Ethnomethodology

*Suhartono

Etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi.

Garfinkel di saat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz di New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel.

Dalam Etnometodologi juga dikenal istilah dramaturgi yaitu bagaimana aktor memanipulasi gerak isyarat untuk menciptakan kesan di sebuah panggung pertunjukkan (Raho 2007) dalam (Riharjo 2011). Etnometodologi bukan pada manajemen kesan individu-individu, melainkan bagaimana aktor-aktor menciptakan perasaan akan realitas yang sama. Etnometodologi memusatkan perhatian pada teknik-teknik interaksi, bukan untuk menciptakan  kesan-kesan  sebagaimana  dramaturgi  Goffman,  melainkan  bagaimana teknik-teknik tersebut bisa mempertahankan suatu perasaan akan realitas sosial.

Istilah Etnometodologi

Etnometodologi adalah salah satu cabang ilmu sosiologi yang mempelajari tentang berbagai upaya, langkah, dan penerapan pengetahuan umum pada kelompok komunitas untuk menghasilkan dan mengenali subjek, realitas, dan alur tindakan yang bisa dipahami bersama-sama (Kuper, 2000) dalam (Sukidin, 2002)..

Radical Ethnomethodology started to mature within a distinct program of “studies of work” in the 70s.  These studies analyze the specific, actual material practices that compose the ongoing situated day-to-day work practices (Heritage 1984). Etnometodologi menurut Heritage adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri. Istilah etnometodologi yang berakar pada bahsa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.

For Garfinkel, ethnomethodology is a form of “practical sociological analysis” (1967:1). This sociological analysis, however, is not merely an undertaking of professional sociologists: ethnomethodology is an everyday activity in which social agents constantly engage as they arrive at an interpretive understanding of other agents and actions through interaction, thus making sense of social reality. Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktek dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya structural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktur sosial.

Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi adalah realitas objektif fakta sosial, fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui atau menunda.

Garfinkel mememunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksutujannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi, dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas didalam memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan sosial tersebut berlangsung. Garfinkel sendiri mendefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir.

Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari.

Ada kesamaan antara metode yang digunakan Garfinkel dengan dengan pemikiran Wittgenstein yang mengatakan bahwa pemahaman umum terdapat dalam percakapan serta transaksi sosial sehari-hari. Etnometodologi di satu sisi meneliti biografi dan maksud yang dikandung oleh aktor-aktor sosial dan di sisi lain menganalisis pemahaman umum (common-sense). Sebagaimana yang diungkapkan dalam karyanya Studies in Ethnometodology dia menunjukkan bahwa:

  1. Perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna daripada langsung kata-kata itu sendiri.
  2. Perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum.
  3. Pemahaman secara umum yang meyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara intersubjektif.
  4. Transaksi dan  peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional, sehingga dengan peristiwa tersebut seseorang akan memahami ucapan orang lain melalui pemahaman aturan itu sesuai dengan kaidah-kaidahnya.

Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut.

Sementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.

Pembahasan realitas common sense Schutz memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Pandangan Schutz tentang dunia sehari-hari sebagai dunia intersubjektif yang dimiliki bersama melalui proses interaksi ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat di mana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri sekalipun dianggap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi.

Diversifikasi Etnometodologi

Studi Setting Institusional

Maynard dan Clyman melukiskan sejumlah karya variasi dalam etnometodologi, tetapi hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol. tipe pertama adalah studi etnometodologi tentang setting institusional. Studi etnometodologi awal yang dilakukan oleh Garfinkel berlangsung dalam setting biasa  dan tak diinstitusionalkan seperti rumah, kemudian bergeser ke arah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi.

Tujuan studi institusional adalah memahami cara orang, dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi.

Analisis Percakapan

Jenis etnometodologi kedua adalah analisis percakapan (conversation analysis). analisis percakapan bertujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan sebagai unsur dasar dalam etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran analisis percakapan adalah terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial.

Lima dasar dalam menganalisis percakapan menurut Zimmerman:

  1. Pengumpulan dan analisis data yang sangat rinci tentang percakapan.
  2. Aspek-aspek kecil percakapan tidak hanya diatur oleh ahli etnometodologis akan tetapi pada mulanya oleh aktor sendiri.
  3. Interaksi dan percakapan bersifat stabil dan teratur. Peneliti bersifat otonom, terpisah dari aktor.
  4. Kerangka percakapan fundamental adalah organisasi yang teratur.
  5. Rangkaian interaksi percakapan dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.

Secara metodologis, analisis percakapan berupaya mempelajari percakapan yang terjadi dalam konteks yang wajar, sering menggunakan audio tape atau video tape. metode perekaman ini memungkinkan informasi lebih mengalir secara wajar dari kehidupan sehari-hari ketimbang dipaksakan oleh peneliti. Asumsi dasar analisis percakapan:

  1. Percakapan adalah landasan dari bentuk-bentuk hubungan antar personal.
  2. Merupakan bentuk interaksi yang paling mudah meresap.
  3. Percakapan terdiri dari matriks prosedur dan praktik komunikasi yang paling terorganisasi.

Asumsi

Etnometodologi memiliki beberapa asumsi sebagai bidang kajian dari perspektif kajian ini:

  1. Terjadi asas reciprocal (bolak-balik) dalam rangka menyetarakan pengertian antara peneliti dan aktor sosial yang terlibat, sehingga dapat dikatakan bahwa kebenaran yang saya anut adalah kebenaran yang dianut oleh orang lain.
  2. Objektivitas dan ketidakraguan dari apa yang tampak, misalnya seperti dunia atau lingkungan atau kenyataan, adalah yang tampak terjadi dan keraguan terhadap kenyataan tersebut patut untuk diragukan.
  3. Adanya proses yang sama, dalam arti bilamana hal itu terjadi disuatu tempat dan suatu waktu, maka hal itu akan dapat terjadi pada tempat dan waktu yang lain.
  4. Pengetahuan umum yang masuk akal adalah sangat jelas, sebagaimana orang lain juga mengetahui.
  5. Adanya proses indexicality (daftar istilah). Masyarakat memiliki perbendaharaan pengetahuan local yang telah diketahui sebelumnya dan dapat mengacu pada indeks lain yang juga telah ada. Peneliti harus memahami proses tersebut untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas.
  6. Adanya proses reflectivity, sebagai gambaran tentang arti. Suatu interpretasi terhadap situasi yang terdapat secara umum sehingga tidak perlu dijelaskan lagi.
  7. Untuk mendapatkan kebenaran peneliti tidak boleh sampai menyakitkan masyarakat. Untuk itu, tidak diperbolehkan adanya pemaksaan kepada lawan bicara atau nara sumber dalam rangka untuk mendapatkan pembuktian yang jelas.

Etnometodologi sebagai Metode Penelitian Kualitatif

Beberapa prasyarat untuk menjadikan etnometodologi sebagai model penelitian kualitatif:

  1. Etnometodologi memusatkan kajian pada realitas yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada prilaku nyata. Setiap masyarakat dalam konsep ini memiliki situasi yang bersifat lokal, terorganisir, memiliki steriotipe dan ideology khusus, termasuk ras, kelas sosial dan gender. Pendekatan ini akan memihak masyarakat bawah dengan ideology yang sangat populis.
  2. Merupakan strategi yang dapat dilakukan melalui discourse analysis (analisis wacana). Paradigma yang dianut adalah semiotic, sehingga metode yang paling tepat adalah dialog. Sumber data dapat diungkap melalui observasi-partisipasi dengan pencatatan data yang teratur menggunakan field note. Pengembangan pertanyaan dilakukan dengan bentuk verbal, sosial interaktif dan dialog.
  3. Etnometodologi memiliki keunggulan dalam mendekati kehidupan empiris, dalam hal ini ada program penekanan yang diberikan. Melakukan pengambilan data langsung dari lapangan melalui model interaktif antara peneliti dan aktor.
  4. Sosial (observasi partisipasi).
  5. Menitikberatkan pada pemahaman diri dan pengalaman hidup sehari-hari. Pengambilan data dengan in-depth interview, akan menggali semua masalah kehidupan sehari-hari dalam bentuk wacana percakapan terbuka. Setiap wacana percakapam dianalisis, dikembangkan sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat lokal.

Metode kualitatif merupakan metode yang dikerjakan oleh semua orang atau untuk semua problema dan tampak bahwa saat ini para penganut inter­aksi simbolik dan etnometodologi mendukung metodologi kualitatif. Tugas mereka, yaitu menangkap proses penafsiran mengenai tingkah laku manusia dengan menuntut verstehen, pemahaman yang empatik atau kemampuan menyerap dan mengungkapkan lagi perasaan-perasaan, motif-motif, dan pemikiran di balik tindakan seseorang. Tentu saja, semua itu diambil dari sudut pandang orang itu sendiri (Bodgan and Taylor, 1992).

Bagi etnometodolog, yang bisa diamati langsung adalah upaya orang-orang untuk menciptakan rasa umum tentang kenyataan sosial. Namun karena posisinya yang masih samar, maka tak ada prinsip yang dirumuskan dengan baik yang menunjukkan bagaimana komunitas para aktor secara aktif menegosiasikan citra umum tentang kenyataan.

Fakta yang mendasari kesalahpahaman pada etnometodologi, yaitu bahwa para sosiolog yang telah mendalam dalam tradisi teoretis kesulitan mengenali suatu alternatif radikal bagi tradisi-tradisi ini. Padahal sebenarnya mereka tak memahami posisi etnometodologi.

Wujud salah tafsir itu menyatakan bahwa etnometodologi mewakili suatu korektif bagi penteorian sosiologis masa kini. Hal ini menjadi asumsi bahwa etnometodologi bisa berfungsi untuk mengecek keandalan dan vali­ditas pengamatan seorang penyelidik dengan sekaligus memaparkan komunitas ilmiah yang menerima pengamatannya. Padahal sebenarnya etnometodologi bukan suatu metode penelitian baru, ia tidak menjawab pertanyaan seputar masalah masyarakat lewat teknik-teknik penelitian baru. Namun, ia berkenaan dengan studi fenomena dengan menggunakan banyak strategi penelitian, meliputi varian-varian metode pengamatan dan peserta pengamatan.

Etnometodologi membutuhkan suatu kumpulan asumsi metafisik alternatif tentang sifat dunia sosial, yaitu:

  1. Dalam segala situasi interaksi manusia berupaya membentuk munculnya konsensus tentang feature dan setting
  2. Feature terdiri dari sikap, pendapat, kepercayaan, dan koisgni lain tentang sifat lingkungan sosial
  3. Manusia terlibat dalam praktik-praktik dan metode antarpribadi eksplisit dan implisit
  4. Praktik dan metode itu dihasilkan dalam memasang dan membongkar “kumpulan bahan yang didatangkan: persepsi oleh manusia yang berinteraksi bahwa lingkungan masa kini mempunyai struktur yang teratur dan bisa dipahami”.
  5. Konsensus ini muncul juga merupakan refleksi dari pemenuhan tiap peserta terhadap aturan dan prosedur untuk mengubah-ubah konsensus itu.
  6. Dalam tiap situasi interaksi, aturan itu tidak bisa digeneralisasikan pada lingkungan lain.
  7. Dengan mengganti aturan, para anggota dalam suatu lingkungan bisa saling menawarkan munculnya suatu dunia “di luar sana” yang teratur dan berhubungan yang “memaksakan” persepsi-persepsi dan tindakan- tindakan tertentu bukan pada bagian mereka.

 

Referensi

 

Garfinkel, Harold. 1967. Studies in Ethnomethodology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc..

Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies for Mass Communication Research. France: The Taylor & Francis e-Library.

Maynard, Douglas W., and Steven E. Clayman. 2002. “Studies in Ethnomethodology and Conversation Analysis”. Washington D.C.: International Institute for Ethnomethodology and Conversation Analysis & University Press of America.

Prepublication copy of: Ethnomethodology and Conversation Analysis. In C. Bryant & D. Peck (eds.) The Handbook of the 21st Century Sociology. Thousands Oaks: Sage,

2006, pp. 8-16, 437-438, 444-445.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP).

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

http://al-fikar.blogspot.com/2014/01/etnometodologi.html

Ethnography

*Suhartono

Pendahuluan

Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan, dengan tujuan utama memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Untuk menemukan prinsip-prinsip tersembunyi dari pandangan hidup yang lain, peneliti harus menjadi murid. Inti etnografi adalah upaya memperlihatkan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna terekpresikan secara langsung dalam bahasa, atau secara tidak langsung melalui kata dan perbuatan. Sistem makna merupakan kebudayaan mereka, dan etnografi selalu mengimplementasikan teori kebudayaan.

Etnografi secara harfiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Penelitian antropologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu khas, sehingga kemudian istilah etnografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut. Spradley menganggap bahwa  etnografi merupakan satu jenis metode penelitian yang khas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun sebagai metode penelitian dapat dianggap sebagai dasar dan asal-usul ilmu antropologi.

Brewer secara eksplisit memberikan definisi etnografi sebagai the “study of people in naturally occuring getting or ‘fields’ by means of methods which capture their social meanings and ordinary activities, involving the reseacher participating directly in the setting if not also the activities, in order to collect data in a systematic manner but without meaning being imposed on the externally”. Studi tentang masyarakat yang terjadi secara alami atau ‘bidang’ melalui metode yang menangkap makna sosial dan kegiatan biasa, yang melibatkan peneliti secara langsung dalam penelitian jika tidak hanya kegiatan, dalam rangka mengumpulkan data secara sistematis tapi tanpa makna yang dikenakan pada eksternal.

Jensen dan Jankowski  menempatkan etnografi sebagai sebuah pendekatan. Etnografi tidak dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan data tetapi sebuah cara untuk mendekati data dalam meneliti fenomena komunikasi.

Atkinson dan Hammersley mendefinisikan etnografi sebagai penulisan budaya, deskripsi tertulis mengenai sebuah budaya berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Istilah etnografi itu sendiri banyak mengandung konstoversi dikalangan akademis, beberapa pakar mendefinisikan etnografi sebagai sebuah paradigma filsafat yang menuntut peneliti pada komitmen total, sedangkan para pakar lain menjelaskan bahwa istilah etnografi adalah sebuah metode yang hanya akan digunakan jika memiliki relevansi dengan objek yang diteliti (dengan tujuan peneliti). Ethnographic research should have a characteristic ‘funnel’ structure, being progressively focused over its course. Over time the research problem needs to be developed, and may need to be transformed; and eventually its scope must be clarified and delimited, and its internal structure explored. In this sense, it is frequently well into the process of inquiry that one discovers what the research is really about; and not uncommonly it turns out to be about something rather different from the initial foreshadowed problems. Secara praktis, istilah etnografi biasanya mengacu pada bentuk-bentuk penelitian sosial dengan sejumlah ciri khas sebagai berikut :

  1. Lebih menekankan upaya eksplorasi terhadap hakekat/sifat dasar fenomena sosial tertentu, bukan melakukan pengujian hipotesis atas fenomena tersebut.
  2. Lebih suka bekerja dengan data tak terstruktur, atau dengan kata lain, data yang belum dirumuskan dalam bentuk kode sebagai seperangkat katagori yang masih menerima peluang bagi analisis tertent
  3. Penelitian terhadap sejumlah kecil kasus, mungkin hanya satu kasus secara detail.
  4. Menganalisis data yang meliputi intrepretasi makna  dan fungsi berbagai tindakan manusia  secara  eksplisit  sebagai  sebuah  produk  yang  secara  umum  mengambil bentuk-bentuk deskripsi dan penjelasan verbal tanpa harus terlalu banyak memanfaatkan analisis kuantitatif dan statistik.

Asal Mula Etnografi

Awal etnografi berkaitan dengan asal usul ilmu antropologi. Pada abad ke-20, para ahli antropologi berusaha membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa awal kemuculan manusia di muka bumi sampai masa kini. Mereka semua, tidak pernah terjun langsung melihat masyarakat primitif yang menjadi objek karangan mereka. Kerangka evolusi yang dibangun itu dipandang tidak realistik dan tidak didukung bukti nyata. Sedikit-sedikit mereka mulai sadar untuk melihat sendiri kelompok masyarakat yang menjadi objek kajiannya, demi memperoleh teori yang lebih mantap. Inilah asal mula pemikiran tentang perlunya kajian lapangan etnografi dalam antropologi.

Pada proses kemunculannya Etnografi (akhir abad ke-19). Etnografi mula-mula dilakukan untuk membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Tak ubahnya analisis wacana, mereka  ilmuwan antropologi pada waktu itu melakukan kajian etnografi melalui tulisan-tulisan dan referensi dari perpustakaan yang telah ada tanpa terjun ke lapangan. Namun, pada akhir abad ke-19, legalitas penelitian semacam ini mulai dipertanyakan karena tidak ada fakta yang mendukung interpretasi para peneliti. Akhirnya, muncul pemikiran baru bahwa seorang antropolog harus melihat sendiri alias berada dalam kelompok masyarakat yang menjadi obyek kajiannya.

Studi etnografi melibatkan serangkaian metodologi dan prosedur interpretasi yang menempatkan peneliti sebagai instrument dengan observasi parsitipatif, observasi parsitipatif. Jenis studi ini menuntut komitmen menyeluruh pada kerja-kerja pemahaman. Peneliti etnografi menjadi  bagian dari situasi  yang diteliti untuk merasakan bagaimana perasaan orang-orang dalam situasi tersebut, peneliti etnografi menyatu pada realitas orang-orang secara sungguh-sungguh.

Etnografi Modern

Etnografi ini dipelopori oleh ahli antropologi sosial, A.R RadclifFee-Brown dan B. Mallinowski pada dasawarsa 1915-1925 d Inggris. Ciri khusus kegiatan mereka, yaitu mereka tidak teriak memandang penting hal-ihwal yang berhubungan dengan jarak kebudayaan status kelompok masyarakat. Fokus utamanya adalah kehidupan masa kini yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat yaitu tentang viay of lifemasyarakat tersebut.

 Etnografi Baru

Etnografi baru adalah suatu aliran etnografi yang mulai bei kembang sejak tahun 1960-an dan mempunyai nama lain cognitive anthropology atau ethnoscience. Aliran ini memusatkan usahanya untu menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan.

Etnografi Baru Ala Spradley

Dalam hal ini, Spradley masih mengikuti aliran antroplogi kognitif, namun secara lebih khusus, Spradley mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang diperolah manusia melalui proses belajar yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Selain itu, Spradley juga tidak lagi menganggap antropologi sebagai satu ilmu tentang“other cultures”,yaitu mengenai masyarakat kecil yang terisolasi dan hidup dengan teknologi sederhana. Dia telah menjadi alat yang mendasar untuk memahami masyarakat Spradley menggunakan metode panduan yang khas untui mempelajari etnografi (dengan jalan mengerjakan dan melakukan sendiri; secara sistematis, terarah, dan efektif. Metode itu adalah Developmem Research Sequenceatau “Alur Penelitian Maju Bertahap”. Metode ini memiliki lima prinsip.

Pertama, teknik tunggal di mana peneliti dapat melakukan berbagai teknik penelitian secara bersamaan dalam satu fase penelitian. Kedua, identifikasi tugas, yaitu peneliti harus mengenali langkah- langkah pokok yang harus dilaluinya dalam menjalankan teknik tersebut Ketiga,setiap langkah pokok tadi, sebaiknya dijalankan secara berurutan atau maju bertahap. Keempat, penelitian orisinal maksudnya mempelajari cara untuk melakukan wawancara etnografi dengan mempraktiklcannya dalam proyek penelitian sungguhan, bukan sekedar untuk kepentingan latihan saja. Terakhir, prinsip problem-solvingyang membawa kita kepada pandangan Spradley mengenai ilmu antropologi, yaitu ilmu yang mempunyai kegunaan praktis dalam menyelesaikan masalah-m; salah kemanusiaan. Sehinggaseorangpeneliti yang berhasil, menurut takaran etnograf! adalah juga seorang problem solver.

Manfaat Etnografi

Etnografi adalah suatu kebuaayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulangkah bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dari semua kebudayaan sangat tinggi nilainya. Asumsi ini

Beberapa Prinsip dalam Etnografi

Informan adalah manusia yang mempunyai masalah, keprihatinan, dan kepentingan. Nilai yang dipegang oleh etnografer tidak selalu sejalan engan nilai yang dipegang oleh informan. Beberapa prinsip etika yang didasarkan pada nilai-nilai yang mendasari.

  1. Mempertimbangkan informan terlebih dahulu
  2. Mengamankan hak-hak, kepentingan, dan sensitivitas informan bila penelitian melibatkan
  3. Menyampaikan tujuan penelitian
  4. Melindungi privasi informan
  5. Jangan mengeksploitasi informan
  6. Memberikan laporan kepada informan

Wawancara Etnografi

Ketika kita mempelajari wawancara etnografi sebagai wawancara percakapan, maka kita melihat bahwa banyak ciri yang sama dengan per­cakapan persahabatan. Dalam kenyataan, seorang etnografer berpengalaman seringkali mengumpulkan banyak data melalui pengamatan terlibat serta berbagai macam percakapan sambil lalu, percakapan persahabatan. Mereka mungkin mewawancarai orang-orang tanpa kesadaran orang-orang itu, dengan cara sekadar melakukan percakapan biasa, tetapi etnografer memasukkan beberapa pertanyaan etnografis ke dalam pertanyaan itu. Tiga unsur etnografi yang paling penting ialah tujuan yang eksplisit, penjelasan, dan pertanyaannya yang bersifat etnografi:

  1. Tujuan yang eksplisit
  2. Penjelasan etnografi
  3. Pertanyaan etnografi
  4. Membuat Catatan Etnografi

Langkah berikutnya dalam pendekatan “Alur Penelitian Maju Bertahap” adalah mulai mengumpulkan catatan penelitian. Bahkan sebelum melakukan kontak dengan seorang informan, etnografer akan mempunyai berbagai kesan, pengamatan, dan keputusan untuk dicatat. Ketika melakukan penelitian pada suatu komunitas asing, maka dibutuhkan waktu berminggu- minggu atau berbulan-bulan sebelum melakukan wawancara sistematis dengan seorang informan. Ketika mempelajari suatu suasana budaya dalam masyarakat kita sendiri, etnografi paling tidak sudah mempunyai suatu pilihan dan kemungkinan sudah menyaksikan suatu budaya itu dan pencatatan kesan-kesan pertama ini akan terbukti mempunyai makna penting nantinya. Yang pasti, kontak pertama dengan seorang informan pantas untuk didokumentasikan. Dalam langkah ini, kami akan mempelajari sifat dasar suatu catatan etnografi dan membahas beberapa langkah praktis untuk membuat catatan itu menjadi catatan yang sangat bermanfaat dalam analisis dan penulisan. Bagian utama suatu catatan etnografi terdiri atas catatan lapangan i tertulis, baik catatan hasil observasi, wawancara, rekaman, buku harian, atau dokumen pribadi lainnya.

Membuat Analisis Domain

Dalam langkah terakhir, menyajikan beberapa prosedur analisis untuk melakukan pencarian domain awal yang memfokuskan pada domain-domain yang merupakan nama-nama benda. Pencarian awal ini hanya ber­peran untuk memperkenalkan etnografer pemula dalam menemukan domain-domain penduduk asli. Sekarang, kita dapat bergerak ke arah prosedur yang lebih sistematik yang disebut analisis domain yang akan mengarahkan pada penemuan jenis-jenis domain yang lain. Jika seorang etnografer sementara telah mengidentifikasikan beberapa domain dalam sebuah kebudayaan, maka ia perlu menguji dengan para informannya. Pengujian ini dilakukan dengan cara menanyakan beberapa pertanyaan struktural untuk memperkuat atau melemahkan domain-domain yang telah dihipotesiskan.

Langkah-langkah dalam Analisis Domain

  1. Langkah satu: memilih satu hubungan semantik tunggal
  2. Langkah dua: Mempersiapkan satu lembar kerja analisis domain
  3. Langkah Tiga: Memilih satu sample dari statement informan

Analisis Komponen

Analisis komponen merupakan pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Apabila seorang etnografer menemukan berbagai kontras di antara anggota sebuah kategori, maka kontras ini paling baik jika dianggap sebagai atribut komponen makna suatu istilah. Kita dapat mengidentifikasikan satu atribut sebagai elemen informasi apa saja yang berhubungan secara teratur dengan sebuah simbol. Atribut selalu dihubungkan dengan istilah-istilah asli informan. Dalam menempatkan sebuah istilah asli informan ke dalam sebuah domain dan taksonomi tertentu. Anda harus mengisolasi satu hubungan semantik tunggal Dalam membuat analisis komponen, Anda akan memfokuskan pada hubungan ganda (imultiple) antara sebuah istilah asli informan dengan simbol-simbol lain. Bahkan ketika kita mengajukan pertanyaan struktural, kebanyakan informan secara suka rela menyampaikan berbagai hubungan tambahan dan informasi tambahan (atau atribut tambahan) mengenai berbagai istilah asli informan yang sedang kita pelajari.

Ada dua cara yang dipakai para antropolog untuk melakukan analisis komponen berbagai istilah asli informan. Pendekatan pertama telah membatasi dirinya untuk menemukan atribut-atribut yang dikonseptualisasikan oleh infor­man. Tipe analisis komponen ini mencoba untuk menemukan realitas psiko­logis dunia informan dan merupakan pendekatan yang dipakai dalam buku ini. Pendekatan kedua membebaskan penggunaan konsep mereka sendiri tanpa memperhatikan apakah analisis mereka merefleksikan atribut-atribut yang menonjol bagi mereka yang mengetahui kebudayaan itu. Tipe analisis ini berupaya menemukan realitas struktural yang tidak sejalan dengan persepsi informan.

Langkah-langkah Pembuatan Analisis Komponen

  1. Langkah satu: memilih sebuah rangkaian kontras untuk analisis.
  2. Kedua: menemukan semua kontras yang telah ditemukan sebelumnya.
  3. Ketiga: mempersiapkan sebuah kertas kerja paradigma yang berisi sebuah paradigma kosong yang diisi istilah-istilah asli informan beijudul “rangkaian kontras”.
  4. Keempat: mengidentifikasi dimensi-dimensi kontras yang mempunyai nilai kembar.
  5. Kelima: menggabungkan dimensi-dimensi kontras yang sangat terkait menjadi dimensi kontras yang mempuyai nilai ganda.
  6. Keenam: mempersiapkan pertanyaan kontras untuk memperolah atribut-atribut yang hilang serta dimensi-dimensi kontras yang baru.
  7. Ketujuh: melakukan sebuah wawancara untuk memperoleh data yang diperlukan.
  8. kedelapan: mempersiapkan sebuah paradigma lengkap, yaitu dengan melengkapi paradigma yang sebagian telah dianalisis sebelum wawancara itu..

Referensi:

Brewer, John. 2000. Ethnography. Philadelphia: Open University Press.

Hammersley, M. and Atkinson, P. 2007. Ethnography: Principles in Practice. New York: Routledge.

Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies for Mass Communication Research. New York: Routledge.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP).

Sanday, Peggy Reeves. 1979. The Ethnographic Paradigm. New York: Cornell University.

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

 

 

Dramaturgy

*Suhartono

Dalam teori Dramaturgi (Goffman) manusia adalah aktor ya ng berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain. Teori melihat manusia sebagai individu dan masyarakat. Dalam teori ini manusia berbeda dengan binatang karena mempunyai kemampuan berpikir, bisa mempelajari dan mengubah makna dan symbol, melakukan tindakan dan berinteraksi.

Teori ini muncul dari ketegangan yang terjadi antara “I dan Me” (gagasan Mead). Ada kesenjangan antara diri kita dan diri kita yang tersosioalisasi. Konsep “I” merujuk pada apa adanya dan konsep “me” merujuk  pada diri orang lain. Ketegangan  berasal dari perbedaan antara harapan   orang terhadap apa yang mesti kita harapkan. Pendekatan dramaturgi adalah  bukan apa yang orang lakukan, atau mereka melakukan tetapi  bagaimana mereka melakukannya.

Teori Dramaturgi adalah “teori yang menjelaskan bahwa interaksi social dimaknai sama dengan pertunjukan teater atau drama di atas panggung. Manusia adalah actor yang berusaha untuk menggabungkan kartakteristik personal dan tujuan kepada orang lain, melalui pertunjukan dramanya sendiri (Widodo, 2010:167). Untuk mencapai tujuan manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya. Identitas manusia tidak stabil dan indentitas merupakan bagian dari kejiwaan psikhologi mandiri. Identitas dapat berubah tergantung interaksi dengan orang lain. Menurut Ritzer pertunjukan darama seorang aktor drama kehidupannya juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan, antara lain   setting, kostum, penggunaan kata (dialog) tindakan non verbal lain. Tujuannya untuk meningkatkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan meluluskan jalan mencapai tujuan.

Dramaturgi yang dicetuskan Goffman merupakan pendalaman konsep interaksi sosial, yang lahir sebagai aplikasi atas ide-ide individual yang baru dari peristiwa evaluasi sosial ke dalam masyarakat kontemporer. Berikut beberpa pendapat kalangan interaksi simbolik yang dapat menjadi pedoman pemahaman ( Widodo, 2010:168):

  1. Manusia berbeda dari binatang, manusia ditopang oleh kemampuan berpikir.
  2. Kemampuan berpikir dibentuk melalui interaksi sosial
  3. Dalam interaksi social orang mempelajari makna dan symbol
  4. Makna dan symbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas manusia
  5. Orang mampu mengubah makna dan symbol yang  mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka terhadap situasi

Teori Dramaturgi merupakan dampak atas fenomena, atau sebuah reaksi terhadap meningkatnya konflik social dan konflik rasial, dampak represif birokrasi dan industrialisasi. Teori  sebelumnya  menekankan pada  kelompok  atau  struktur  social,  sedang  teori  Goffman menekankan sosiologi pada individu sebagai analisis, khusunya pada aspek interaski tatap muka. Sehingga fenomena melahirkan dramaturgi.

Eugenio Barba mendefinisikan dramaturgi sebagai akumulasi aksi yang tidak terbatas pada gerakan-gerakan actor tetapi juga meliputi aksi-aksi yang terkait dengan adegan-adegan, musik, cahaya, vokal aktor, efek suara, dan objek-objek yang dipergunakan dalam pertunjukan. Lebih jauh dikatakan oleh Barba bahwa dramaturgi hanya bisa diidentifikasi dari suatu teks tertulis otonom (teks drama) dan proses pertunjukan teater yang melibatkan para karakter.

Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.

Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Digali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.  Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut.

Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia  dapat  dilihat  pada  masyarakat  kita  sendiri.  Manusia  menciptakan  sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu.

Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.  Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.

Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur.

Dramaturgis merupakan teori yang mempelajari  proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena institusi tempat dramaturgi berperan adalah memang institusi yang terukur dan membutuhkan peran- peran yang sesuai dengan semangat institusi tersebut.

Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya . Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang- orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Ritzer, 1996:215).

Menurut  Goffman  kehidupan  sosial  itu  dapat  dibagi  menjadi  “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukkan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.

Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front) dan setting. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Pemimpin perempuan menggunakan setelan pakaian formal serta notebook atau ipad di genggamannya.  Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Sebagai seorang pemimpin, perempuan dapat menggunakan kalimat dengan pilihan kata yang sopan, halus, penggunaan istilah-istilan asing dalam melakukan presentasi, memperhatikan intonasi, postur tubuh, dan ekspresi wajah. pakaian yang digunakan, penampakan usia dan sebagainya. Hingga derajat tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan actor.

Sementara itu, setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan. Dimana seorang pemimpin memerlukan ruang kerja yang nyaman dan bersih untuk melakukan tugasnya..

Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili kepentingan   kelompok   atau   organisasi.   Sering   ketika   aktor   melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan  dalam  pertunjukan  mereka  di  pangung  depan,  mereka  merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal  tertentu dalam pertunjukannya. Wilayah ini memperlihatkan sikap superior sang pemimpin perempuan yang tergambar oleh karyawannya.

Berbeda dengan panggung belakang (back stage), disini memungkinkan seorang pemimpin perempuan menggunakan kata-kata kasar ketika berkomentar, marah,  mengumpat,  bertindak  agresif,  memperolok,  atau  melakukan  kegiatan yang tak pantas dilakukan ketika berhadapan dengan karyawannya. Adanya belakang panggung dimaksudkan untuk melindungi rahasia pertunjukan sang pemimpin perempuan, stakeholder tidak diizinkan masuk ke wilayah ini. Pertunjukan yang dilakukan akan sulit apabila stakeholder masuk ke dalam panggung.

Teori dramaturgi Goffman ini disempurnakan dengan hasil penelitian di dunia sosial penghuni rumah sakit jiwa, dalam bentuk buku yang beijudul “Asylums“. Buku ini menjelaskan area tempat tinggal dan kerja sejumlah individu untuk waktu yang cukup lama yang disebut “Institusi Total” dengan identifikasi 5 kategori, yakni institusi untuk merawat dan menampung: (1) orang tidak mampu dan dianggap berbahaya (rumah sakit jiwa), (2) orang yang mungkin membahayakan masyarakat (lawanan perang, bukan penjara), (3) orang yang dianggap tidak mampu dan tidak berbahaya (wisma tuna netra), (4) orang yang melaksanakan tugas khusus (barak tentara), dan (5) orang yang mengasingkan diri sebagai latihan keagamaan, dan sebagainya.

Goffman menambahkan ungkapan kosa kata dengan ungkapan games kosa kata. Di sini terdapat suatu: (1) gerak sepontan, yakni suatu tindakan yang tidak ditujukan untuk penilaian pengamat, (2) gerak naïve (naïve move), yaitu tindakan subyek yang teramati pada saat ia muncul, (3) gerak control atau tertutupi (control and covering move), yaitu suatu tindakan subjektif yang bebas dari tindakan untuk melahirkan ungkapan-ungkapan yang ia pikir akan mengembangkan situasi jika gerak tersebut lepas dari pengamatan.

Referensi

Anonym. Jurnal tidak terpublikasi Universitas Sumatera Utara.

Negari, Leidena Sekar. 2013. Dramaturgi Kepemimpinan Perempuan dalam Organisasi Profit. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang.

Poloma, Margaret M. 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Sahid, Nur. 2012. Dramaturgi Teater Gandrik Yogyakarta dalam Lakon “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”. Proposal. PPs Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

Suneki, Sri dan Haryono. 2012. Paradigma Teori Dramaturgi terhadap Kehidupan Sosia. Jurnal Ilmiah CIVIS, No.2.

 

 

Paradigma Teori Sosial

*Suhartono

Paradigma Teori Sosial

Pengantar

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis (Keraf dan Dua, 2001: 22; lihat juga Suriasumantri, 2003; 104)

Secara metodologis, dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia, dapat dibedakan antara dua kutub berbeda dari gejala pengetahuan manusia itu, yaitu antara kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subjek dan objek.  Kendati keduanya dapat dibedakan secara jelas dan tegas, untuk bisa terbentuknya pengetahuan, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.  Supaya ada pengetahuan, keduanya harus ada.

Manusia sebagai subjek pengetahuan memegang peranan penting.  Keterarahan manusia terhadap objek merupakan faktor yang sangat menentukan bagi munculnya pengetahuan manusia. Keterarahan yang dimaksud adalah perlunya kesamaan-kesamaan prinsip atau kategori tertentu, baik dari aspek ontologi maupun dari aspek epistemologinya yang memungkinkan manusia dapat mengenal dan menangkap objek yang diamatinya. Dengan kata lain, pengetahuan itu hanya mungkin terwujud kalau manusia sendiri adalah bagian dari objek, realitas di alam semesta ini. Keterlibatan manusia sebagai bagian dari objek dan realitas dalam suatu proses penelitian dan ilmu itu sendiri menandakan bahwa ilmu tidak mungkin bebas nilai

Definisi

Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains, dan sebaliknya, masyarakat sains terdiri atas orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama (Kuhn, 1962; 171; lihat juga Etzioni, 1992: 1). Hal senada juga dikemukakan oleh Maliki (2003:15), bahwa paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuan yang membentuk “masyarakat ilmiah” dalam disiplin tertentu.  Perspektif intelektual menurut Friedrichs (1970: 55) dalam Maliki (2003:15) menentukan apa yang membentuk “ilmu pengetahuan normal” dalam komunitas ilmiah pada waktu tertentu dan mendasari hampir semua pembentukan teori serta penelitian yang dilakukan oleh praktisinya. Hal ini dapat kita artikan bahwa paradigma adalah suatu cara pendekatan yang digunakan dan diyakini oleh suatu kelompok tertentu dalam suatu perspektif intelektual untuk mendapatkan suatu kebenaran (truth) atau dalam membangun suatu teori (ilmu pengetahuan).

Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma

Paradigma diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.

Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.

Paradigma Fungsionalis

Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.

Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai persentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis.

Paradigma ini telah menyediakan kerangka kerja yang dominan untuk pelaksanaan di akademi sosiologi dan pendidikan di organisasi. Ini melambangkan perspektif yang berakar pada sosiologi regulasi dan mendekati materi pelajaran dari sudut pandang objektivis. Teori fungsionalis berada di garis depan perdebatan order-konflik, dan konsep-konsep yang telah kami gunakan untuk mengkategorikan sosiologi regulasi yang berlaku dalam berbagai sekolah dalam cara pandang paradigma tersebut. Hal ini ditandai dengan perhatian untuk memberikan penjelasan tentang status quo, tatanan sosial, konsensus, integration sosial, solidaritas, kebutuhan akan kepuasan dan keadaan yang sebenarnya. Mendekati kekhawatiran ini umumnya sosiologi berhubungan dengan sudut pandang yang cenderung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Para fungsionalis paradigma menghasilkan sosiologi regulatif dalam bentuk yang dapat dikembangkan sepenuhmya. Dalam pendekatan secara keseluruhan itu berusaha untuk memberikan penjelasan rasional yang perlu mengenai urusan sosial. Ini adalah perspektif yang sangat pragmatis dalam orientasinya, peduli untuk memahami masyarakat dengan cara menghasilkan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan. Hal ini sering menimbulkan masalah-berorientasi dengan pendekatan, yang berhubungan denganmenetapkan  solusi praktis dalam masalah-masalah yang praktis. Hal ini biasanya tegas berkomitmen untuk rekayasa filsafat sosial sebagai dasar perubahan sosial dan menekankan pentingnya memahami ketertiban, keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat dan cara bagaimana ini dapat dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan berlakunya ‘regulasi’ dan kontrol dalam kejadian sosial.

Paradigma Interpretatif

Teoretisi terletak dalam konteks paradigma interpretif mengadopsi pendekatan konsonan dengan prinsip-prinsip apa yang kita miliki digambarkan sebagai sosiologi regulasi, meskipun subyektivis nya pendekatan analisis dunia sosial membuat hubungan dengan sosiologi ini sering tersirat ketimbang eksplisit. Penafsiran paradigma diinformasikan oleh keprihatinan untuk memahami dunia sebagaimana adanya, untuk memahami sifat dasar dari dunia sosial di tingkat pengalaman subyektif. Ini berusaha penjelasan dalam ranah kesadaran individu dan subjektivitas, dalam kerangka rujukan peserta yang bertentangan dengan pengamat tindakan.

Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal

Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.

Paradigma humanis radikal didefinisikan oleh keprihatinan untuk mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari sudut pandang subyektif. Pendekatan untuk ilmu sosial memiliki banyak kesamaan dengan yang dari paradigma interpretatif, dalam hal ini memandang dunia sosial dari perspektif yang cenderung nominalis, anti-positivis, voluntaris dan ideografik. Namun, kerangka referensinya berkomitmen untuk pandangan masyarakat yang menekankan pentingnya menggulingkan atau melampaui keterbatasan pengaturan sosial yang ada.

Salah satu pengertian paling dasar yang mendasari seluruh paradigma ini adalah bahwa kesadaran manusia didominasi oleh superstructures ideologi yang ia berinteraksi, dan ini mendorong irisan kognitif antara dirinya dan kesadarannya yang benar.Wedge ini adalah irisan ‘keterasingan’ atau ‘kesadaran palsu’, yang menghambat atau menghalangi pemenuhan manusia sejati. Kepedulian utama terhadap teori mendekati keadaan manusia dalam istilah adalah dengan rilis dari kendala yang sosial yang ada pada pengaturan tempat pembangunan manusia. Ini adalah merek teorisasi sosial yang dirancang untuk memberikan kritik terhadap status quo. Hal ini cenderung melihat masyarakat sebagai anti-manusia dan yang bersangkutan untuk mengartikulasikan cara di mana manusia dapat melampaui ikatan spiritual dan belenggu yang mengikat mereka dalam pola sosial yang ada dan dengan demikian menyadari penuh potensi mereka.

Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.

Paradigma Strukturalis Radikal

Penganutnya juga memeprjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

Kritikan Pendapat Burrel dan Morgan

Namun pendapat Burrell dan Morgan dikritisi oleh Chua (1986) dan Sarankos (1998) yang membagi paradigma penelitian menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:

 Paradigma Positivis

Secara ringkas, positivisme adalah pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif (Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Bagi positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.

Paradigma Interpretif

Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman di dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari sosial world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka (Ghozali dan Chariri, 2007). Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007). Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).

Paradigma Critical

Menurut Neuman (2003), pendekatan critical lebih bertujuan untuk memperjuangkan ide peneliti agar membawa perubahan substansial pada masyarakat. Penelitian bukan lagi menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral/tidak memihak dan bersifat apolitis, namun lebih bersifat alat untuk mengubah institusi sosial, cara berpikir, dan perilaku masyarakat ke arah yang diyakini lebih baik. Karena itu, dalam pendekatan ini pemahaman yang mendalam tentang suatu fenomena berdasarkan fakta lapangan perlu dilengkapi dengan analisis dan pendapat yang berdasarkan keadaan pribadi peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara ringkas, pendekatan critical didefinisikan sebagai proses pencarian jawaban yang melampaui penampakan di permukaan saja yang seringkali didominasi oleh ilusi, dalam rangka menolong masyarakat untuk mengubah kondisi mereka dan membangun dunianya agar lebih baik (Neuman, 2003:81).

Sehingga dua paradigma yang dibangun oleh Burrell dan Morgan yaitu Paradigma Radical Humanist dan Radical Structuralist menjadi satu. Hal ini dimungkinkan munculnya paradigma baru yang merupakan gabungan antara kedua paradigma tersebut. Dalam hal ini pendapat penulis didukung oleh Chua maupun Sarankos yang mewadahi kedua paradigma tersebut dalam satu wadah yaitu Paradigma Kritis (The Critical Paradigm). Penulis tersebut menggabungkan antara Paradigm Radical Humanist dan Radical Structuralist menjadi satu karena menurut mereka kedua paradigma tersebut sebenarnya memiliki kesamaan ide. Paradigma ini mirip dengan Radical Humanist namun strukturalis lebih bersifat makro yaitu pada kelas-kelas (kelompok) yang ada dalam masyarakat atau struktur industri. Kelas-kelas tersebut menimbulkan dominasi satu kelompok tertentu (yang lebih tinggi, seperti pengusaha) terhadap kelompok lainnya (yang lebih rendah, misalnya buruh).

Paradigma Posmodernisme

Posmodernisme merupakan suatu gerakan yang dipicu oleh berbagai ekses negatif dari modernisme yang hendak merevisi kemodernan itu.  Sebutlah misalnya ajaran yang biasa menyebut dirinya metafisika New Age. Mungkin bisa pula dimasukkan di sini pemikiran-pemikiran yang mengaitkan diri dengan wilayah mistiko-mitis. Mereka ini umumnya muncul dari wilayah Fisika Baru, dan bersemboyan “holisme” yang mendekonstruksi atau membongkar segala unsur penting dalam sebuah gambaran dunia seperti: diri, tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dan seterusnya.

Rosenau (1992) dengan jelas menerangkan beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya posmodernisme sebagai berikut: pertama, ketidaksabaran atas kegagalan untuk menghasilkan secara dramatis hasil yang dijanjikan oleh ilmu pengetahuan modern. Kedua, perhatian mulai berfokus pada penyimpangan dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan modern. Dalam memandang realitas, posmodernisme cenderung untuk mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang secara cukup kuat mewakili realitas. Ia juga menolak beberapa pandangan tentang realitas yang menganggap alami proses mental individu dan komunikasi antar subjek dalam. Posmodernisme mengakui dua pendekatan metodologi, yakni: interpretasi anti-objektif dan dekonstruksi.

Karakteristik posmodernisme (posmo) dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Karakteristik posmo tidak hanya mengubah sikap ilmiah, melainkan substansi telaahnya dikenal dengan baik. Posmo mengartikan sebuah kritikan atas realitas modern yang dianggap telah gagal dalam pencerahannya. Dengan demikian, posmo adalah sebuah aliran pemikiran dan menjadi sejenis paradigma baru yang anti-tesis  dari  modernisme  karena  dinilai  telah  gagal  dan  tidak  lagi  relevan dengan  perkembangan zaman. Modernisme  telah  ditandai oleh  kepercayaan penuh pada keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekuler, tetapi ternyata tidak cukup kokoh untuk menopang era industrialisasi dalam membawa kesejahteraan bagi kehidupan masyakarat.

Referensi

Burrel, Gibson & Gareth Morgan. 1979. Sociological Analysis & Organisational Analysis: Element of The Sociology of Corporate Life. Heinemann Educational Books, London.

Chua, Wai Fong. 1986. Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review, Vol 61, No 4.

 

 

Postmodernisme

*Suhartono

POSTMODERNISME

Pengertian Postmodernisme

Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Sementara menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori.

Istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk menyebutkan gerakan kritik di bidang sastra, khusunya sastra Prancis dan Amerika Latin. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditanai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan. Sementara menurut Frederic Jameson, mengartikan postmodernisme adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.

Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar dan sebagainya. Dengan pandangan macam itulah, Lyotard membawa istilah “postmodernisme” kedalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan ”postmodernisme”. Oleh sebab itu. Istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekedar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya” (Cultural and society Vol. 5, 1988, hlm. 195-213).

Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)

Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.

Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.

Heterogenitas  yang mungkin menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

Sejarah Perkembangan dan Konsep Dasar Postmodernisme

Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern yang mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakannya dalam sebuah karya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam bukunya yang berjudul “A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur.

Postmodernisme lahir sebagai kritik atas modernisme. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal. Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.

Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan berkembang. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas.

Pada akhirnya istilah postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus. Dalam postmodernisme, kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruksi sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari anggapan kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteristik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidak-percayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Lebih gampangnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam perspektif terbatas oleh ras, gender dan group etnis masing-masing.

Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis.  Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative  telah kehilangan legitimasi. Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.

Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya. Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis,  Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994:17).

Tokoh-tokoh postmodernisme yaitu Rudolf Pannwitz, Federico de Onis, Arnold Toynbee, Jean Francois Lyotard, Zygmunt Bauman, John Milbank, Flaskas, Ilhab Hasan dan lain sebagainya. Sikap-sikap kritis mereka terhadap modernism tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme.

DERRIDA POSTMODERNITAS

Jacques Derrida dikenal sebagai pendasar teori dekonstruksi yang menjadi wacana postmodern. Sebagai pendasar teori, tentunya ada sejumlah ide menyertai perjalanan refleksi intelektualnya, sampai pada akhirnya ia menggagas konsep dekonstruksi. Oleh karena itu, ada beberapa hal pokok yang penulis sajikan untuk memahami konsep dekonstruksi Derrida. Pertama-tama adalah dengan memahami belakang konsep lahirnya dekonstruksinya.

Beberapa butir pemikiran yang menyertai konsep dekonstruksi antara lain adalah différance dan metafor serta peranan imajinasi di dalamnya. Setelah menjelaskan makna imajinasi di dalam dekonstruksi, terakhir penulis coba mengangkat sebuah tendensi postmodernisme untuk melahirkan filsafat imajinasi sebagai jawaban atau realitas yang selalu ambigu.

Konteks Historis Lahirnya Teori Dekonstruksi

Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.

Derrida bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik rasionalisme Barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat, seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat, bermain-main, alusif dan literer. Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa filsafat bukan lagi suatu representasi kebenaran. Bahasa lisan adalah instabil yang tidak memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda berdasarkan konteks. Baginya, segala sesuatu adalah teks dan kenyataan filosofis adalah kenyataan tekstual.

Pemikiran Dekonstruksi Derrida yang memberikan warna bagi dunia postmodernisme, merupakan jawaban atas situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian yang sangat menekankan metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada,” metafisika selalu menjadi tema yang utama dan tetap. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa metafisika yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.

Dalam karya-karya awalnya, Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologi Husserl. Di sini Husserl melanjutkan tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai kehadiran pada dirinya. Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger di mana ada juga beberapa yang dibantahnya. Tetapi Derrida sempat tenggelam dalam pemikiran Heidegger, bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan bahasalah yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu terbatas oleh bahasa yang berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’ maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat menimbulkan masalah-masalah tentang cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka, dengan mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan teorinya yang sama sekali bertolak belakang.

Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi

Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.

Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.

Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati.

Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”

Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.

Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.

Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.

Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

 Differance dan Metafor Dalam Teori Dekonstruksi Derrida.

Différance

Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.  Différance itu memiliki perbedaan dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana makna ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda (postponed). Karena itu, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.

Dekonstruksi Derrida bermula dari huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana Derrida memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa ambigunya sebuah kata yang tampak tunggal dan sederhana. Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka metafisis.

Istilah Différance, dapat dibeakan dalam empat arti yaitu: pertama, différance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep. Ketiga, différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara

Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida, tak ada identitas terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.

Metafor

Sejarah metaphor menurut Derrida pertama-tama mengandaikan adanya arkhe transendental yang menjadi basis pengetahuan dan asal-usul bahasa. Konsep metafor pertama kali dirumuskan secara gamblang oleh Aristoteles dalam Poetica. Aristoteles menyatakan bahwa metafor terdiri atas pemberian (epiphora) nama (onomatos) atau sesuatu yang sebetulnya milik sesuatu yang lain.

Menurut Aristoteles, sumber arkhe pertama dari metafor adalah alam. Alam memberikan dirinya dalam bentuk metafor. Manusia meniru pergerakan alam dan menciptakan sebuah sistem bahasa yang puitis untuk mendramatisasi kekagumannya pada alam. Dengan kata lain metaphor lahir dari hasrat mimetik untuk meniru sesuatu yang ideal dan tak terbahasakan.

Dalam artikelnya, The Retrait of Metaphor, Derrida mengembangkan gagasan metafor yang dibangun Heidegger. Ada pun metafor yang oleh Heidegger ditampilkan dengan mendekonstruksi metafisika, adalah reaksi terhadap genealogi Nietzsche yang mengutamakan metafor dengan cara melacak akar metaforis pernyataan-pernyatan filosofis.

Dengan dekonstruksi metafisika dan kritiknya atas konsep metaphor yang dibangun Nietzsche itu sebetulnya Heidegger bermaksud untuk mengubah sikap dasar kita dalam memandang bahasa secara umum. Baginya, hubungan yang otentik dengan bahasa, bukanlah hubungan di mana bahasa kita anggap sebagai objek atau sarana belaka dan kita gunakan berdasaran suatu sistem predikasi dan penekanan baku yang ketat dan pasti. Menurut Derrida, bahasa pertama-tama adalah suatu kenyatan terberi yang menyingkapkan sebuah dunia bagi kita sedemikian hingga dunia yang kita pahami selalu berkait erat dengan bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang yang kita pahami di luar bahasa.

Derrida kemudian mengubah haluan konsep ini. Bila Heidegger menyerang metafisika dalam pembendaan antara taraf inderawi dan non inderawi, maka Derrida menyerang metafisika dalam pembedaan arti katanya. Bagi Derrida, baik antara ‘bunyi kata’ dan dan artinya, maupun antararti dan antarbunyi kata itu sendiri, pembedaan yang terjadi hanyalah permainan yang bisa dibuat sewenang-wenang.

Akibatnya, arti literal dan arti metaforis tidaklah jelas untuk diketahui. Dekonstruksi memiliki sendi tak tergoyangkan ketika dia menyatakan kemustahilan pereduksian metaphor karena difference telah ‘mengerjai’ makna ‘literal’ yang baku. Segala pernyataan bisa bersifat metaforis bisa juga literal tergantung pada bagaimana kita membedakannya. Dengan kata lain, pembedaan antara yang literal dan yang metaforis sebetulnya tidak ada artinya lagi, sehingga dekonstruksi menemukan bahwa tidak ada yang dinamakan makna literal itu.

MICHEAL FOUCAULT

Michel Foucault adalah seorang pemikir post-post-strukturalis yang lahir di Poitiers pada tahun 1926. Ia memulai kariernya dengan bekerja di sebuah rumah sakit jiwa dan kemudian meluncurkan berbagai karya antara lain Les Mots et les Choses (1960) dan L’Archeologie de Savoir (1969). Pada April 1970 ia diangkat menjadi dosen di College de France. Ia memulai perkuliahannya dengan mengangkat judul “The Will to Truth” yang membahas tentang “praktek-praktek diskursif”.

Menurut Michel (1989) “ Kelompok-kelompok yang teratur (dalam praktek-praktek diskursif) sekarang tidak sesuai dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan untuk pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang cukup luas di luar mereka dan sering menyatukan berbagai kelompok. Akan tetapi mereka tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin, meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama.

Penjelasan Foucault ini menggambarkan ciri inovatif dan individualis dalam karyanya. Metode struktural dijadikannya metode satu-satunya serta metode piker yang mencakup segala-galanya dan menerapkannya juga pada sejarah.

Pemikiran Dasar Foucault

Menurut Foucault, kita tidak bisa mereduksikan “praktek-praktek diskursif” menjadi kategori oeuvre individu atau disiplin akademik. Akan tetapi, praktek diskursif tersebut adalah sebuah keteraturan yang kemudian muncul dalam fakta artikulasi itu sendiri: ia tidak datang sebelum artikulasi dilakukan. Sistematika praktek diskursif itu sendiri tidak berjenis linguistik maupun logis. Keteraturan suatu diskursus itu bersifat tidak sadar dan berlangsung dalam tatanan parole Saussure, dan tidak pada tatanan langue yang sudah ada sebelumnya.

Ia juga banyak berbicara mengenai sejarah. Olehnya sejarah didekatinya sedemikian rupa, sehingga yang penting baginya bukanlah “bagaimana keadaannya di masa lampau”, melainkan struktur-strukturnya yang terungkap dalam pembahasan-pembahasan (diskursus) yang dilakukan oleh para penyelenggara ilmu pengetahuan serta para sastrawan pada suatu masa tertentu. Maka di dalam sejarah ini yang utama bukanlah unsur diakronik, melainkan unsur sinkronik.

Pemahaman sejarah Foucault berusaha menghindari “proyeksi ‘makna’ ke dalam sejarah”. Hal ini berkenaan dengan analsisnya mengenai “rezim praktek” yang mana bisa saja diambil karena adanya garis yang memisahkan antara perkataan dan perbuatan ─seperti antara melihat dan berbicara─ selalu berada dalam keadaan yang tidak stabil. Maka dari itu rezim-rezim praktek tidak bisa direduksikan kepada bentuk tindakan yang ahistoris. Untuk memahaminya maka dibutuhkan analisis terhadap sebab, seperti pelaku di balik tindakan.

Berkaitan dengan itu, Foucault juga menulis banyak buku, salah satunya adalah The Order of Things: An Archeology of Human Sciences. Dalam buku ini Foucault memaparkan pandangannya tentang manusia, sang pelaku, yang dihapuskan, “seperti wajah yang dilukis pada pasir di tepi pantai”.3 Yang kemudian bisa diambil dari hal ini ialah tidak ada makna esensial dibalik benda, tidak ada subjek esensial di balik tindakan; dalam sejarah juga tidak ada tatanan esensial. Akan tetapi tatanan itu ada di dalam penulisan sejarah itu sendiri.

Pandangan tentang Bahasa

            Untuk memahami pemikiran Foucault maka dimulai dengan 2 pertanyaan terkait bahasan diatas, yang pertama ialah, “Struktur manakah yang terdapat dalam pembahasan pada sesuatu masa tertentu? Dan yang kedua ialah “Tatanan benda-benda manakah yang terungkap dalam tatanan kata-kata?”

Untuk menjawabnya, disini ia membedakannya menjadi 3 masa: masa renaissance, masa klasik dan masa modern. Pada setiap masa, hubungan antara kata-kata dengan benda-benda berbeda-beda. Foucault mengatakan bahwa:

  1. Pada masa renaissance orang mendasarkan diri pada kesadaran akan adanya keserupaaan (resemblance) antara kata-kata dengan benda-benda. Maka terdapatlah pertalian yang sangat erat antara kedua hal tersebut.
  2. Pada masa klasik, kata-kata melepaskan diri dari benda-benda. Orang mulai memperhatikan watak pemberi gambaran yang dipunyai oleh kata-kata dan dengan demikian orang tegas-tegas menyadari akan adanya jarak antara bahasa dengan dunia.
  3. Kini bahasa menjadi gambaran (representasi) dunia. Sekitar peralihan abad ke 18 ke abad 19 bahasa dan dunia kedua-duanya ditinjau dari segi kesejarahannya.4

Selanjutnya Foucault berbicara mengenai epistema. Ini erat hubungannya dengan 3 masa diatas. Epistema adalah sebuah sistem. Dijelaskan bahwa menurut Foucault, epistema ialah prasyarat munculnya pengetahuan dan teori. Jadi, ia adalah latar tersembunyi dibelakang pengetahuan; epistema adalah struktur dasar yang berada diluar sejarah.

Yang ditanyakan selanjutnya ialah, “Siapakah yang berbicara (subyek) dalam epistema?” Jawabannya bukanlah Tuhan dan manusia. Menurut Foucault, Tuhan telah mati, dan manusia tak lebih dari mitos; ia hanyalah invention of recent date. Lalu siapakah yang berbicara jika bukan keduanya? Ialah bahasa. Melalui dan mengggunakan bahasa, epistema mengetahui dirinya. Jadi, epistema adalah obyek dan bahasa adalah subyek—walaupun kalangan postmodernis menolak pembagian dikotomis ini, namun realitanya, mereka tak bisa menghindarkan diri. Manusia sebagai subyek sudah ditinggalkan, karena itu, Foucault selanjutnya mengumumkan kematian manusia, sebagai implikasi logis kematian Tuhan.

Foucault dengan J. Lacan mempunyai pandangan yang sama mengenai  bahasa. Foucault mengatakan bahwa yang berbicara bukanlah subyek, tapi struktur linguistik dan sistem bahasa. Sementara Lacan menegaskan bahwa jalan yang telah dirintis oleh Freud tak memiliki makna selain bahwa, alam bawah-sadar adalah bahasa. Mereka tampaknya memahami bahasa secara luas.

Gagasan lain Foucault yang terpenting, berkenaan dengan wacana (discourse). Dalam discourse, bahasa adalah mediator. Wacana adalah ucapan yang dengannya pembicara menyampaikan segala sesuatu kepada pendengar. Unsur terkecil dari wacana adalah kalimat. Wacana yang diperkuat dengan tulisan disebut teks. Wacana merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan (statement) yang berbeda dengan ungkapan (utterance) maupun proposisi (proposition). Yang dimaksud Foucault disini bukanlah sekedar perbincangan sehari-hari, tapi perbincangan yang serius (serious speech-act). Serius tidaknya suatu perbincangan diukur berdasar intensitas keterlibatan unsur relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana tersebut.

Dalam The Order of Things, Foucault memberikan pandangan tentang bahasa pada teori genealoginya. Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam “apa yang ditulis” dan “apa yang menjadi tafsirnya”, keduanya saling terjalin tanpa pemisahan. Hal ini adalah salah satu dari pemikirannya tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan menjadi tafsirnya tidak bisa dipisahkan dalam subjek dan objek. Keduanya terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.

Tata Wacana

Ada beberapa simpul inti pemikiran Foucault yang penting, yaitu wacana,diskontinuitaskuasa-pengetahuan, dan episteme. Penggunaan terma wacana (discourse) dipopulerkan Foucault dan menjadi konsep penting dalam pemikirannya.  Aturan, sistem, dan prosedur disebutnya dengan “tata-wacana” yaitu keseluruhan wilayah konseptual di mana pengetahuan itu dikonstruksi (dibentuk dan dihasilkan). Wacana dalam pengertian ini adalah keseluruhan domain di mana bahasa dipakai dalam tata-cara tertentu.  Domain itu berakar dalam berbagai praktek kehidupan, lembaga, dan tindakan manusia.  Dalam arti paling luas, wacana berarti segala sesuatu yang ditulis, diucapkan, dikomunikasikan dengan tanda-tanda—dan merupakan kumpulan pernyataan.  Karena itu, studi teks, sejarah, budaya dan klaim obyektivitas dan kebenaran harus ditunda, karena telah dipengaruhi oleh aturan, perbedaan makna, dan strategi yang sama dengan naratif lainnya.  Kini batas antara ‘fakta’ dan ‘fiksi’ semakin buram, karena perlu diperiksa secara ketat.

Genealogi Foucault

Rasionalitas dianggap menghasilkan pengetahuan dan wacana kebenaran.  Namun Foucault mengingatkan, bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, wacana sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya6. Wacana itu dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu.  Untuk itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.

Foucault menyebut metodenya ‘genealogi’, sebagai bentuk penelusuran historis tentang terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, obyek pengetahuan dan wacana ilmiah.  Dalam melakukan penelusuran itu, ia tidak menemukan kontinuitas tetapi diskotinuitas/keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana.  Foucault mengatakan le langage ne dit pas exactement ce qu’il dit7. yang artinya bahasa tidak mengatakan secara persis apa yang dia katakan. Justru karena bahasa tidak pernah eksak mewakili sebuah makna atau realitas, maka bahasa terbuka bagi sebuah pemaknaan tanpa batas. Genealogi adalah sejarah yang ditulis sesuai dengan komitmen terhadap masalah-masalah masa kini, dan ia akan menerobos masuk masa kini.

Pengetahuan dan Kekuasaan

Foucault, melalui teori wacana, menolak pusat atau titik tolak pemikiran.  Kalau ‘pusat’ harus ada, maka pusat itu adalah bahasa atau teks.  Wacana paling bertanggung jawab dalam membentuk atau mencitrakan subyek dan obyek dalam epistemologi, khususnya pembentuk subyek. Wacana dalam ilmu dan praktek sosial adalah jaringan praktik pengetahuan dan kekuasaan.  Wacana menciptakan subyek ilmu-ilmu sosial dan obyek-obyeknya (penyakit, seksualitas, kegilaan dsb).  Foucault, dalam penelitiannya menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai oleh the will to power.

Pemikiran Foucault tentang kekuasaan sangat penting, karena ia merelativisir segala sesuatu yang selama ini dianggap absolut.  Ia menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia dan sebagainya dalam kerangka relasi dengan kekuasaan.  Kekuasaan menurutnya bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu.   Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan tidak berada di luar kekuasaan, tetapi berada dalam kekuasaan itu.  Karena itu, kekuasaan adalah kebenaran.

Foucault membahas kuasa dari segi mekanisme dan strategi kuasa.  Ia tidak berbicara tentang apa itu kuasa, tetapi bagaimana kuasa itu diperaktikkan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran, serta bagaimana kuasa berfungsi dalam bidang tertentu.  Kuasa tidak hanya bekerja melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi pertama-pertama melalui aturan-aturan dan normalisasi. Kuasa ternyata berkaitan erat dengan pengetahuan.  Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada pula kuasa tanpa pengetahuan.   Pelaksanaan kuasa itu, bagi Foucault, tidak mungkin tanpa ada wacana yang bersifat esensial dalam setiap kebudayaan dan masyarakat.

Menurut Foucault, hakekat kekuasaan telah berubah. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan satu orang atau lembaga, tetapi tersebar luas dalam masyarakat dan cenderung ter-sembunyi.  Perubahan itu disebabkan oleh berubahnya fondasi kekuasaan. Dahulu fondasi kekuasaan adalah kehendak, baik kehendak raja atau rakyat, maka kekuasaan didapat me-lalui kumpulan kehendak, kesepakatakan, perserikatan, dan partai politik.  Kini, kekuasaan tidak lahir dari kehendak, tetapi melalui pengetahuan.  Pengetahuan tidak netral, tetapi politis,  menunjang dan memberi kekuasaan.  Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah mengetahui dan mengendalikan tingkah laku manusia. Foucault memahami ilmu pengetahuan sosial sebagai alat penguasaan manusia atas manusia, artinya untuk mengendalikan dan mempengaruhi putusan (tubuh dan jiwa orang lain).  Tubuh dilihat sebagai mesin hidup sebagai sumber daya dan tenaga kerja yang perlu dikendalikan dan dimanfaatkan guna kemajuan.

Salah satu metode pengendalian adalah melalui disiplin bekerja, normalisasi, dan regulasi. Normalisasi adalah membuat norma dan aturan-aturan bagi tindakan, sedangkan regulasi menyusun aturan konkret yang harus diikuti.  Norma mengambil peran hukum, agar terwujud efektivitas dan produktivitas.  Tubuh dilihat memiliki fungsi ekonomi dan fungsi politis. Karena itu, dibuatkan peraturan dan disiplin untuk meningkatkan utilitas dan docilitas (kepatuhan dan ketertiban) bagi sikap dan tingkah-laku manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan, kata Foucault.  Kerapkali pengetahuan, kekuasaan, dan tenaga fisik bekerjasama.  Kuasa dan pengetahuan pertama-tama bekerja melalui bahasa.

 

Daftar pustaka

Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung

Derrida, Jacques. Writing and Difference, Translated, with an Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press, 1978.

MatsAlvesson. 2002. Postmodernism and Social Research.

Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta:

Michel Foucault, 1989. Résumé des cours, 1970-1982, Paris, Juillard.

http://en.wikipedia.org/wiki/ postmodernisme

http://ahmadhariantosilaban.blogspot.com/2011/06/makalah-postmodernisme.html

http://brenmorin.blogspot.com/2009/07/menggagas-peranan-imajinasi-dalam-teori.html

http://journal.ui.ac.id/index.php/jsm/article/viewFile/3734/2973