Gratifikasi

Gratifikasi

*Purwanto Wahyudi

Gratifikasi merupakan unsur yang penting dalam sistem dan mekanisme pertukaran hadiah. Sehingga kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan pada penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat seperti: Apa yang dimaksud dengan gratifikasi? Apakah gratifikasi sama dengan pemberian hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat? Apakah setiap gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum? Apa saja bentuk gratifikasi yang dilarang maupun yang diperbolehkan?

Kasus yang paling jamak terjadi adalah pengguna layanan memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih kepada petugas layanan misalnya dalam pengurusan KTP, IMB, IUP, SIM, Pengurusan adminitrasi dll karena mendapatkan pelayanan yang baik (sesuai prosedur) dari petugas sehingga pengurusan administrasi dapat selesai tepat waktu. Apakah pemberian pengguna layanan kepada petugas termasuk pemberian yang dilarang? Apa yang harus dilakukan pengguna layanan dan petugas administrasi?

Pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat. Dengan demikian kita sebagai warga Negara harus mengetahui apa sebenarnya gratifikasi dan apa saja yang termasuk dalam gratifikasi.

Apa yang dimaksud dengan gratifikasi?

Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No­mor 20 Tahun 2001, bahwa:

“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.

Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut.

Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan tentang gratifikasi berdasarkan penjelasan sebelumnya diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri. melalui pengaturan ini diharapkan penyelenggara negara atau pegawai negeri dan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat, yaitu menolak atau segera melaporkan gratifikasi yang diterimanya. Secara khusus gratifikasi ini diatur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001,tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  Pasal 12B:

  • Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
  • yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  • yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  • Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 16:

Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut :

  • Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
  • Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat :
  • nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
  • jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
  • tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
  • uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
  • nilai gratifikasi yang diterima

Kategori Gratifikasi

Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gratifikasi yang Dianggap Suap dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yaitu:

  • Gratifikasi yang Dianggap Suap, yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
  • Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap, yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kawajiban atau tugasnya

Gratifikasi yang tidak dianggap suap yang terkait dengan kegiatan kedinasan meliputi penerimaan dari:

  • pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
  • pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima

Beberapa contoh gratifikasi

Beberapa contoh kasus gratifikasi berdasarkan ketentuan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun. Tentu saja hal ini hanya merupakan sebagian kecil dari situasi-situasi terkait gratifikasi yang seringkali terjadi.

Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi adalah:

  • Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.
  • Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut.
  • Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan.
  • Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.
  • Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
  • Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
  • Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu

Contoh Kasus

Kasus 1:

Anda sebagai seorang pejabat senior di biro perlengkapan yang mempunyai kewenangan dalam hal pengadaaan barang dan jasa sebuah Kementerian. Kemudian, seorang penyedia barang dan jasa yang sudah 2 (dua) tahun melayani peralatan komputer untuk Kementerian Anda menawarkan komputer cuma-cuma untuk digunakan di rumah Anda selama Anda membutuhkannya. Tiga bulan lagi kontrak layanan peralatan komputer bagi Kementerian Anda akan diperbaharui, dan Anda biasanya menjadi anggota dari kepanitiaan yang memutuskan perusahaan mana yang memenangkan kontrak tersebut.

Pada kasus diatas termasuk konsep gratifikasi karena Sebagai penyelenggara negara/pegawai negeri (pegawai senior dari biro perlengkapan di sebuah Kementerian), Anda telah menerima hadiah (gratifikasi) berupa komputer dari pihak yang Anda ketahui sebagai rekanan dari Kementerian. Anda juga mengetahui bahwa Anda akan menjadi panitia pengadaan yang berhak untuk menentukan perusahaan mana yang akan dipilih oleh Kementerian untuk memberikan layanan pengadaan komputer. Pemberian komputer ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi independensi Anda pada saat menentukan siapa pemenang tender. Karena dengan pemberian tersebut Anda akan merasa berhutang budi pada kontraktor yang telah memberikan komputer.

Kasus 2:

Seorang pejabat melakukan perjalanan dinas jabatan dalam rangka mengikuti kegiatan di luar daerah. Pejabat tersebut mengikutsertakan istri dan anak-anaknya untuk ikut dalam perjalanan tersebut. Tetapi semua biaya perjalanan mulai dari tiket sampai dengan akomodasi hotel dibiayai oleh instansi tempat dimana dia bekerja. Padahal istri dan anak-anaknya tidak memiliki hubungan dengan kegiatan yang akan diikuti oleh pejabat tersebut.

Pada kasus diatas merupakan tindakan gratifikasi karena instansi terbebani dengan membiayai semua perjalanan istri dan anak-anak pejabat tersebut yang tidak ada kaitanya dengan kegiatan yang akan diikuti oleh pejabat, seharusnya jika keluarga pejabat tersebut ikut sebaiknya menggunakan biaya pribadi dan tidak membebankan kepada instansi.

Kasus 3 :

Seorang dosen pembimbing dan penguji menerima parsel dari mahasiswa yang dibimbingnya ataupun yang diujinya dengan alasan rasa terima kasih.

Kasus tersebut merupakan konsep gratifikasi karena walaupun pemberian parcel tersebut diberikan secara sukarela dan tulus hati kepada dosen, tetapi pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berkaitan dengan kewajibannya sebagai dosen, oleh karena itu mahasiswa berhak dan pantas untuk diberikan bimbingan dan diuji oleh seorang dosen disetiap perguruan tinggi.

Dengan adanya pemahaman ini, maka seyogyanya masyarakat tidak perlu tersinggung seandainya pegawai negeri/penyelenggara negara menolak suatu pemberian, ataupun hadiah yang akan diberikan, hal ini dilakukan dikarenakan kesadaran terhadap apa yang mungkin tersembunyi di balik gratifikasi tersebut dan kepatuhannya terhadap peraturan perundangan.

 

 

 

Daftar Baca

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Buku Saku Memahami Gratifikasi, Edisi 2014

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pedoman Pengendalian Gratifikasi

Dasar Hukum Zona Integritas

1. AGEN PERUBAHAN

PERMENPAN RB NO. 27 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN AGEN PERUBAHAN DI INSTANSI PEMERINTAH

 

2. BENTURAN KEPENTINGAN

KMA 255 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENANGAN BENTURAN KEPENTINGAN PADA KEMENTERIAN AGAMA

 

3. PEDOMAN EVALUASI PMPRB

PERMENPAN RB NO 14 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN EVALUASI REFORMASI BIROKRASI INSTANSI PEMERINTAH

 

4. PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS

PERMENPAN RB NO 52 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS MENUJU WILAYAH BEBAS KORUPSI DAN WILAYAH BIROKRASI BERSIH DAN MELAYANI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

 

5. PENGENDALIAN GRATIFIKASI

PMA 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN GRATIFIKASI PADA KEMENTERIAN AGAMA

KMA 224 TAHUN 2015 TENTANG UNIT PENGENDALIAN GRATIFIKASI PADA KEMENTERIAN AGAMA

 

6. PERJANJIAN KINERJA

PERKIN 2015 INSPEKTORAT JENDERAL KEMENTERIAN AGAMA RI

PERMENPAN RN NO 53 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK TEKNIK PERJANJIAN KINERJA, PELAPORAN KINERJA DAN TATA CARA REVIU ATAS LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

 

7. WBS DAN DUMAS

KMA 95 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT DAN WHISTLEBLOWING DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA

Kecurangan dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Kecurangan dalam Pengadaan Barang dan Jasa

*Muh Amrih

Fungsi pengadaan merupakan fungsi yang paling depan dalam penentuan ekonomisasi suatu organisasi. Begitupula dalam menjalankan fungsi pemerintahan, sudah pasti dibutuhkan logistic, peralatan dan jasa yang menunjang optimalnya kerja instansi tersebut. Kebutuhan ini dipenuhi oleh beberapa pihak, baik itu perusahaan milik pemerintah maupun swasta. Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah menurut undang-undang nomor 70 tahun 2012 adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.

Kemampuan memperoleh barang dan jasa dengan pengorbanan terkecil dari berbagai alternative yang ada tanpa mengabaikan standar kualitas yang telah ditetapkan, mencerminkan inovasi instansi pemerintah dalam proses pengadaan. Pihak pemerintah memiliki wewenang untuk memilih dan menentukan dengan pihak siapa akan melakukan transaksi pengadaan barang dan jasa. Pemerintah yang dikelolah dengan baik akan menempatkan pegawai yang berkompeten, jujur dan bertanggung jawab di unit yang mengelolah  pengadaan barang dan jasa sehingga transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pihak ketiga tidak merugikan Negara.

Dalam memperdalam pengetahuan mengenai hukum pengadaan barang dan jasa, ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam pengadaan barang dan jasa untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi:

  1. Unsur perbuatan melawan hukum
  2. Unsur memperkaya diri atau orang lain atau korporasi
  3. Unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Pengadaan barang dan jasa juga terkadang ada kesempatan penyimpangan yang perlu dihadapi seperti Panitia pengadaan di pihak lain memiliki kewenangan untuk menentukan spesifikasi barang/jasa, harga, dan pemasok terpilih. Dengan kewenangan ini, pembeli menjadi sasaran kolusi dari pemasok. Berbagai godaan, baik yang timbul dari perilaku buruknya maupun datang dari pemasok, mendorong pihak pembeli terjebak pada perilaku menyimpang seperti:

  1. Menentukan spesifikasi yang menguntungkan pemasok tertentu
  2. Membatasi penyebaran informasi berkaitan dengan kesempatan melakukan tender,
  3. Berdalih pada kepentingan yang mendesak untuk melakukan penunjukan terhadap pemasok tertentu tanpa melalui tender untuk pengadaan yang seharusnya melalui tender,
  4. Melanggar kerahasiaan penawaran pemasok,
  5. Mendiskualifikasikan pemasok potensial melalui prakualifikasi yang tidak benar,
  6. Menerima sogokan,
  7. Gagal dalam memenuhi standar kualitas, kuantitas dan standar kinerja pengadaan lainnya,
  8. Mengalihkan pengiriman barang untuk dijual kembali atau digunakan secara pribadi,
  9. Meminta keuntungan pribadi dari pemasok,
  10. Memalsukan kualitas atau standar sertifikasi,
  11. Meningkatkan atau menurunkan nilai faktur.

Berbagai penyimpangan lain yang mungkin terjadi dalam pengadaan dapat berupa :

  1. Pengadaan barang fiktif
  2. Harga pengadaan barang di-markup
  3. Pajak/PNBP sehubungan dengan pengadaan barang tidak dipungut dan/atau tidak disetorkan
  4. Kuantitas/ volume hasil pengadaan barang dikurangi
  5. Kualitas hasil pengadaan barang direndahkan
  6. Keterlambatan penyelesaian pekerjaan pengadaan barang
  7. Hasil pengadaan barang tidak bermanfaat /tidak dimanfaatkan (misalnya berlebihan, tidak sesuai kebutuhan, kualitas rendah, rusak);
  8. Pelanggaran ketentuan/ peraturan pengadaan barang yang berindikasi praktik KKN.

Untuk mencegah adanya kesempatan penyimpangan (korupsi) dalam pengadaan ini, sistem pengadaan yang dibuat Pemerintah  harus transparan dan efisien berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan berikut ini.

  1. Nilai uang.

Pengadaan harus mendapatkan barang/jasa sesuai spesifikasi dengan harga terendah (memaksimalkan nilai uang)

  1. Kejujuran dan Keadilan.

Panitia pengadaan harus berlaku jujur dan adil kepada seluruh pemasok yang memenuhi syarat untuk mengikuti kompetisi dalam pengadaan tersebut.

  1. Akuntabel dan transparan.

Seluruh proses dalam tahapan-tahapan pengadaan harus dilengkapai dengan catatan dan dokumentasi yang memadai sebagai bahan pertanggungjawaban. Disamping itu, proses pengadaan harus berjalan secara terbuka dan bisa dinilai oleh pihak pihak yang berkepentingan. Petugas pengadaan tidak boleh terlibat dalam konflik kepentingan dan mampu menjaga kerahasiaan informasi-informasi detail yang berkaitan dengan pengadaan tersebut.

  1. Efisiensi

Proses pengadaan harus berjalan secara efisien (optimalisasi penggunaan sumber daya dalam pengadaan).

  1. Kompetensi dan integritas.

Petugas pengadaan (pejabat dan pelaksana) harus memiliki kompetensi yang memadai (ditunjukkan dengan sertifikat yang harus dimiliki) dan berintegritas tinggi dalam menjalankan tugas,wewenang, dan tanggungjawabnya.