Konsep Materialitas dalam Audit

Penerapan materialitas bukan merupakan suatu permasalahan yang baru. Materialitas diterapkan dalam hampir semua keputusan yang melibatkan aktivitas ekonomi. Berbagai lembaga profesi akuntansi, profesi akuntan publik, profesi auditor pemerintah, otoritas pasar modal di Amerika Serikat, maupun Komite Standar Akuntansi Internasional memberikan berbagai pandangan mengenai materialitas, terutama dikaitkan dengan penyajian dalam laporan keuangan.

Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai suatu besaran penyimpangan atau kesalahan penyajian atas informasi akuntansi dalam suatu kondisi tertentu, yang  memungkinkan keputusan dari orang yang mengandalkan informasi tersebut berubah atau terpengaruh karena adanya penyembunyian atau kesalahan penyajian tersebut (FASB Concepts Statement No.2, 1980).

Auditor harus mempertimbangkan materialitas untuk merencanakan audit dan merancang prosedur audit. Dengan mempertimbangkan materialitas, auditor dapat merancang prosedur audit secara efisien dan efektif.  Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual atau keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam suatu hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.

The GAO menetapkan dalam Government Auditing Standards (GAS) bahwa auditor dapat menetapkan tingkat materialitas yang lebih rendah dalam audit atas Laporan Keuangan Pemerintah karena akuntabilitas dari entitas, permintaan Undang-undang, dan sensitivitas dari program, kegiatan, dan fungsi entitas pemerintah. (GAS, 1994; 34). Auditor juga harus mempertimbangkan kenyataan bahwa laporan-laporan pada sektor publik berkaitan erat dengan aspek legal dan kepatuhan pada peraturan-peraturan yang berlaku.

Konsep materialitas juga tersirat dalam peraturan BPK Nomor 1 tahun 2007 pernyataan standar pemeriksaan Nomor 02 paragraf 19 yang menyebutkan bahwa auditor harus merancang pemeriksaan untuk memberikan keyakinan yang memadai guna mendeteksi salah saji material yang disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan.

Auditor sektor publik dalam menetapkan tingkat materialitas, baik dalam nilai absolut rupiah maupun dalam persentase, harus memperhatikan kebijakan yang telah ditetapkan oleh lembaga audit karena audit yang dilakukannya tidak berdiri sendiri melainkan bagian dari rencana strategis yang telah ditetapkan oleh lembaga. Pada bidang-bidang tertentu, pertimbangan politis suatu lembaga atau pos atau permasalahan mengharuskan auditor menetapkan tingkat materialitas khusus yang hanya berlaku untuk pos tersebut dan hal ini umumnya telah ada dalam panduan yang diberikan kepada auditor oleh lembaga auditnya.

Langkah-langkah penerapan materialitas sebagaimana disampaikan oleh Elder, Beasley, Arens (2008) dapat disarikan sebagai berikut:

  1. Menetapkan Pertimbangan Materialitas Awal
  2. Mengalokasikan Pertimbangan Materialitas Awal ke Setiap Bagian (Salah Saji yang Dapat Diterima)
  3. Memperkirakan Salah Sasji dan Membandingkan dengan Penilaian Awal
  4. Mengestimasi Salah Saji Gabungan
  5. Membandingkan Estimasi Salah Saji Gabungan dengan Materialitas dalam Penilaian Awal atau Penilaian yang Direvisi.

 

Agusriyanto, Toro. Tingkat Materialitas Hasil Pemeriksaan BPK atas laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2006. Artikel. Universitas Guna Darma

Referensi:

Agusriyanto, Toro. Tingkat Materialitas Hasil Pemeriksaan BPK atas laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2006. Artikel. Universitas Guna Darma.

Murwanto, dkk. Audit Sektor Publik Suatu Pengantar bagi Pembangunan Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah Departemen Keuangan RI.

Djalil, Rizal. 2014. Pertimbangan Kualitatif Pendekatan Baru dalam Audit. Jakarta : RMBooks.

Halim, Abdul. 2015. Auditing Dasar-Dasar Audit Laporan Keuangan Jilid 1 Edisi Kelima. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Bukti Audit

Bukti audit didefinisikan sebagai semua informasi yang digunakan oleh auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit telah disajikan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Informasi ini beragam tergantung pada tingkat pengaruhnya terhadap keputusan auditor mengenai apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, apakah kinerja auditan telah sesuai dengan yang diharapkan, atau tujuan audit lainnya. Bukti audit mencakup informasi yang tingkat pengaruhnya tinggi seperti hasil perhitungan auditor terhadap persediaan, dan juga informasi yang kurang berpengaruh seperti jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan auditor kepada auditan.

Para auditor harus ditugasi dan disupervisi sesuai dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengevaluasi bukti audit yang mereka periksa. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional yang berarti sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit. Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara obyektif menuntut auditor mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti tersebut. Oleh karena bukti dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, skeptisme profesional harus digunakan selama proses tersebut.

Kompetensi bahan bukti yang berupa catatan akuntansi berkaitan erat dengan efektivitas pengendalian internal klien. Semakin efektif pengendalian internal klien semakin kompeten catatan akuntansi yang dihasilkan. Kompetensi bukti audit yang berupa informasi penguat tergantung pada beberapa factor, yaitu:

  1. Relevansi
  2. Sumber bukti
  3. Ketepatan waktu
  4. Objektivitas

Prosedur-prosedur audit berikut dapat digunakan sebagai prosedur-prosedur penilaian risiko (risk assessment procedures), uji pengendalian (tests of controls) atau prosedur-prosedur substantif (substantive procedures), tergantung konteks di mana prosedur itu diterapkan auditor:

  1. Inspection (Inspeksi)
  2. Observation (Pengamatan)
  3. External Confirmation (Konfirmasi Eksternal)
  4. Recalculation (Perhitungan Kembali)
  5. Reperformance (Lakukan Kembali)
  6. Analytical Procedures (Prosedur Analitikal)
  7. Inquiry (Bertanya)

Standar audit menyatakan bahwa dokumentasi audit adalah catatan utama tentang prosedur auditing yang diterapkan, bukti yang diperoleh, dan kesimpulan yang dicapai auditor dalam melaksanakan penugasan. Dokumentasi audit harus mencakup semua informasi yang perlu dipertimbangkan oleh auditor untuk melakukan audit secara memadai dan untuk mendukung laporan audit. Dokumentasi audit juga dapat dianggap sebagai kertas kerja, meskipun semakin banyak dokumentasi audit yang diselenggarakan dalam file terkomputerisasi. Tujuan dokumentasi audit secara keseluruhan adalah untuk membantu auditor dalam memberikan kepastian yang layak bahwa audit yang memadai telah dilakukan sesuai dengan standar audit.

Dalam sektor publik, syarat sah bukti transaksi adalah:

  1. Bukti transaksi dibuat oleh penyedia layanan/penjual
  2. Pada bukti transaksi, diberi nama penerima, ditandatangani/diparaf dan dicap oleh penerima transaksi atau pimpinan organisasi
  3. Tertulis keterangan waktu terjadinya transaksi (tanggal, bulan, tahun)
  4. Tertulis barang/jasa apa saja yang ditransaksikan
  5. Tertulis jumlah uang yang ditransaksikan sesuai dengan pertukaran barang/jasa yang dilakukan
  6. Adanya materai pada jumlah transaksi tertentu, misalnya transaksi di atas Rp.1.000.000, maka pada nota/kuitansi ditempel materai Rp.6.000

Syarat sah bukti transaksi ini berlaku pada seluruh organisasi sector public, baik organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, yayasan, LSM, maupun partai polotik.

 

Referensi :

Arens, Alvin. Dkk. 2014. Auditing & Jasa Assurance Pendekatan Terintegrasi Edisi Kelimabelas Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Bastian, Indra. 2014. Audit Sektor Publik Pemeriksaan Pertanggungjawaban Pemerintahan Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.

Halim, Abdul. 2015. Auditing Dasar-Dasar Audit Laporan Keuangan Jilid 1 Edisi Kelima. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Murwanto, dkk. Audit Sektor Publik Suatu Pengantar bagi Pembangunan Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah Departemen Keuangan RI.

 

Gratifikasi

Gratifikasi

*Purwanto Wahyudi

Gratifikasi merupakan unsur yang penting dalam sistem dan mekanisme pertukaran hadiah. Sehingga kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan pada penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat seperti: Apa yang dimaksud dengan gratifikasi? Apakah gratifikasi sama dengan pemberian hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat? Apakah setiap gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum? Apa saja bentuk gratifikasi yang dilarang maupun yang diperbolehkan?

Kasus yang paling jamak terjadi adalah pengguna layanan memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih kepada petugas layanan misalnya dalam pengurusan KTP, IMB, IUP, SIM, Pengurusan adminitrasi dll karena mendapatkan pelayanan yang baik (sesuai prosedur) dari petugas sehingga pengurusan administrasi dapat selesai tepat waktu. Apakah pemberian pengguna layanan kepada petugas termasuk pemberian yang dilarang? Apa yang harus dilakukan pengguna layanan dan petugas administrasi?

Pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat. Dengan demikian kita sebagai warga Negara harus mengetahui apa sebenarnya gratifikasi dan apa saja yang termasuk dalam gratifikasi.

Apa yang dimaksud dengan gratifikasi?

Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No­mor 20 Tahun 2001, bahwa:

“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.

Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut.

Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan tentang gratifikasi berdasarkan penjelasan sebelumnya diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri. melalui pengaturan ini diharapkan penyelenggara negara atau pegawai negeri dan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat, yaitu menolak atau segera melaporkan gratifikasi yang diterimanya. Secara khusus gratifikasi ini diatur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001,tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  Pasal 12B:

  • Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
  • yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  • yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  • Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 16:

Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut :

  • Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
  • Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat :
  • nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
  • jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
  • tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
  • uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
  • nilai gratifikasi yang diterima

Kategori Gratifikasi

Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gratifikasi yang Dianggap Suap dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yaitu:

  • Gratifikasi yang Dianggap Suap, yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
  • Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap, yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kawajiban atau tugasnya

Gratifikasi yang tidak dianggap suap yang terkait dengan kegiatan kedinasan meliputi penerimaan dari:

  • pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
  • pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima

Beberapa contoh gratifikasi

Beberapa contoh kasus gratifikasi berdasarkan ketentuan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun. Tentu saja hal ini hanya merupakan sebagian kecil dari situasi-situasi terkait gratifikasi yang seringkali terjadi.

Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi adalah:

  • Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.
  • Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut.
  • Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan.
  • Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.
  • Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
  • Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
  • Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu

Contoh Kasus

Kasus 1:

Anda sebagai seorang pejabat senior di biro perlengkapan yang mempunyai kewenangan dalam hal pengadaaan barang dan jasa sebuah Kementerian. Kemudian, seorang penyedia barang dan jasa yang sudah 2 (dua) tahun melayani peralatan komputer untuk Kementerian Anda menawarkan komputer cuma-cuma untuk digunakan di rumah Anda selama Anda membutuhkannya. Tiga bulan lagi kontrak layanan peralatan komputer bagi Kementerian Anda akan diperbaharui, dan Anda biasanya menjadi anggota dari kepanitiaan yang memutuskan perusahaan mana yang memenangkan kontrak tersebut.

Pada kasus diatas termasuk konsep gratifikasi karena Sebagai penyelenggara negara/pegawai negeri (pegawai senior dari biro perlengkapan di sebuah Kementerian), Anda telah menerima hadiah (gratifikasi) berupa komputer dari pihak yang Anda ketahui sebagai rekanan dari Kementerian. Anda juga mengetahui bahwa Anda akan menjadi panitia pengadaan yang berhak untuk menentukan perusahaan mana yang akan dipilih oleh Kementerian untuk memberikan layanan pengadaan komputer. Pemberian komputer ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi independensi Anda pada saat menentukan siapa pemenang tender. Karena dengan pemberian tersebut Anda akan merasa berhutang budi pada kontraktor yang telah memberikan komputer.

Kasus 2:

Seorang pejabat melakukan perjalanan dinas jabatan dalam rangka mengikuti kegiatan di luar daerah. Pejabat tersebut mengikutsertakan istri dan anak-anaknya untuk ikut dalam perjalanan tersebut. Tetapi semua biaya perjalanan mulai dari tiket sampai dengan akomodasi hotel dibiayai oleh instansi tempat dimana dia bekerja. Padahal istri dan anak-anaknya tidak memiliki hubungan dengan kegiatan yang akan diikuti oleh pejabat tersebut.

Pada kasus diatas merupakan tindakan gratifikasi karena instansi terbebani dengan membiayai semua perjalanan istri dan anak-anak pejabat tersebut yang tidak ada kaitanya dengan kegiatan yang akan diikuti oleh pejabat, seharusnya jika keluarga pejabat tersebut ikut sebaiknya menggunakan biaya pribadi dan tidak membebankan kepada instansi.

Kasus 3 :

Seorang dosen pembimbing dan penguji menerima parsel dari mahasiswa yang dibimbingnya ataupun yang diujinya dengan alasan rasa terima kasih.

Kasus tersebut merupakan konsep gratifikasi karena walaupun pemberian parcel tersebut diberikan secara sukarela dan tulus hati kepada dosen, tetapi pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berkaitan dengan kewajibannya sebagai dosen, oleh karena itu mahasiswa berhak dan pantas untuk diberikan bimbingan dan diuji oleh seorang dosen disetiap perguruan tinggi.

Dengan adanya pemahaman ini, maka seyogyanya masyarakat tidak perlu tersinggung seandainya pegawai negeri/penyelenggara negara menolak suatu pemberian, ataupun hadiah yang akan diberikan, hal ini dilakukan dikarenakan kesadaran terhadap apa yang mungkin tersembunyi di balik gratifikasi tersebut dan kepatuhannya terhadap peraturan perundangan.

 

 

 

Daftar Baca

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Buku Saku Memahami Gratifikasi, Edisi 2014

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pedoman Pengendalian Gratifikasi

Dasar Hukum Zona Integritas

1. AGEN PERUBAHAN

PERMENPAN RB NO. 27 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN AGEN PERUBAHAN DI INSTANSI PEMERINTAH

 

2. BENTURAN KEPENTINGAN

KMA 255 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENANGAN BENTURAN KEPENTINGAN PADA KEMENTERIAN AGAMA

 

3. PEDOMAN EVALUASI PMPRB

PERMENPAN RB NO 14 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN EVALUASI REFORMASI BIROKRASI INSTANSI PEMERINTAH

 

4. PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS

PERMENPAN RB NO 52 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS MENUJU WILAYAH BEBAS KORUPSI DAN WILAYAH BIROKRASI BERSIH DAN MELAYANI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

 

5. PENGENDALIAN GRATIFIKASI

PMA 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN GRATIFIKASI PADA KEMENTERIAN AGAMA

KMA 224 TAHUN 2015 TENTANG UNIT PENGENDALIAN GRATIFIKASI PADA KEMENTERIAN AGAMA

 

6. PERJANJIAN KINERJA

PERKIN 2015 INSPEKTORAT JENDERAL KEMENTERIAN AGAMA RI

PERMENPAN RN NO 53 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK TEKNIK PERJANJIAN KINERJA, PELAPORAN KINERJA DAN TATA CARA REVIU ATAS LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

 

7. WBS DAN DUMAS

KMA 95 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT DAN WHISTLEBLOWING DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA