Proses Audit Sektor Publik

*Ahmad Zainuddin

Proses auditing yang dilakukan pada organisasi sektor publik memiliki beberapa konsep dasar. Konsepsi auditing merupakan hal yang harus dilakukan saat pelaksanaan proses audit. Adapun konsepsi yang dimaksud adalah:

  • Pembuktian (evidence) yang cukup.

Bukti yang digunakan dalam proses audit merupakan bukti valid yang memenuhi syarat formil dan materiil

  • Memeriksa dengan hati-hati (due audit care).

Pemeriksaan yang dilakukan selama proses audit harus menggunakan kecermatan secara profesional sesuai keahliannya

  • Penyajian yang wajar (fair presentation)

Konsep audit penyajian yang wajar berkaitan dengan ketepatan akuntansi  (accounting propriety), pengungkapan yang cukup (adequate disclosure), dan kewajiban pemeriksaan (audit obligation)

  • Bebas, mampu bertindak jujur dan objektif (independence) terhadap fakta dan penyajiannya.
  • Berbuat/bertindak sesuai dengan kode etik (ethical conduct) sesuai dengan etika profesi akuntan

Secara umum, proses audit terdiri dari tiga langkah yakni perencanaan (planning), pelaksanaan (executing), dan pelaporan (reporting). Langkah yang sama juga dilakukan dalam proses audit sektor publik.

Perencanaan Audit

Perencanaan audit merupakan tahap yang vital dalam audit. Perencanaan audit yang matang akan sangat menentukan kesuksesan audit. Perencanaan audit yang baik merupakan faktor penting bagi bukti audit yang cukup dan kompeten pendukung isi laporan audit.

Proses perencanaan audit di sektor publik pada umumnya meliputi tahapan sebagai berikut:

  1. Pemahaman atas sistem akuntansi keuangan sektor publik.
  2. Penentuan tujuan dan lingkup audit
  3. Penilaian risiko
  4. Penyusunan rencana audit (audit plan)
  5. Penyusunan program audit.

Pelaksanaan Audit

Pelaksanaan audit adalah pekerjaan mengumpulkan atau memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti. Sebagian besar waktu yang digunakan dalam pekerjaan audit sebenarnya tercurah pada perolehan atau pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti. Bukti-bukti tersebut digunakan untuk mengevaluasi sistem pengendalian internal. Evaluasi sistem pengendalian internal dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap bukti yang terkumpul. Pengujian dapat dilakukan dengan dua cara:

  1. Pengujian dengan prosedur analitis seperti pengujian substantif. Prosedur analitis dilakukan bila ada dugaan bahwa sistem pengendalian internal yang berjalan dalam organisasi buruk.
  2. Pengujian yang bersandar pada pengendalian internal pengujian substantif. Pengujian yang bersandar pada pengendalian internal dapat dilakukan apabila pengendalian internal yang berjalan di organisasi sektor publik berlangsung baik

Hasil dari pengujian yang dilakukan terhadap bukti transaksi tersebut adalah kertas kerja. Kertas kerja inilah yang kemudian dilakukan oleh auditor atau pengawas sebagai dasar untuk melakukan analisis sistem pengendalian internal yang berjalan pada organisasi dan kemudian membuat laporan hasil audit sektor publik.

Pelaporan Hasil Pelaksanaan Audit

Pelaporan audit dilakukan berdasarkan hasil analisis terhadap kertas kerja yang sudah dibuat pada proses pelaksanaan audit. Informasi yang diperoleh dari analisis hasil audit kemudian disusun menjadi laporan audit dan laporan hasil pemeriksaan. Ada beberapa tipe laporan audit yaitu:

  1. Laporan audit tahunan (annual audit report)
  2. Laporan audit triwulanan (three months audit report)
  3. Laporan kemajuan kinerja bulanan (monthly progress report)
  4. Laporan survei pendahuluan (preliminary survey report)
  5. Laporan audit interim (interim audit report)

Penyajian laporan audit memiliki banyak tujuan, yaitu:

  1. Merekomendasikan perubahan
  2. Mengomunikasikan temuan (finding) dalam audit baik berupa penyimpangan maupun salah saji
  3. Untuk memastikan bahwa pekerjaan auditor telah benar-benar didokumentasikan
  4. Untuk memberikan keyakinan (assurance) kepada manajemen mengenai aktivitas mereka
  5. Menunjukkan kepada manajemen bagaimana masalah mereka dipecahkan

 

Objek Audit Sektor Publik

*Ahmad Zainuddin

Agar proses audit menjadi satu bagian yang dapat dipahami, suatu definisi atas objek audit sektor publik, diperlukan. Audit sektor publik sangat berkepentingan dengan aktivitas entitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini merupakan perhatian utama audit sektor publik selama pelaksanaan pekerjaan audit.

Objek audit lainnya adalah pengorganisasian entitas. Pengorganisasian disini meliputi dua aspek, yaitu bagaimana hubungan eksternal dan hubungan internal yang ada di dalam organisasi. Dalam aspek hubungan eksternal, auditor harus familiar dengan klien-klien organisasi. Pemahaman atas aspek hubungan eksternal ini dapat mmberikan auditor data-data yang dapat dipertanggungjawabkan yang disajikan dalam laporan keuangan.

Aspek hubungan internal suatu organisasi, atau dapat juga disebut sebagai struktur organisasi, juga menjadi perhatian utama auditor. Struktur organisasi adalah divisi kerja dalam organisasi dan orang-orang yang melakukan pekerjaan dalam divis tersebut. Kelemahan di dalam struktur organisasi internal dapat menyebabkan terjadinya perekaman akuntansi yang tidak tepat, menyesatkan dan mungkin menimbulkan kecurangan.

Aspek Keuangan

Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan keuangan tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Aspek Kinerja

Aspek kinerja adalah objek pemeriksaan atas pengelolaan keuangan Negara yang terdiri dari pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan pemeriksaan aspek kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan serta pegendalian internal. Pemeriksaan aspek kinerja dilakukan secara objektif dan sistematik terhadap berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa. Pemeriksaan aspek kinerja menghasilkan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja suatu program dan memudahkan pengambil keputusan bagi pihak yang bertanggungjawab untuk mengawasi dan mengambil tindakan koreksi serta meningkatkan pertanggung-jawaban publik.

Tujuan pemeriksaan yang menilai hasil dan efektivitas suatu program adalah mengukur sejauh mana suatu program mencapai tujuannya. Tujuan pemeriksaan yang menilai ekonomi dan efisiensi berkaitan dengan apakah suatu entitas telah menggunakan sumber dayanya dengan cara yang paling produktif dalam mencapai tujuan program. Contoh tujuan pemeriksaan atas hasil dan efektivitas program serta pemeriksaan atas ekonomi dan efisiensi adalah penilaian atas:

  1. Sejauh mana tujuan peraturan perundang-undangan dan organisasi dapat dicapai
  2. Kemungkinan alternatif lain yang dapat meningkatkan kinerja program atau menghilangkan faktor-faktor yang menghambat efektivitas program
  3. Perbandingan antara manfaat dan biaya atau efektivitas biaya suatu program
  4. Sejauh mana suatu program mencapai hasil yang diharapkan atau menimbulkan dampak yang tidak diharapkan
  5. Sejauh mana program berduplikasi, bertumpang tindih, atau bertentangan dengan program lain yang sejenis
  6. Sejauh mana entitas yang diperiksa telah mengikuti ketentuan pengadaan yang sehat
  7. Validitas dan keandalan ukuran-ukuran hasil dan efektivitas program, atau ekonomi dan efisiensi
  8. Keandalan, validitas, dan relevansi informasi keuangan yang berkaitan dengan kinerja suatu program.

 

 

Bukti, Asersi, dan Sampel

*Ahmad Zainuddin

Bukti adalah segala informasi yang mendukung angka-angka atau informasi lain yang disajikan dalam laporan keuangan yang dapat digunakan auditor sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya. Standar pekerjaan lapangan ketiga mewajibkan auditor untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan kompeten sebagai dasar bagi auditor untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diauditnya.

Sebagian besar pekerjaan auditor independen dalam rangka memberikan pendapat atas laporan keuangan terdiri dari usaha untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit. Bukti audit sangat bervariasi pengaruhnya terhadap kesimpulan yang ditarik oleh auditor independen dalam rangka memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan. Relevansi, objektivitas, ketepatan waktu dan keberadaan bukti lain yang menguatkan kesimpulan, seluruhnya berpengaruh terhadap kompetensi bukti.

Asersi adalah pernyataan manajemen yanvg terkandung di dalam komponen laporan keuangan. Asersi adalah suatu deklarasi, atau suatu rangkaian deklarasi secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggungjawab atas deklarasi tersebut. Jadi asersi adalah pernyataan yang dibuat oleh satu pihak yang secara implisit dimaksudkan untuk digunakan oleh pihak lain (pihak ketiga). Untuk laporan keuangan historis, asesri merupakan pernyataan dalam laporan keuangan oleh manajemen sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pernyataan tersebut dapat bersifat implisit atau eksplisit serta dapat diklasifikasikan berdasarkan penggolongan besar sebagai berikut

Asersi tentang keberadaan atau keterjadian. Berhubungan dengan apakah aktiva atau uang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu.

Asersi tentang kelengkapan. Berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan telah dicantumkan didalamnya.

Asersi tentang hak dan kewajiban. Berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban  organisasi pada tanggal tertentu.

Asersi tentang penilaian dan alokasi. Berhubungan dengan apakah komponen-komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan biaya sudah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah semestinya.

Asersi tentang penyajian dan pengungkapan. Berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu dalam laporan keuangan diklasifikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan semestinya.

Dalam program audit, berbagai keputusan terkait bukti audit adalah:

  1. Daftar atas berbagai prosedur audit untuk audit tertentu atau untuk keseluruhan proses audit
  2. Mencakup ukuran sampel, item yang dipilih, waktu pelaksanaan pengujian
  3. Setiap komponen audit akan terdapat suatu program audit yang mengandung sejumlah prosedur audit.

Selain itu, dalam program audit, keputusan untuk menentukan jenis dan jumlah bukti audit, antara lain:

  1. Prosedur audit apakah yang akan digunakan

Prosedur audit: rincian instruksi untuk pengumpulan jenis bukti audit yang diperoleh pada saat berlangsungnya proses audit

  1. Ukuran sampel sebesar apakah yang akan dipilih untuk prosedur tertentu.

Ukuran sampel bagi setiap prosedur berbeda antara satu penugasan dengan penugasan audit lainnya

  1. Item manakah yang akan dipilih dari populasi

Berdasarkan ukuran sampel, ditentukan item dari populasi yang akan diuji.

  1. Kapankah berbagai prosedur itu akan dilakukan
  • Umumnya proses audit dilaksanakan setelah beberapa minggu atau beberapa bulan setelah berakhirnya suatu periode waktu
  • Dipengaruhi oleh kapan audit tersebut harus diselesaikan agar sesuai dengan kebutuhan klien.

Ukuran sampel sebesar apakah yang akan dipilih untuk prosedur tertentu.

Ukuran sampel bagi setiap prosedur berbeda antara satu penugasan dengan penugasan audit lainnya.

Kompetensi Bukti:

  • Tingkat dimana bukti tersebut dapat dipercaya atau diyakini kebenarannya (keterpercayaan bukti/ reliability of evidence)
  • Tidak dapat ditingkatkan dengan cara memperbesar ukuran sampel atau mengambil item lainnya dari suatu populasi.

Faktor yang memengaruhi kecukupan ukuran sampel:

  • Ekspektasi auditor atas kemungkinan salah saji
  • Efektivitas dari pengendalian internal klien

 

 

Teori Kritis Habermas

*Suhartono

“ Representasi atas kepentingan termasuk bagian dari kepentingan itu sendiri”

– Jurgen Habermas –

Sebagaimana telah dirumuskan kembali oleh Habermas, Teori Kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah’ sebagaimana dikenal secara luas di kenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas melukiskan Teori Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta obyektif seperti dianut teori-teori positivis. Teori Kritis hendak menembus realitas sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa Teori Kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual. Degan demikian Teori Kritis tidak hendak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris.

Critical accounting study adalah suatu studi yang mempunyai tujuan ganda, yaitu memahami suatu praktik akuntansi dimana ia diterapkan dan sekaligus berusaha untuk menemukan suatu pemecahan ke arah penyempurnaan praktik akuntansi itu sendiri. Habermas dikenal dengan teorinya, yaitu The Theory of Communicative Action yang sering digunakan untuk menganalisis interaksi sosial melalui pemisahan dua interaksi mendasar, yaitu: (1) interaksi berdasarkan kebutuhan sosial (lifeworld); dan (2) interaksi yang dipengaruhi oleh mekanisme sistem (system mechanism). Sawarjuwono (2005), menyebutkan bahwa interaksi sosial yang termasuk dalam konsep lifeworld adalah aktivitas sosial yang dilakukan tanpa adanya unsur keterpaksaan dan terjadi dalam suasana communicative action. Sementara itu, interaksi sosial yang termasuk dalam konsep system mechanism, adalah aktivitas sosial yang dilakukan karena adanya unsur keterpaksaan dan terjadi tidak dalam suasana communicative action, karena dipengaruhi oleh steering media, yaitu media money (pertimbangan ekonomis) dan media power (peraturan).

Dalam konteks masyarakat industri maju, Teori Kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas untuk membuka ‘kedok’ ideologis dari positivisme. Positivisme bukan sekedar pandangan positivistis mengenai ilmu pengetahuan  melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai ‘cara berpikir’ yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri  maju. Dari keseluruhan keprihatinannya atas permasalahan rasionalitas zaman ini, dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, Teori Kritis berusaha untuk mengatasi saintisme atau positivisme.  Pada taraf teori sosial, kritik itu dibidikkan ke arah berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif. Pada kedua taraf itu saling mengandaikan, seperti dinyatakan Habermas: “… suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori social”. Pemahaman positivisme atas ilmu-ilmu sosial mengandung relevansi politik yang sama beratnya dengan klaim-klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi dalam melanggengkan status quo masyarakat. Sebaliknya, interaksi social sendiri  diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positivistis yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasionalitas teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di sini teori mendorong praxis hidup politis manusia.

Meskipun terdapat garis umum yang sama, Teori Kritis itu cukup bervariasi dalam gaya dan isinya menurut pemikirannya masing-masing, entah itu Horkheimer, Adorno atau Marcuse.  Sementara Teori Kritis menurut Habermas secara khusus mempebaharui Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang mengalami jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya, untuk mengadakan perubahan-perubahan structural secara radikal, Habermas merumuskan kepribatinan itu secara baru. Perubahan itu tidak dapat dipaksakan secara revolusioner melalui ‘jalan kekerasan’, juga tak dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan revolusioner melalui kekerasan hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi pada rezim Stalin. Di lain pihak, masyarakat memang tidak akan berubah selama angggota-anggotanya menunggu datangnya perubahan bagaikan menunggu terjadinya gerhana. Menurut Habermas – dan inilah gagasan orisinalnya — transformasi social perlu diperjuangkan melalui ‘ dialog-dialog emansipatoris’ . Hanya melalui ‘jalan komunikasi’ dan bukan melalui ‘jalan dominasi’ inilah diutopikan terwujudnya suatu masyarakat demokratis radikal, yaitu masyarakat yang berinteraksi dalam susasana ‘komunikasi bebas dari penguasaan’.

Jurgen Habermas adalah sosok filsuf pewaris pemikiran Madzhab Frankfrut. Pemikiran-pemikirannya cukup rumit dan sarat dengan rujukan metafora tapi sangat filosofis. Narasi besar pemikirannya bertumpu pada usaha pencarian sebuah teori yang secara memadai merumuskan syarat-syarat nyata perwujudan sebuah masyarakat yang bebas dari penindasan. Ia mencoba mengembangkan sebuah teori kritis. Madzhab Habermas ini terkenal dengan “Teori Kritis” atau “Teori Kritis Masyarakat” yang melemparkan sebuah kritikan serius terhadap konsep teori Positivisme dan menyebut positivisme itu sebagai saintisme karena mengadopsi metode ilmu-ilmu alam untuk menggagas unified science. Dikatakan bahwa positivisme hanya berpura-pura bertindak objektif dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, padahal ia menyembunyikan kekuasaan dengan mempertahankan status Quo masyarakat dan tidak mendorong perubahan.

Teori kritis juga mampu membongkar kedok rasionalitas pencerahaan yang disebut rasionalitas instrumental itu telah gagal mencapai tujuan emansipatifnya yaitu membebaskan manusia dari perbudakan serta membangun kehidupan masyarakat independent yang bebas untuk mengatur kehidupan sosialnya sendiri. Kegagalan teori kritis generasi pertama lebih disebabkan terperangkap atas teori filosofis Karl Marx yang mereduksi manusia hanya sebagai makhluk pekerja. Kemudian Jurgen Habermas muncul sebagai pembaharu Teori Kritis dengan memperbaharui konsep paradigma komunikasi. Hal ini begitu nampak dengan langkah-langkah Habermas yang melakukan dialog-dialog Habermas dengan Foucoult tentang kekuasaan, dengan Parson tentang krisis sosial, dengan Popper mengenai falsifikasi dan yang terakhir bagaimana Habermas merumuskan hermeneutika kritis yang mengadopsi psikoanalisa untuk menggabungkan explanation dan understanding yang mengarah pada metode refleksi diri. Oleh karena itulah teori kritis ini mampu diterapkan dalam berbagai studi sosial seperti penelitian sosial kritis, kebijakan Negara dan kebijakan sosial, kontrol sosial, budaya pop analisa wacana dan media massa, kajian jender, psikologi sosial, sosiologi pendidikan, gerakan sosial, metode penelitian, ras dan etnisitas, politik mikro, pendidikan, serta pembaharuan sosiologi. Pada hakekatnya teori kritis ini memiliki empat karakter utama yaitu :

  1. Teori kritis bersifat historis, artinya teori kritis dilambangkan berdasarkan situasi masyarakat yang kongkrit dan kritik imanen yaitu kritik terhadap masyarakat yang nyata-nyata tidak manusiawi
  2. Teori kritis bersifar kritis terhadap dirinya sendiri dengan cara evaluasi, kritik dan refleksi atas dirinya sendiri
  3. Teori kritis menggunakan metode dialektis sehingga teori kritis memiliki kecurigaan terhadap situasi masyarakat aktual
  4. Teori kritis adalah teori dengan maksud praktis yaitu teori yang mendorong transformasi masyarakat dan hanya mungkin dilakukan dalam praxis.

Sejarah Hidup Jurgen Habermas dan Karya Besarnya

Jurgen Habermas dilahirkan pada tahun 1929 di Dusseldorf Jerman. Ia mempelajari filsafat di Universitas Got tingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for social Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan Sejarah dalam pemikiran Schelling.

Jurgen Habermas adalah salah seorang tokoh dari Filsafat Kritis. Ciri khas dari filsafat kritisnya adalah, bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Filsafat ini tidak mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni. Pemikiran kritis merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata

Sementara ia melibatkan diri di dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitations-Schrift yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat.

Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut. Seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left) , meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Dalam hal ini ia mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse. Namun sejak tahun 1970-an, hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya, Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif.

Memetakan Pemikiran Habermas

Untuk memahami pemikiran JURGEN Habermas terlebih dahulu harus dipahami latar belakang yang mempengaruhi teori-teori pemikirannya. Bisa dipastikan bahwa Habermas sangat dipengaruhi oleh warisan intelektual Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan Teori Kritisnya, sejak tahun 30-an Habermas sudah tertarik dan mengkaji gaya karya-karya Hokheimer dan Adorno. Ternyata dikemudian hari teori Mazhab Frankfrut ini tidak saja menentukan gaya pikir dan isi teori-teorinya namun lebih jauh Habermas juga melakukan semacam pembaharuan atas kelemahan teori kritis itu terutama dengan melihat pesimisnya pendahulunya dalam memandang dunia modern. Disebut Teori Kritis karena mazhab pemikiran ini dikenal sangat getol mensosialisasikan suatu gaya berpikir analisis.

Kritik adalah konsep kunci untuk memahami Teori Kritis. Kritik juga merupakan suatu program bagi Mazhab Frankfrut untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masayarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya. Habermas dikenal sebagai pembaharu tradisi intelektual yang dirintis oleh Max Horkheimer, sepanjang yang dirumuskan habermas ada enam tema dalam program teori mereka :a) bentuk-bentuk integrasi sosial, b)Masyarakat postliberal c) Sosialisasi dan perkembangan ego, d)media massa dan kebudayaan massa, e)psikologi sosial protes dan f)Teori seni dan kritik atas positivism

Habermas dan Para Pendahulunya

Jauh sebelum menggabungkan diri di dalam Institut, Habermas telah membaca karya-karya Hokheimer dan Adorno di tahun 30-an, antara lain Traditionelle und Kritische Theorie, tetapi juga karya mereka yang diterbitkan sertelah perang, Dialektik der Aufklarung. Buku-buku tersebut sangat mempengaruhi gaya dan alur pemikiran-pemikiran Habermas selanjutnya. Dialektik merupakan kritikan terhadap pemikiran positivisme yang (menurut Marcus, 1964) dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang setelah penemuan metode empiris-eksperimental sebagaimana dituntut oleh positivisme, telah berubah menjadi ideologi dan menimbulkan model berpikir satu dimensi. Dari penelusuran dan analisis terhadap pemikiran modern (pencerahan) itu, mereka menyimpulkan bahwa pencerahan telah menghasilkan “rasionalitas bertujuan” (Zweckrasionalitat) yang ujung-ujungnya menimbulkan bentuk positivisme, saintisme serta teknokratisme. Buku dialektik tidak hanya memikat hatinya, melainkan juga menggugah minatnya untuk memperdalam permasalahan pokok yang dibahas di dalamnya, yaitu masalah rasionalitas dan pencerahan, yang oleh Adorno dan Horkheimer dihadapi secara pesimistis. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Habermas, yang oleh Bertens dinyatakan:

“ Buku itu (Dialektik) membuat saya berani untuk membaca Marx secara sistematis dan tidak hanya secara historis. Teori Kritik Mazhab Frankfrut- tak ada tandingannya waktu itu. Membaca Adorno membuat saya berani membahas secara sistematis apa yang secara historis dipaparkan oleh Lukacs dan Korsch : Teori reifikasi sebagai teori rasionalisasi menurut Weber. Sudah sejak saat itu, masalah saya adalah teori tentang modernitas, suatu teori mengenai patologi modernitas dari sudut pandang realisasi-realisasi yang bercatat –dari rasio dalam sejarah”

Dialektik der Aufklarung, bertendensi pada keinginan untuk mencerahkan, memberikan cahaya dan pengertian, atau ingin membebaskan manusia dari prasangka, kepercayaan-kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, takhayul, penipuan dan kebohongan , yang berujung menjadi jembatan keprihatinan antara Habermas dan para pendahulunya dalam menyusun Teori Kritisnya. Seperti kita ketahui, para pendahulunya memandang pencerahan telah membuahkan Zweckrationalitat (Rasionalitas Tujuan), sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme, teknokratisme dan barbarisme gaya baru. Pandangan mereka mengenai rasionalitas modern itu tak lain merupakan radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi versi Teori Kritis setelah banyak mendapat inspirasi dari Lukacs. Seperti yang kita ketahui dari kritik-kritik mereka teori rasionalisai tidak hanya menyangkut analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Habermas juga meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah kemanusiaan pada umumnya. Keprihatinannya terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat analisis baik atas rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup sosial. Satu hal yang membedakannya dari para pendahulunya menghadapi rasionalisasi adalah sikapnya terhadap masalah ini. Jika para pendahulunya menghadapi rasionalisasi secara pesimistis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru, Habermas menemukan aspek-aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada harapan real yang dapat ditempatkan dalam konteks rasionalisasi. Meskipun demikian, tidak seperti Adorno dan Horkheimer, Habermas menolak teori Marx sebagai teori, seperti juga pesimisme kultural yang ada pada generasi pertama dari Mazhab ini. Habermas yakin bahwa generasi pertama mazhab ini keliru saat mengacaukan “rasionalitas sistem” dengan “rasionalitas aksi”. Memang JURGEN Habermas sangat menekankan signifikansi rasionalitas dalam pemikiran filsafatnya. Hal ini menjadi sumbangannya yang paling berharga bagi perkembangan teori sosial kontemporer. Ia disebut-sebut sebagai teoritikus sosial anggota Mazhab Pemikiran Frankfurt paling representative. Habermas merupakan generasi terkini dari para pengikut Mazhab ini. .

Sama seperti para pendahulunya, Habermas hendak membangun sebuah “teori dengan maksud praxis”, maka dalam banyak hal Habermas tidak dapat meninggalkan teori warisan dari Mazhab Frankfrut pendahulunya. Disini Habermas menghadapi masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai teknologi sosial. Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berpikir, merupakan factor yang penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia, yaitu kerja. Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. Meskipun Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, ia bersikap tegas terhadapnya apabila diterapkan dalam konteks interaksi sosial. Di sini seperti para pendahulunya, ia mengecam positivisme sebagai “ideologis” dan saintisme karena positivisme mengkalim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang, termasuk kehidupan social manusia.

Habermas dan Marxisme

Dalam konteks Marxisme pada umumnya, Habermas adalah seorang filsuf yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran Marxis, bukan hanya Marxisme-ortodoks, melainkan juga Neo-Marxisme pada umumnya. Seperti para pendahulunya ia bermaksud menyesuaikan warisan Marxis dengan tuntutan-tuntutan zaman ini, dan lebih melakukan kritik karena bagi Habermas karya Marx ini merupakan kritik, dengan jalan tidak hanya dengan mengupas karya-karya Marx tetapi juga melakukan penafsiran ulang dari penafsiran yang dilakukan oleh para penganut aliran ini. Corak penafsiran Habermas bersifat ilmiah dan filosofis, ia berusaha mengeliminir ciri-ciri romantis dari pemikiran Marx yang secara dominan mempengaruhi Adorno, Hokheimer dan Marcuse. Hal ini ia lakukan dengan tujuan Habermas ingin memurnikan pemikiran-pemikiran Marxis dari romantisme maupun positivisme yang dianut oleh partai-partai komunis dan cendekia marxis lainnya.

Menurut Habermas, apabila Marx hanya sebagai ilmuwan belaka maka para penganut ajaran marxisme akan jatuh kepada sikap positivistis yang sekaligus bersifat ideologis, positivistis karena, mereka mengambil begitu saja pernyataan-pernyataan Marx yang sebenarnya tidak lagi memiliki relevansi bagi masyarakat dewasa ini, dan dengan cara seperti ini teori-teori Marx itu dipalsukan dan menjadi dogmatisme, dan ideologis karena pemikiran-pemikiran Marx akan digunakan sebagai legitimasi praxis politis yang kebal dari argument-argumen lawan. Ideologi adalah ide-ide yang dipercaya sebagai alasan tindakan akan tetapi tidak pernah efektif sebagai motif tindakan, alasan Habermas adalah karena menggerakkan kelompok sosial sebenarnya adalah motif yang sengaja disembunyikan dan lama kelamaan tidak disadari lagi sebagai motif.

Di dalam tulisannya, Between Philosophy and Science : Marxism as Critique, ia memaparkan empat alasan histories mengapa konsep-konsep Marx di dalam kritik Ekonomi Politisnya tidak lagi relevan bagi keadaan zaman sekarang, yaitu :

  1. Bahwa pemisahan negara dan masyarakat yang menandai periode kapitalisme liberal sudah tidak relevan lagi. Politik tidak lagi merupakan superstruktur seperti dikira Marx dan masyarakat sendiri tidak lagi dapat dipandang secara simplisistis sebagai hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur politis.
  2. Di dalam masyarakat kapitalisme lanjut, standar hidup sudah berkembang sedemikian jauh sehingga revolusi tak dapat dikobarkan secara langsung dengan istilah-istilah ekonomis, kelas-kelas social juga semakin terintegrasi di dalam keseluruhan masyarakat dan berbagai bentuk penindasan semakin tersamar dan terorganisasikan. Deprivasi yang dalam masyarakat kapitalis liberal dirasakan oleh kaum buruh, dewasa ini tidak hanya dirasakan oleh kelas tertentu saja. Dalam konteks itu, teori kelas tak dapat dijadikan dasar untuk membangun teori revolusioner.
  3. Karena kondosi-kondisi semacam itu, kaum proletar tidak dapat dijadikan tumpuan harapan-harapan sebagai pengemban revolusi sejati. Perjuangan kelas dalam level Negara nasional telah distabilisasikan dan sebagai gantinya terjadilah persaingan keras antara “kubu kapitalis” dan “kubu sosialis”, pada level internasional.
  4. Dengan bangkitnya Negara komunis Uni Soviet, diskusi sistematis sekitar Marxisme dipadamkan dan sebagai gantinya konsep-konsep Marxisme ortodoks membuktikan dirinya menjadi ideology. Jalan sosialis yang ditempuh Uni Soviet sendiri jauh dari kenyataan terwujudnya masyarakat bebas yang dicita-citakan oleh Karl Marx sendiri.

Kritik atas Rasionalisasi

Menurut Habermas, rasionalitas-yakni, kemampuan berpikir logis dan analitis-lebih dari sekedar kalkulasi strategis bagaimana mencapai beberapa tujuan yang telah dipilih. Alih-alih, rasionalitas merupakan sebentuk “tindakan komunikatif” yang diorientasikan untuk mencapai kesepakatan atau konsensus dengan orang lain. Jadi menurutnya,adalah suatu hal yang sangat penting bahwa dalam menggunakan bahasa berarti kita berpartisipasi di dalam apa yang menurut Habermas disebut “Situasi pembicaraan yang ideal” atau “komunikasi dialogis-emansipatoris bebas kekuasaan”. Dalam situasi seperti ini masyarakat akan mampu menghindari penggunaan klaim-klaim politik dan moral dan mendasarkan diri semata pada rasionalitas.

Dalam pandangannya Habermas mengukur rasionalitas itu dengan mengajukan kriteria tentang pandangan dunia terhadap dinamika sebuah masyarakat dan menjelaskan proses-proses belajar mana yang mengembangkannya. Jika Karl Marx menemukan adanya hubungan lurus antara perkembangan alat-alat produksi, terhadap masyarakat, namun bagi Habermas tak ada garis lurus antara perkembangan teknologi dengan pemahaman diri masyarakat, melainkan sebaliknya, yaitu perkembangan alat-alat produksi itu datang belakangan. Magnis-Suseno mencontohkan dengan keberadaan agama islam, bahwa agama islam itu tidak lahir karena adanya cara produksi masyarakat Arab waktu itu, melainkan karena terjadi perubahan politik dan ekonomi masayarakat Arab dalam abad ke-7 masehi.

Kritik atas Paham Positivisme

Konsep ilmu pengetahuan dan kepentingan adalah konsep sentral yang dikemukakan Habermas dalam melakukan kritikan terhadap paradigma psoitivisme, akibat klaim teori positivisme yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, seperti halnya yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Para pendukung positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat kontemplatif dan affirmatif, oleh karena itu metode yang dipakai ilmu-ilmu alam tidak berbeda dan dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Artinya jika ilmu-ilmu sosial ingin diterima sebagai ilmu pengetahuan harus dapat menghasilkan hukum-hukum umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti didalam ilmu-ilmu alam.

Bagi positivisme sebuah riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun. Seorang ilmuwan dan peneliti harus mampu meninggalkan rasa perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya dan penilaian-penilaian moralnya atau singkatnya segala kepentingannya itu untuk mendekati objek penelitian sosialnya sehingga diperoleh “pengetahuan Objektif” tentang kenyataan sosial atau fakta sosial.

Hokhiemer dan Adorno telah mengembangkan pendekatan kritis dan materialistik itu menjadi kritik menyeluruh terhadap masyarakat industri barat, semakin maju masyarakat industri modern menjadi masyarakat konsumsi berlimpah serta berhasil melarutkan pertentangan-pertentangan antar kelas sosial mengakibatkan masyarakat itu semakin bersifat total. Hal ini dalam pandangan teori kritis masyarakat sebagai akibat dari dominasi prinsip dasar kapitalisme yaitu prinsip tukar. Akan tetapi kekuasaan halus prinsip tukar itu juga semakin total sehingga setiap usaha-usaha untuk pembebasannyapun justru semakin memperkuatnya. Akibatnya Horkheimer dan Adorno bersikap semakin pesimistik. Berbeda dengan gaya berfilsafat Habermas yang tidak mengikuti gaya berfilsafat kedua gurunya yang pesimistik itu, habermas tidak pesimistik, ia tidak mencurigai teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya Habermas menganggap teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai “aktor produktif terpenting” dalam bagian kedua abad ke-20. Dan untuk mengembangkan serta memantapkan teori kritis masyarakat secara teoritis justru memakai teori-teori ilmu pengetahuan yang paling canggih.

Habermas sebagai Pembaharu Teori Kritis Melalui Paradigma Komunikasi dan Bahasa

Aksi komunikasi adalah sebuah bentuk interaksi yang tingkat keberhasilannya tergantung kepada ke dua belak pihak yang berinteraksi dalam mencapai persetujuan/kesepakatan dan saling pengertian, atau hubungan antara subyek dengan subyek (dialogis) dan bukan hubungan rasionalitas sasaran (monologis). Komunikasi dialogis ini masing-masing pihak berperan aktif, dimana semua pihak mengambil alih peran orang lain sehingga terjadi apa yang disebut Mead “ideal role-taking”. Pada komunikasi dialogis ini saling pengertian dapat tercapai, sehingga Habermas menamakan dengan Rasionalitas komunikatif. Teori Aksi komunikasi Habermas terbagi menjadi speech-act philosophy filsafat seni pembicaraan, sosiolinguistik, dan khususnya dari ide keterlibatan percakapan (the idea of conversational implicature ).

Menurut Habermas, interaksi antar manusia dapat dimediasikan secara simbolis lewat bahasa dan gesture tubuh yang ekspresif (mengandung makna) , sedangkan hakekat bahasa adalah komunikasi, dan komunikasi hanya mungkin dilakukan dalam keadaan saling bebas, karena tujuan komunikasi adalah menjalin saling pengertian, oleh karena itu rasionalitas dalam bahasa harus menjadi pusat perhatian. Komunikasi dalam bahasa akan berhasil jika memenuhi empat norma atau klaim yaitu:

  1. Pertama, Jelas, artinya orang dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud
  2. Kedua, Ia harus benar, artinya mengungkapkan apa yang mau diungkapkan
  3. Ketiga, Ia harus jujur, jadi tidak boleh bohong
  4. Keempat, Ia harus betul, sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama.

Dunia-hidup (lifeworld) adalah sebuah konsep yang semula digunakannoleh Alfred Schutz untuk merujuk dunia kehidupan sehari-hari. Schutz terutama mengkaitkannya dengan hubungan-hubungan intersubjektif dalam dunia hidup, namun Habermas memiliki suatu ketertarikan yang berbeda tentang dunia hidup. Habermas pada pokoknya mengkaitkannya dengan komunikasi antar pribadi yang terdapat dalam dunia hidup. Secara ideal, komunikasi tersebut meski bebas dan terbuka, dan tidak ada tekanan. Bagi Habermas komunikasi yang bebas dan terbuka berarti suatu rasionalisasi dalam dunia-hidup. Sekalipun konsep rasionalisasi telah digunakan dalam maknanya yang negatif, dan dalam konteks lain Habermas akan menggunakannya secara demikian, dalam lingkup terbatas dunia-hidup dan komunikasi, rasionaliasasi memiliki konotasi positif. Yang berinteraksi dengan yang lain akan secara rasional termotivasikan untuk menerima komunikasi yang bebas dan terbuka, mengarah pada kesalingpahaman. Metode rasional akan digunakan untuk menerima konsensus. Konsensus akan muncul pada, dan dipahami dapat dicapai , bilamana argument yang lebih baik menang. Dengan kata lain, kekuatan-kekuatan luar seperti kekuasaan yang lebih besar dari partai tidak akan berperan dalam pencapaian konsensus. Orang-orang memperdebatkan issue-issue dan konsensus dicapai hanya berdasarkan pada argumentasi yang paling baik.

Bagi Habermas terdapat tiga dimensi dunia-hidup, yakni: dunia objektif yang merepresentasikan fakta-fakta yang independen dari pemikiran manusia dan berfungsi sebagai titik referensi umum untuk menentukan kebenaran; dunia sosial yang terdiri dari hubungan-hubungan intersubjektif; dan dunia subjektif dari pengalaman pribadi. Bagi Habermas, pribadi yang dapat memilah tiga aspek dari pengalaman dan perspektif yang melibatkan mereka, mencapai suatu pemahaman ‘tak terpusat’ (decentered) dari dunia hidup. Ketidak-berpusatan membawa orang untuk membedakan persoalan kebenaran, keadilan, dan rasa secara baik sesuai dengan pandangan-pandangan objektif, sosial, dan subjektif (Habermas, 1990: 133-141).

Habermas dan Pandangan atas Agama

Habermas berargumen bahwa ada satu kemiripan tajam antara tipe-tipe tertentu dalam tradisi budaya Yahudi dengan idealisme Jerman, yang akarnya seringkali dipandang berasal dari Pietisme Protestan. Suatu kemiripan penting, yang krusial khususnya bagi pemahaman Teori Kritis, adalah ide Cabalistic lama bahwa tuturan, ketimbang gambar, adalah satu-satunya cara untuk mendekati Tuhan. Jarak antara agama bahasa Ibrani, bahasa sakral, dan tuturan profane dalam Kitab Pelarian (satu kitab dalam perjanjian lama) berimbas kepada orang yahudi yang tidak percaya kepada dunia wacana terkini. Hal ini karena sejalan dengan kritik idealis terhadap realitas empiris,yang mencapai puncaknya pada dialektika Hegelian. Meskipun orang tidak dapat membuat batas tegas antara para pendahulu yahudi di Mazhab Frankfurt dengan teori dialektikanya.

Habermas mengatakan, bahwa globalisasi terjadi karena adanya kepentingan pasar antar industri transnasional, tetapi meskipun keadaan ini mampu membuat infrastruktur baru secara sosial kepada masyarakat, kemampuan negara dalam memberikan kesadaran baru masyarakat itu sangat minim. Disinilah agama memegang peranan penting dalam sebagai peacemaker secara mental.

Habermas dan Ilmu Pengetahuan

Titik tolak kritikan Habermas terhadap ilmu pengetahuan berawal dari pandangan jika ilmu pengetahuan telah mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan bahwa dalam kesulitan hidup dewasa ini, ternyata ilmu pengetahuan tidak memberikan nasehat apa-apa kepada masyarakat, artinya ilmu pengetahuan sepanjang dari praktek hidup sehari-hari.

Posisi teori dalam ilmu pengetahuan menduduki tempat penting untuk menjelaskan realitas karena pengetahuan dirumuskan kedalam dan diperoleh lewat teori. Dalam ilmu pengetahuan modern kata teori sudah kehilangan makna, oleh karena itu Habermas mengadakan penelitian genetik tentang konsep teori. Lalu ia kemudian mengembalikan konsep teori itu pada asal katanya “theoria” yang artinya kata ini sudah sangat tua dan berakar pada kosmologi dan tradisi religius yunani purba dengan melakukan kontemplasi seorang filsuf lalu memandang atau menatap kosmos yang bergerak teratur dan membuat lukisan-lukisan didalam dirinya. Dia meniru kosmos atau melakukan mimesis (meniru), dengan cara itu teori atau kontemplasinya itu mengarahkan tingkah lakunya .sampai pada tahap teori dalam pengertian kuno itu terkait dengan praxis. Dalam filsafat yunani Bios Theoritikos menunjukkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup (way of life). Menurut habermas, konsep kuno itu menjadi dasar ontologi, dan dengan kontemplasi seorang filosof dapat memisahkan unsur-unsur yang tetap dan unsur-unsur yang selalu berubah. Usaha untuk menemukan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi. Apa yang ingin dicapai ontologi adalah penjelasan objektif tentang seluruh realitas atau dengan kata lain teori murni. Dan satu hal yang menarik adalah bahwa Habermas mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni itu dengan proses emansipasi. (husser mengatakan bahwa krisis disebabkan ilmu pengetahuan tidak lagi menganut konsep klasik tentang teori itu, sebaliknya Habermas mengatakan sebaliknya bahwa krisis itu terjadi karena ilmu pengetahuan menganut konsep yang klasik itu.

 

Referensi

Dewi, I Gusti Ayu Agung Omika. 2010. Dialektika dan Refleksi Kritis “Sustainability” dalam Praktik Sustainability Reporting: Sebuah Narasi Habermas. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Vol.7 No.2, hal. 139-152.

Sawarjuwono, Tjiptohadi. 2005. Bahasa Akuntansi dalam Praktik: Sebuah Critical Accounting Study. Jurnal Tema No.2, hal.89-110.

Sudrajat, Ajat. 2014. Jurgen Habermas: Teori Kritis dengan Paradigma Komunikasi. Jurnal Tidak Terpublikasi.

Tjahyadi, Sindung. 2003. Teori Kritis Jurgen Habermas: Asumsi-Asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritik. Jurnal Filsafat, Jilid 34 No. 2 hal. 180-197.

http://valahulalam.blog.walisongo.ac.id/2013/12/07/pemikiran-filsafat-teori-kritis-jurgen-habermas/

http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2013/05/16/mengenal-teori-kritis-habermas/

Phenomenology

*Suhartono

Istilah Fenomenologi

Husserl (1913) argued that phenomenology did not deny the existence of the real world, but sought instead to clarify the sense of this world (which everyone accepts) as actually existing. Husserl berpendapat bahwa fenomenologi tidak menyangkal keberadaan dunia nyata, tetapi berusaha bukan untuk memperjelas memahami dunia ini (yang semua orang menerima) sebagai sesuatu yang benar-benar ada.

McPhail (1995) Phenomenology is a philosophical movement that approaches study of human beings and their culture differently from the logical positivist model used in the natural sciences and in special education. phenomenologist view the applications of the logical positivist model to the study of human beings as inappropriate because the model does not address the uniqueness of human life. Fenomenologi adalah sebuah gerakan filosofis dengan pendekatan studi tentang manusia dan budaya mereka yang berbeda dengan model positivis logis yang digunakan dalam ilmu alam dan pendidikan khusus. fenomenolog melihat aplikasi dari model positivis logis untuk mempelajari manusia  tidak patut karena modelnya tidak membahas keunikan kehidupan manusia.

Zahavi (1999) Phenomenology is characterized by a form of essentialism. It is not interested in a merely empirical or factual account of different phenomena, but seeks on the contrary to disclose the invariant structures of, for example, the stream of consciousness, embodiment, perception, etc. On the other hand, however, the point of departure for its investigation of the world and human existence remains factual existence. Phenomenology is not simply a form of essentialism, it is also a philosophy of facticity. Fenomenologi ditandai dengan bentuk esensialisme. Hal ini tidak hanya ditarik dalam akun empiris atau faktual dari fenomena yang berbeda, tetapi berusaha sebaliknya untuk mengungkapkan struktur invarian, misalnya, arus kesadaran, perwujudan, persepsi, dll. Di sisi lain, bagaimanapun, intinya keberangkatan untuk pemeriksaan atas dunia dan eksistensi manusia tetap eksistensi faktual. Fenomenologi bukan hanya bentuk esensialisme, juga merupakan filosofi faktisi.

Moran (2002) Phenomenology is best understood as a radical, anti-traditional style of philosophising, which emphasises the attempt to get to the truth of matters, to describe phenomena, in the broadest sense as whatever appears in the manner in which it appears, that is as it manifests itself to consciousness, to the experiencer. Moran (2002) Fenomenologi paling baik dipahami sebagai radikal, gaya anti-tradisional philosophising, yang menekankan upaya untuk mendapatkan kebenaran dari berbagai hal, untuk menggambarkan fenomena, dalam arti yang luas sebagai apa pun muncul dengan cara munculnya, yaitu sebagai manifestasi dirinya ke kesadaran, bagi mereka yang mempunyai pengalaman pengalaman.

Metode Fenomenologi

Husserl mengatakan bahwa kita perlu mengurangi kesadaran alam murni, sehingga apa yang kita dibiarkan adalah kerangka murni yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan pola pikir dan metodologi fenomenologi.

Prosedur bracketing sangat penting: pengurangan fenomenologis membantu kita untuk membebaskan diri dari prasangka dan mengamankan kemurnian detasemen sebagai pengamat, sehingga kita dapat menemukan “sesuatu sebagaimana adanya dalam diri mereka” secara independen dari segala pengandaian. Tujuan dari fenomenologi Husserl adalah deskriptif di kemudian, analisis terpisah dari kesadaran di mana objek, sebagai berkorelasinya dibentuk.

Husserl mengistilahkan bracketing atau pemutusan pertama kali dari ilmu alam dan kemudian berlanjut pada daftar hal-hal yang harus kita masukkan ke dalam tanda kurung: Tidak hanya ini, cara Husserl mensetting kita untuk memahamkan pola pikir kita sendiri berkaitan dengan kerasnya pengurangan fenomenal, tapi ia mengatakan bahwa ini memang metode yang dapat digunakan untuk penyelidikan kesadaran murni – apakah itu adalah obyek, mimpi atau memori; dan bahwa ada hubungan penting antara objek nyata dan pengalaman persepsi. Dia menyebutnya Noesis dan Noema.

Noesis dan Noema: hubungan ketergantungan antara objek nyata dan intinya (pengalaman persepsi). Noesis: isi yang sebenarnya, karakter yang nyata, bagian dari tindakan yang memberikan karakter ke benda. Noema: esensi ideal karakter; yang Noema penuh adalah struktur yang kompleks terdiri dari setidaknya rasa noematic (arti ideal) dan inti noematic (yang objek yang artinya merujuk).

Pengamatan HusserI mengenai struktur intensionalitas kesadaran, merumuskan adanya empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu (1) objektifikasi, (2) identifikasi, (3) korelasi, dan (4) konstitusi (Abidin, 2000).

Intensionalitas objektifikasi berarti mengarahkan data (yang merupakan bagian integral dari aliran kesadaran), kepada objek-objek intensional. Fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data yang sudah terdapat dalam aliran kesadaran.

Intensionalitas sebagai identifikasi, yakni suatu intensi yang mengarahkan berbagai data dan peristiwa kemudian pada objek hasil objektifikasi. Identifikasi banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dari dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional, maupun intektual.

Intensionalitas korelasi menghubung-hubungkan setiap aspek dari objek yang identik menunjuk pada aspek-aspek lain yang menjadi horisonnya. Bagian depan sebuah objek menunjuk pada bagian samping, muka, bawah, dan belakang. Aspek yang menjadi horison dari objek memberi pengharapan pada subjek untuk mengalaminya kembali di kemudian hari. Aspek atau bagian-bagian tersebut selalu dibayangi oleh objek identik yang sudah tampak lebih awal.

Intensionalitas konstitusi melihat bahwa aktivitas-aktivitas intensional berfungsi mengkonstitusikan objek-objek intensional. Objek intensional tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah ada, melainkan diciptakan oleh aktivitas-aktivitas intensional itu sendiri. Objek intensional’ sebenarnya berasal dari endapan-endapan aktivitas intensional.

 Asumsi Fenomenologi

Asumsi dasar dari fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. Sutrisno dan Hanafi (2004) dalam Riharjo menjelaskan apabila ditinjau dari prinsip dasar yang dikembangkan dalam paradigma interpretif, prinsip dasar dalam membaca fenomena, adalah:

  1. Individu menyikapi  sesuatu  atau  apa  saja  yang  ada  dilingkungannya  berdasarkan makna sesuatu tersebut pada dirinya;
  2. Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain; dan
  3. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya.

Terdapat dua varian tentang fenomenologi, yaitu: (1) fenomenologi hermenuetik dan (2) fenomenologi eksistensial (Berger, 1987) dalam Sukidin. Fenome­nologi hermeneutik terfokus pada aspek kolektif dari budaya yang concern dengan bahasa. Teks dapat dianalisis secara objektif, dalam arti mengeksplo­rasi dan menentukan kealamiahan serta struktur komunikasi.

Fenomenologi eksistensial, berorientasi pada level individu dari budaya yang meliputi internalisasi kesadaran subjektif dari individu. Setiap fenomenologi dapat dideskripsikan sebagai sesuatu yang empirik dan terkait dengan kehidupan sehari-hari.

Bagi Berger, pendekatan fenomenologi akan terhenti ketika mulai memasuki area ilmu. Analisis fenomenologi merupakan metode deskriptif dan bersifat empiris. Menurut Berger, ilmu empirik harus beroperasi dengan asumsi kausalitas yang universal. Namun, Berger juga mengakui bahwa feno­menologi mampu mengikuti tradisi ilmu sosial untuk menembus dunia kehi­dupan sehari-hari dan mendeskripsikan secara sistematis.

Ada dua pendekatan dalam penelitian fenomenologi yaitu: fenomenologi hermeneutik dan  empiris,  fenomenologi  transendetal  atau  psikologi  Van  Manen. Pandangan Hermeneutik berkaitan dengan menginteprestasikan dan memahami hasil pemikiran manusia yang memberikan ciri pada dunia sosial dan kultural. Dilthey menyatakan  bahwa  salah  satu  hal  utama  dalam  suatu  metode  pemahaman  untuk pandangan  ini  adalah  penelitian  tentang  tampilan  kehidupan  empiris-institusi,  situasi masa lampau, bahasa lainnya yang mencerminkan kehidupan inti dari penciptanya. Penelitian tentang penciptaan sosial ini dilihat sebagai hal utama untuk memahami dunia dari pikiran obyektif.

Analisis Data dalam Penelitian Fenomenologi

Data dari fenomena sosial yang diteliti dapat dikumpulkan dengan berbagai cara,  diantaranya  observasi  dan  interview,  baik  interview  mendalam  (in-depth interview). In depth dalam penelitian fenomenologi  bermakna mencari sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena sisoal dan pendidikan yang diteliti. In-depth juga bermakna    menuju pada sesuatu yang    mendalam guna mendapatkan sense dari yang nampaknya   straight-forward secara aktual  secara potensial lebih complicated.  Pada  sisi lain peneliti juga  harus memformulasikan kebenaran peristiwa/ kejadian dengan pewawancaraan mendalam. ataupun interview. Data yang diperoleh dengan in-depth interview dapat dianalisis proses analisis data dengan Interpretative Phenomenological Analysis sebagaiman ditulis oleh Smith (2009) dalam Hajaroh. Tahap-tahap Interpretative   Phenomenological Analysis yang dilaksanakan sebagai berikut: 1) Reading and re-reading; 2) Initial noting;  3)  Developing  Emergent Emergent  themes;  4)  Searching  for  connections  across emergent themes; 5) Moving the next cases; and   6) Looking for patterns across cases. Masing-masing tahap analisis diuraikan sebagai berikut:

  1. Reading and Re-reading

Dengan  membaca  dan  membaca  kembali  peneliti  menenggelamkan  diri dalam data yang original.  Bentuk kegiatan tahap ini adalah  menuliskan transkrip interviu dari rekaman  audio  ke dalam transkrip dalam bentuk tulisan.  Rekaman audio yang digunakan oleh peneliti dipandang lebih membantu pendengaran peneliti dari pada transkrip dalam bentuk tulisan.  Imaginasi  kata-kata dari partisipan ketika dibaca dan dibaca kembali oleh  peneliti dari transkrip akan membantu analisis yang lebih komplit. Tahap ini di laksanakan untuk memberikan keyakinan bahwa partisipan penelitian benar-benar  menjadi  fokus analisis.

  1. Initial Noting

Analisis tahap awal ini sangat mendetail  dan mungkin menghabiskan waktu. Tahap ini menguji isi/konten dari kata, kalimat dan bahasa yang digunakan partisipan dalam level eksploratori. Analisis ini menjaga kelangsungan pemikiran yang terbuka (open mind) dan mencatat segala sesuatu yang menarik dalam transkrip. Proses ini menumbuhkan dan membuat sikap yang lebih familier terhadap  transkrip data.   Selain itu tahap ini juga memulai mengidentifikasi secara spesifik cara-cara      partisipan   mengatakan   tentang   sesuatu,   memahami dan    memikirkan    mengenai  isu-isu.

  1. Developing Emergent Themes

Dengan komentar eksploratori tersebut maka pada seperangkat data muncul atau tumbuh secara substansial. Untuk memunculkan tema-tema peneliti memenej   perubahan data dengan menganalisis secara simultan, berusaha mengurangi volume  yang detail dari data yang berupa transkrip   dan catatan awal yang masih ruwet   (complexity) untuk di mapping kesalinghubungannya (interrelationship),  hubungan  (connection) dan pola-pola antar catatan eksploratori. Pada tahap ini analisis terutama pada catatatan awal lebih yang dari sekedar transkrip. Komentar eksploratori yang dilakukan secara komprehensip sangat mendekatkan pada simpulan dari transktip yang asli.

  1. Searching for connection a cross emergent themes

Mencari hubungan antar tema-tema yang muncul dilakukan setelah   peneliti menetapkan seperangkat tema-tema dalam transkrip dan tema-tema telah diurutkan secara  kronologis.  Hubungan  antar  tema-tema  ini  dikembangkan  dalam  bentuk grafik atau mapping/pemetaan dan memikirkan tema-tema yang bersesuaian satu sama lain.

  1. Moving the next cases

Tahap  analisis 1- 4  dilakukan pada setiap satu  kasus/partisipan. Jika satu kasus selesai dan dituliskan hasil analisisnya maka tahap selanjutnya berpindah pada kasus  atau partisipan berikutnya hingga selesai semua kasus.  Langkah ini dilakukan pada semua transkrip partisipan, dengan cara mengulang proses yang sama.

  1. Looking for patterns across cases

Tahap akhir merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari pola- pola  yang  muncul  antar  kasus/partisipan.  Apakah  hubungan  yang  terjadi  antar kasus, dan bagaimana tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus yang lain memandu peneliti melakukan penggambaran   dan pelabelan kembali pada tema- tema. Pada tahap ini dibuat master table dari tema-tema untuk satu kasus atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/ organisasi.

Referensi

Hajaroh, Mami. Paradigma, Pendekatan dan Metode Penelitian Fenomenologi. Paper: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Husserl, Edmund. 1962. Ideas : General Introduction to Pure Phenomenology, Translated by W. R. Boyce Gibson. London, New York: Collier,Macmillan.

Manen, Max van. 2007. Phenomenology of Practice. Journal of Phenomenology & Practice, Volume 1 , No. 1, pp. 11 – 30: University of Alberta.

McPhail, Jean C. 1995. Phenomenology As Philosophy and Method:Applications to Ways of Doing Special Education. Journal of Remedial and Special Education Vol. 13: Michigan University.

Moran, Dermot. 2002. Introduction To Phenomenology. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP).

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

Zahavi, Dan. 1999. Self-awareness and Alterity: A Phenomenological Investigation. Evanston, IL: Northwestern University Press.