat fenomena yang diselidiki. Para ilmuwan sosial, misalnya, dihadapkan dengan pertanyaan ontologis dasar: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.

istilah-istilah ini telah banyak menjadi subjek diskusi dalam literatur dan area-area kontroversi disekitarnya. Kaum normalis berada pada asumsi bahwa dunia sosial eksternal untuk kesadaran individu tidak lebih dari sebuah nama, konsep dan label yang digunakan untuk struktur realitas. Nominalist tidak pernah mengakui adanya stuktur apapun yang rill untuk menggambarkan konsep ini. Nama dianggap sebagai kreasi yang didasarkan pada kenyamanan mereka yang digunakan sebagai alat untuk menggambarkan, menciptakan rasa, dan melakukan negosiasi di dunia luar.

Realisme di sisi lain, berpatokan bahwa dunia sosial eksternal untuk kesadaran individual merupakan dunia nyata yang tercipta dari sesuatu yang keras, nyata, dan relative tidak berubah. Apakah kita menamai dan merasakan atau tidak struktur ataupun pertahanan para realis, mereka akan tetap ada sebagai entitas empiris. Bahkan mungkin kita tidak menyadari keberadaan struktur penting tertentu sehingga tidak memberikannya nama atau konsep untuk mengartikulasikan mereka. Bagi para Realis, dunia sosial ada secara independen dari apresiasi manusi terhadapnya. Individu dipandang sebagai seseorang yang dilahirkan dan hidup dalam dunia sosial yang memiliki realitas sendiri. Ini bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh invidu di luar sana. Secara ontologis, hal itu ada sebelum keberadaan dan kesadaran dari setiap manusia tunggal. Bagi realis, dunia sosial memiliki eksistensi yang sama keras dan konkritnya seperti alam.

Kaum mekanistik melihat gejala alam, termasuk makhluk hidup, hanya sebatas gejala fisika. Isaac Newton merumuskan system berpikir yang dipandang sebagai bentuk akhir filsafat mekanis. Masa tersebut dipandang sebagai mas aperalihan dari nilai-nilai yang lama ke nilai-nilai yang baru, dengan menggunakan sains modern sebagai perwujudannya. Realitas kehidupan manusia ditempatkan berdasarkan realitas yang otonom dengan hanya berdasarkan pada bukti-bukti empiris. Masyarakat akan selalu menetapkan fakta yang diakui eksistensinya oleh sain yang mekanistik. Pengalaman manusia diukur hanya dengan hitungan matematis tanpa mengikutsertakan unsur lain.

Realisme beranggapan bahwa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berwujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilih penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.

Definisi dan pemahaman tentang Realitas terus berkembang dari masa ke masa seiring bermunculnya pemikiran-pemikiran barat dan timur, antara lain Democritus, Sokrates, Plato, Aristoteles, hingga Rene Descartes (1596-1650), bapak filsafat modern, dianggap orang yang kali pertama membedakan antara jiwa dan tubuh atau res cogitans dan res extensa. Pandangan Descartes diikuti maupun dikukuhkan oleh Isaac Newton (1642-1727).

Referensi

Burrell, Gibson and Morgan Gareth. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann..

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nominalisme-Realisme dan Pandangan Dunia Mekanistik

ONTOLOGI I : NOMINALISME, REALISME DAN PANDANGAN DUNIA MEKANISTIK

 

Seperti Apa Realitas Menurut Agama?

Filsafat, sains dan agama beribicara mengenai realitas, segala sesuatu yang bisa kita cerap. Filsafat lahir terlebih dulu, sains baru muncul kemudian. Filsafat muncul karena ketakjuban mendalam ketika orang bersentuhan dengan realitas (dunia tempat hidupnya dan dirinya sendiri). Ketakjuban ini meninggalkan goresan mendalam dan tak henti menimbulkan pertanyaan. Orang kemudian mengajukan pertanyaan dengan sengaja untuk mendapatkan penjelasan. Dari mana asal semua benda? Apa itu cinta, kebaikan, kebahagiaan? Orang kemudian berolah pikir, sekuat tenaga menggunakan kemampuan akalnya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sudah banyak yang bisa dicapai dan dihasilkan. Sudah banyak manfaat yang bisa diambil dan hingga kini penyelidikan semacam itu tidak berhenti.

Tetapi filsafat hanya bergerak di tataran akal murni. Hasil penyelidikan dirumuskan dalam suatu pernyataan (proposisi). Bagaimana menilai benar tidaknya suatu pernyataan? Cukup dengan merujukkannya pada kaidah logika. Itu sebabnya logika sangat penting dalam filsafat. Logika adalah fondasi filsafat.

Sains tidak puas dengan ini. Dalam sains suatu pernyataan baru bisa dikatakan benar jika ia mengikuti kaidah logika dan merujuk pada bukti faktual. Bukti faktual ini harus bisa didapat dengan pengamatan (observasi). Sains dengan begitu bersifat empiris sementara filsafat spekulatif. Pernyataan filsafat analitik apriori; pernyataan sains sintetik a posteriori.

Cara yang ditetapkan oleh filsafat dan sains untuk menjelaskan realitas menghasilkan pagar pembatas mengenai pemaknaan realitas. Bagi sains realitas adalah segala sesuatu yang bisa diobservasi, bagi filsafat realitas adalah segala sesuatu yang bisa dipikirkan. Sains kemudian memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat dinyatakan secara kuantitatif. Fisika misalnya, menyelidiki materi dan energi, karena kedua hal ini dapat diukur dan ditimbang.

Apakah realitas itu terbatas pada segala sesuatu yang terobservasi dan atau segala sesuatu yang terpikirkan? Agama menjawab: Tidak! Apa yang dimaknai realitas menurut sains dan filsafat hanyalah sebagian dari keseluruhan realitas. Realitas dalam pandangan agama mencakup segala sesuatu yang dibicarakan dalam sains dan filsafat plus segala sesuatu yang sama sekali tidak dapat bukan saja diobservasi tetapi bahkan akal sekalipun tidak dapat memahaminya.

Hal-hal kualitatif seperti cinta, kebaikan, kebahagiaan tidak bisa dibicarakan dan diselidiki dalam sains karena tidak ada factual evidences yang dapat diobservasi dari hal-hal semacam ini. Filsafat masih bisa memperbincangkannya. Lalu bagaimana dengan realitas yang sama sekali tidak tercerap akal? Agama mengajarkan penggunaan perangkat lain selain akal untuk dapat bersentuhan dengan realitas semacam ini. Agama menunjukkan qalbu. Dengan qalbu kita bisa mengimani segala sesuatu yang tidak bisa kita observasi dan pikirkan.

Kebenaran-kebenaran tertinggi dalam dunia filsafat Islam masih terdikotomikan dua alur besar: rasionalsime dan idealisme, dengan berbagai bentuknya yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Kebenaran- kebenaran tertinggi ini selalu diperdebatkan adalah kebenaran metafisik yang menyangkut masalah: mana yang lebih awal antara wujud dan eksistensi.

Sebab hakikatnya terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu “objek”, kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Dalam konteks wujud, ada objek yang lebih  bisa  dipahami  ketimbang  konsepsi  wujud.  Menurut  para  filosof, konsepsi   wujud   sedemikian   terangnya,   sehingga   ia   persis   menyerupai matahari.  Karena  sedemikian  terangnya,  ia  tidak  mungkin  bisa  dilihat manusia.

Demikianlah wujud, begitu jelasnya mafhum wujud, maka ia tidak mungkin  bisa  didefinisikan  lewat  genus  (jins)  dan  diferensia  (fasl),  yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang wujud itu sendiri. Secara konseptual,  kata  Sabzawari  (w.1289), mafhum  wujud  adalah  sesuatu  yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami.

Secara historis, tema wujud menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh filosof klasik sejak Aristoteles. Karena itu kita akan dapati hampir seluruh buku-buku magnum opus filsafat, seperti as-Syifa karya Ibnu Sina, Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan buku- buku kalam karya Khowajeh Nasiruddin Thusi menempatkan masalah itu sebagai tema pentingnya. Namun harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih “sekadar” menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari tema- tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya.

Hinduisme tak bisa disebut filsafat, ataupun agama secara formal, la lebih merupakan organisme sosioreligiusyang besar dan rumit terdiri dari banyak sekali sekte, tradisi, dan sistem filosofis serta melibatkan berbagai ritual, upacara, dan disiplin spiritual, begitu juga pemujaan atas dewa dan dewi yang luar biasa banyaknya. Keragaman wajah dari tradisi spiritual yang rumit namun tetap bertahan dan kuat ini mencerminkan kompleksitas geografis, ras, bahasa, dan budaya dari Benua India yang luas. Berbagai manifestasi Hinduisme meliputi filsafat yang sangat intelektual melibatkan konsepsi dengan jangkauan dan kedalaman luar biasa, hingga praktik-praktik ritual massa yang naïf dan kekanak-kanakan. Jika mayoritas orang Hindu adalah penduduk desa sederhana yang menjaga agama populer ini tetap hidup dalam ritual pemujaan mereka sehari-hai Hinduisme di sisi lain melahirkan banyak guru spiritual luar biasa yang menyebarkan berbagai wawasan mendalamnya.

Tema dasar yang kerap dijumpai dalam mitologi Hindu adalal tentang penciptaan alam semesta melalui pengorbanan diriTuhan, ‘pengorbanan’ dalam makna aslinya berarti ‘menjadikan sakral’. Tuhan menjadi dunia dan akhirnya menjadi Tuhan kembali. Aktivitas: penciptaan ilahiah ini disebut lila, pertunjukan ilahiah, dan dunia dipandang sebagai panggung pertunjukan Ilahiah ini. Seperti kebanyakar mitologi Hindu, mitos lila bernuansa magis kuat .Brahman adalah penyihir agung yang mengubah dirinya menjadi dunia dan menampilkan pertunjukan ini dengan ‘kekuatan kreatif sihirnya’, yang merupakan makna asli istilah maya dalam Rig Weda. Istilah maya salah satu istilah terpenting dalam filsafat India telah berubah maknanya selama berabad-abad. Dari ‘kekuatan’, atau ‘kekuasaan’, sang penyihir agung, menjadi istilah untuk menandai kondisi psikologis setiap orang yang berada dalam pengaruh keterpesonaan akibat pertunjukan sihir itu. Selama kita menganggap kemajemukan bentuk lila sebagai realitas, tanpa memahami kesatuan Brahman yang melandasi semua bentuk itu, kita ada dalam pengaruh mantra sihir maya.

Jika nuansa Hinduisme adalah mitologis dan ritualistik, maka nuansa Buddhisme pastinya adalah psikologis. Buddha tak tertarik memenuhi rasa ingin tahu manusia tentang asal-mula dunia, hakikat Ilahi, atau pertanyaan lain semacam itu. la berminat secara eksklusif hanya pada situasi manusia, pada penderitaan dan frustrasi manusia. Ajarannya karena itu tak bersifat metafisis, namun psikoterapis. La menunjukkan asal-mula frustrasi manusia dan jalan mengatasinya, untuk keperluan ini ia mengambil konsep tradisional India tentang maya, karma, nirwana, dan lain-lain, dan memberinya interpretasi psikologis yang dinamis, menyegarkan, dan langsung relevan.

Setelah Buddha wafat, Buddhisme berkembang ke dalam dua tradisi, Hinayana dan Mahayana. Meskipun memiliki taraf intelektual tinggi dengan berbagai filsafat ini namun Buddhisme Mahayana tak pernah kehilangan dirinya dalam pemikiran abstrak spekulatif. Sebagaimana biasa dalam mistisisme Timur, akal dipandang hanya sebagai alat untuk melapangkan jalan menuju pengalaman mistis secara langsung, yang disebut orang Buddhis sebagai ‘kebangkitan’. Esensi pengalaman ini adalah melampaui dunia distingsi dan oposisi intelektual untuk mencapai dunia acintya, yang tak terpikirkan, ketika realitas tampil sebagai ‘kesedemikianan’ yang tak terbagi dan tak terdiferensiasi.

Selama abad ke-6 S.M., kedua sisi filsafat Cina ini berkembang ke dalam dua tradisi filsafat yang berbeda, Confusianisme dan Taoisme. Confusianisme adalah filsafat tentang organisasi sosial, tentang pikiran dan pengetahuan praktis. Filsafat ini memberi masyarakat Cina sebuah sistem pendidikan dan kaidah-kaidah etika sosial yang ketat. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk membentuk sebuah dasar etika bagi sistem keluarga Cina tradisional dengan strukturnya yang rumit dan ritual-ritual pemujaan nenek moyangnya. Taoisme, di sisi lain, terutama terkait dengan pengamatan alam dan penemuan Jalan, atau Tao, darinya. Kebahagiaan manusia, menurut orang Taois, didapat ketika orang mengikuti tatanan alamiah, bertindak secara spontan dan mempercayai pengetahuan intuitif mereka.

Pasangan yin dan yang adalah motif utama yang meiesap ke dalam budaya Cina dan menentukan seluruh ciri khas dari jalan hidup Cina tradisional. “Hidup,” kata Chuang Tzu, “adalah perpaduan yang selaras dari yin dan yang.”” Sebagai bangsa petani, orang Cina sudah akr^b dengan pergerakan-pergerakan matahari dan bulan dan dengan per­ubahan musim. Perubahan musim dan fenomena pertumbuhan dan kerusakan yang dihasilkannya di alam organik karena itu dipandang mereka-sebagai ekspresi paling jelas dari saling memengaruhi antara yin dan yang, antara musim salju yang dingin dan gelap serta musim kemarau yang terang dan panas. Saling memengaruhi musiman antara kedua kutub ini juga tercermin dalam makanan yang kita makan yang mengandung unsur yin dan yang. Makanan yang sehat terdiri dari, bagi orang Cina, penyeimbangan unsur yin dan yang.

Dari dua kecenderungan utama pemikiran Cina, Confusianisme dan Taoisme; yang terakhir Taoisme adalah pemikiran yang berorientasi mistis, sehingga lebih relevan untuk perbandingan dengan fisika modern. Seperti Hinduisme dan Buddhishie, lebih menaruh perhatian pada kebijakan intuitif, ketimbang rasiornal berbagai keterbatasan dan relativitas dunia pemikiran rasional. Taoisme pada prinsipnya, merupakan jalan pembebasan dari dunia ini dan dalam hal ini, dapat dibandingkan dengan jalan Yoga atau Vedanta dalam Hinduisme, atau Delapan Jalan Buddha. Dalam konteks kebudayaan Cina; pembebasan laois berarti, secara khusus, pembebasan dari aturan- aturan konvensional yang ketat.

Referensi

Capra, Fritjof. 1975. “The Tao of Physics”. New York: Bantam Books

Armahedi Mazhar. 2000. “Mencari Kesatuan dalam Kemajemukan Realitas” dalam Fazlur Rahman, Filsafat Shadra. Bandung: Pustaka.

http://suarakritingfree.blogspot.com/2012/10/realitas-dalam-filsafat-sains-dan-agama.html