Dramaturgy

*Suhartono

Dalam teori Dramaturgi (Goffman) manusia adalah aktor ya ng berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain. Teori melihat manusia sebagai individu dan masyarakat. Dalam teori ini manusia berbeda dengan binatang karena mempunyai kemampuan berpikir, bisa mempelajari dan mengubah makna dan symbol, melakukan tindakan dan berinteraksi.

Teori ini muncul dari ketegangan yang terjadi antara “I dan Me” (gagasan Mead). Ada kesenjangan antara diri kita dan diri kita yang tersosioalisasi. Konsep “I” merujuk pada apa adanya dan konsep “me” merujuk  pada diri orang lain. Ketegangan  berasal dari perbedaan antara harapan   orang terhadap apa yang mesti kita harapkan. Pendekatan dramaturgi adalah  bukan apa yang orang lakukan, atau mereka melakukan tetapi  bagaimana mereka melakukannya.

Teori Dramaturgi adalah “teori yang menjelaskan bahwa interaksi social dimaknai sama dengan pertunjukan teater atau drama di atas panggung. Manusia adalah actor yang berusaha untuk menggabungkan kartakteristik personal dan tujuan kepada orang lain, melalui pertunjukan dramanya sendiri (Widodo, 2010:167). Untuk mencapai tujuan manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya. Identitas manusia tidak stabil dan indentitas merupakan bagian dari kejiwaan psikhologi mandiri. Identitas dapat berubah tergantung interaksi dengan orang lain. Menurut Ritzer pertunjukan darama seorang aktor drama kehidupannya juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan, antara lain   setting, kostum, penggunaan kata (dialog) tindakan non verbal lain. Tujuannya untuk meningkatkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan meluluskan jalan mencapai tujuan.

Dramaturgi yang dicetuskan Goffman merupakan pendalaman konsep interaksi sosial, yang lahir sebagai aplikasi atas ide-ide individual yang baru dari peristiwa evaluasi sosial ke dalam masyarakat kontemporer. Berikut beberpa pendapat kalangan interaksi simbolik yang dapat menjadi pedoman pemahaman ( Widodo, 2010:168):

  1. Manusia berbeda dari binatang, manusia ditopang oleh kemampuan berpikir.
  2. Kemampuan berpikir dibentuk melalui interaksi sosial
  3. Dalam interaksi social orang mempelajari makna dan symbol
  4. Makna dan symbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas manusia
  5. Orang mampu mengubah makna dan symbol yang  mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka terhadap situasi

Teori Dramaturgi merupakan dampak atas fenomena, atau sebuah reaksi terhadap meningkatnya konflik social dan konflik rasial, dampak represif birokrasi dan industrialisasi. Teori  sebelumnya  menekankan pada  kelompok  atau  struktur  social,  sedang  teori  Goffman menekankan sosiologi pada individu sebagai analisis, khusunya pada aspek interaski tatap muka. Sehingga fenomena melahirkan dramaturgi.

Eugenio Barba mendefinisikan dramaturgi sebagai akumulasi aksi yang tidak terbatas pada gerakan-gerakan actor tetapi juga meliputi aksi-aksi yang terkait dengan adegan-adegan, musik, cahaya, vokal aktor, efek suara, dan objek-objek yang dipergunakan dalam pertunjukan. Lebih jauh dikatakan oleh Barba bahwa dramaturgi hanya bisa diidentifikasi dari suatu teks tertulis otonom (teks drama) dan proses pertunjukan teater yang melibatkan para karakter.

Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.

Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Digali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.  Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut.

Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia  dapat  dilihat  pada  masyarakat  kita  sendiri.  Manusia  menciptakan  sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu.

Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.  Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.

Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur.

Dramaturgis merupakan teori yang mempelajari  proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena institusi tempat dramaturgi berperan adalah memang institusi yang terukur dan membutuhkan peran- peran yang sesuai dengan semangat institusi tersebut.

Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya . Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang- orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Ritzer, 1996:215).

Menurut  Goffman  kehidupan  sosial  itu  dapat  dibagi  menjadi  “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukkan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.

Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front) dan setting. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Pemimpin perempuan menggunakan setelan pakaian formal serta notebook atau ipad di genggamannya.  Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Sebagai seorang pemimpin, perempuan dapat menggunakan kalimat dengan pilihan kata yang sopan, halus, penggunaan istilah-istilan asing dalam melakukan presentasi, memperhatikan intonasi, postur tubuh, dan ekspresi wajah. pakaian yang digunakan, penampakan usia dan sebagainya. Hingga derajat tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan actor.

Sementara itu, setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan. Dimana seorang pemimpin memerlukan ruang kerja yang nyaman dan bersih untuk melakukan tugasnya..

Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili kepentingan   kelompok   atau   organisasi.   Sering   ketika   aktor   melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan  dalam  pertunjukan  mereka  di  pangung  depan,  mereka  merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal  tertentu dalam pertunjukannya. Wilayah ini memperlihatkan sikap superior sang pemimpin perempuan yang tergambar oleh karyawannya.

Berbeda dengan panggung belakang (back stage), disini memungkinkan seorang pemimpin perempuan menggunakan kata-kata kasar ketika berkomentar, marah,  mengumpat,  bertindak  agresif,  memperolok,  atau  melakukan  kegiatan yang tak pantas dilakukan ketika berhadapan dengan karyawannya. Adanya belakang panggung dimaksudkan untuk melindungi rahasia pertunjukan sang pemimpin perempuan, stakeholder tidak diizinkan masuk ke wilayah ini. Pertunjukan yang dilakukan akan sulit apabila stakeholder masuk ke dalam panggung.

Teori dramaturgi Goffman ini disempurnakan dengan hasil penelitian di dunia sosial penghuni rumah sakit jiwa, dalam bentuk buku yang beijudul “Asylums“. Buku ini menjelaskan area tempat tinggal dan kerja sejumlah individu untuk waktu yang cukup lama yang disebut “Institusi Total” dengan identifikasi 5 kategori, yakni institusi untuk merawat dan menampung: (1) orang tidak mampu dan dianggap berbahaya (rumah sakit jiwa), (2) orang yang mungkin membahayakan masyarakat (lawanan perang, bukan penjara), (3) orang yang dianggap tidak mampu dan tidak berbahaya (wisma tuna netra), (4) orang yang melaksanakan tugas khusus (barak tentara), dan (5) orang yang mengasingkan diri sebagai latihan keagamaan, dan sebagainya.

Goffman menambahkan ungkapan kosa kata dengan ungkapan games kosa kata. Di sini terdapat suatu: (1) gerak sepontan, yakni suatu tindakan yang tidak ditujukan untuk penilaian pengamat, (2) gerak naïve (naïve move), yaitu tindakan subyek yang teramati pada saat ia muncul, (3) gerak control atau tertutupi (control and covering move), yaitu suatu tindakan subjektif yang bebas dari tindakan untuk melahirkan ungkapan-ungkapan yang ia pikir akan mengembangkan situasi jika gerak tersebut lepas dari pengamatan.

Referensi

Anonym. Jurnal tidak terpublikasi Universitas Sumatera Utara.

Negari, Leidena Sekar. 2013. Dramaturgi Kepemimpinan Perempuan dalam Organisasi Profit. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang.

Poloma, Margaret M. 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Sahid, Nur. 2012. Dramaturgi Teater Gandrik Yogyakarta dalam Lakon “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”. Proposal. PPs Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

Suneki, Sri dan Haryono. 2012. Paradigma Teori Dramaturgi terhadap Kehidupan Sosia. Jurnal Ilmiah CIVIS, No.2.

 

 

Paradigma Teori Sosial

*Suhartono

Paradigma Teori Sosial

Pengantar

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis (Keraf dan Dua, 2001: 22; lihat juga Suriasumantri, 2003; 104)

Secara metodologis, dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia, dapat dibedakan antara dua kutub berbeda dari gejala pengetahuan manusia itu, yaitu antara kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subjek dan objek.  Kendati keduanya dapat dibedakan secara jelas dan tegas, untuk bisa terbentuknya pengetahuan, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.  Supaya ada pengetahuan, keduanya harus ada.

Manusia sebagai subjek pengetahuan memegang peranan penting.  Keterarahan manusia terhadap objek merupakan faktor yang sangat menentukan bagi munculnya pengetahuan manusia. Keterarahan yang dimaksud adalah perlunya kesamaan-kesamaan prinsip atau kategori tertentu, baik dari aspek ontologi maupun dari aspek epistemologinya yang memungkinkan manusia dapat mengenal dan menangkap objek yang diamatinya. Dengan kata lain, pengetahuan itu hanya mungkin terwujud kalau manusia sendiri adalah bagian dari objek, realitas di alam semesta ini. Keterlibatan manusia sebagai bagian dari objek dan realitas dalam suatu proses penelitian dan ilmu itu sendiri menandakan bahwa ilmu tidak mungkin bebas nilai

Definisi

Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains, dan sebaliknya, masyarakat sains terdiri atas orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama (Kuhn, 1962; 171; lihat juga Etzioni, 1992: 1). Hal senada juga dikemukakan oleh Maliki (2003:15), bahwa paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuan yang membentuk “masyarakat ilmiah” dalam disiplin tertentu.  Perspektif intelektual menurut Friedrichs (1970: 55) dalam Maliki (2003:15) menentukan apa yang membentuk “ilmu pengetahuan normal” dalam komunitas ilmiah pada waktu tertentu dan mendasari hampir semua pembentukan teori serta penelitian yang dilakukan oleh praktisinya. Hal ini dapat kita artikan bahwa paradigma adalah suatu cara pendekatan yang digunakan dan diyakini oleh suatu kelompok tertentu dalam suatu perspektif intelektual untuk mendapatkan suatu kebenaran (truth) atau dalam membangun suatu teori (ilmu pengetahuan).

Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma

Paradigma diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.

Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.

Paradigma Fungsionalis

Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.

Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai persentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis.

Paradigma ini telah menyediakan kerangka kerja yang dominan untuk pelaksanaan di akademi sosiologi dan pendidikan di organisasi. Ini melambangkan perspektif yang berakar pada sosiologi regulasi dan mendekati materi pelajaran dari sudut pandang objektivis. Teori fungsionalis berada di garis depan perdebatan order-konflik, dan konsep-konsep yang telah kami gunakan untuk mengkategorikan sosiologi regulasi yang berlaku dalam berbagai sekolah dalam cara pandang paradigma tersebut. Hal ini ditandai dengan perhatian untuk memberikan penjelasan tentang status quo, tatanan sosial, konsensus, integration sosial, solidaritas, kebutuhan akan kepuasan dan keadaan yang sebenarnya. Mendekati kekhawatiran ini umumnya sosiologi berhubungan dengan sudut pandang yang cenderung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Para fungsionalis paradigma menghasilkan sosiologi regulatif dalam bentuk yang dapat dikembangkan sepenuhmya. Dalam pendekatan secara keseluruhan itu berusaha untuk memberikan penjelasan rasional yang perlu mengenai urusan sosial. Ini adalah perspektif yang sangat pragmatis dalam orientasinya, peduli untuk memahami masyarakat dengan cara menghasilkan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan. Hal ini sering menimbulkan masalah-berorientasi dengan pendekatan, yang berhubungan denganmenetapkan  solusi praktis dalam masalah-masalah yang praktis. Hal ini biasanya tegas berkomitmen untuk rekayasa filsafat sosial sebagai dasar perubahan sosial dan menekankan pentingnya memahami ketertiban, keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat dan cara bagaimana ini dapat dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan berlakunya ‘regulasi’ dan kontrol dalam kejadian sosial.

Paradigma Interpretatif

Teoretisi terletak dalam konteks paradigma interpretif mengadopsi pendekatan konsonan dengan prinsip-prinsip apa yang kita miliki digambarkan sebagai sosiologi regulasi, meskipun subyektivis nya pendekatan analisis dunia sosial membuat hubungan dengan sosiologi ini sering tersirat ketimbang eksplisit. Penafsiran paradigma diinformasikan oleh keprihatinan untuk memahami dunia sebagaimana adanya, untuk memahami sifat dasar dari dunia sosial di tingkat pengalaman subyektif. Ini berusaha penjelasan dalam ranah kesadaran individu dan subjektivitas, dalam kerangka rujukan peserta yang bertentangan dengan pengamat tindakan.

Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal

Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.

Paradigma humanis radikal didefinisikan oleh keprihatinan untuk mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari sudut pandang subyektif. Pendekatan untuk ilmu sosial memiliki banyak kesamaan dengan yang dari paradigma interpretatif, dalam hal ini memandang dunia sosial dari perspektif yang cenderung nominalis, anti-positivis, voluntaris dan ideografik. Namun, kerangka referensinya berkomitmen untuk pandangan masyarakat yang menekankan pentingnya menggulingkan atau melampaui keterbatasan pengaturan sosial yang ada.

Salah satu pengertian paling dasar yang mendasari seluruh paradigma ini adalah bahwa kesadaran manusia didominasi oleh superstructures ideologi yang ia berinteraksi, dan ini mendorong irisan kognitif antara dirinya dan kesadarannya yang benar.Wedge ini adalah irisan ‘keterasingan’ atau ‘kesadaran palsu’, yang menghambat atau menghalangi pemenuhan manusia sejati. Kepedulian utama terhadap teori mendekati keadaan manusia dalam istilah adalah dengan rilis dari kendala yang sosial yang ada pada pengaturan tempat pembangunan manusia. Ini adalah merek teorisasi sosial yang dirancang untuk memberikan kritik terhadap status quo. Hal ini cenderung melihat masyarakat sebagai anti-manusia dan yang bersangkutan untuk mengartikulasikan cara di mana manusia dapat melampaui ikatan spiritual dan belenggu yang mengikat mereka dalam pola sosial yang ada dan dengan demikian menyadari penuh potensi mereka.

Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.

Paradigma Strukturalis Radikal

Penganutnya juga memeprjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

Kritikan Pendapat Burrel dan Morgan

Namun pendapat Burrell dan Morgan dikritisi oleh Chua (1986) dan Sarankos (1998) yang membagi paradigma penelitian menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:

 Paradigma Positivis

Secara ringkas, positivisme adalah pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif (Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Bagi positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.

Paradigma Interpretif

Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman di dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari sosial world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka (Ghozali dan Chariri, 2007). Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007). Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).

Paradigma Critical

Menurut Neuman (2003), pendekatan critical lebih bertujuan untuk memperjuangkan ide peneliti agar membawa perubahan substansial pada masyarakat. Penelitian bukan lagi menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral/tidak memihak dan bersifat apolitis, namun lebih bersifat alat untuk mengubah institusi sosial, cara berpikir, dan perilaku masyarakat ke arah yang diyakini lebih baik. Karena itu, dalam pendekatan ini pemahaman yang mendalam tentang suatu fenomena berdasarkan fakta lapangan perlu dilengkapi dengan analisis dan pendapat yang berdasarkan keadaan pribadi peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara ringkas, pendekatan critical didefinisikan sebagai proses pencarian jawaban yang melampaui penampakan di permukaan saja yang seringkali didominasi oleh ilusi, dalam rangka menolong masyarakat untuk mengubah kondisi mereka dan membangun dunianya agar lebih baik (Neuman, 2003:81).

Sehingga dua paradigma yang dibangun oleh Burrell dan Morgan yaitu Paradigma Radical Humanist dan Radical Structuralist menjadi satu. Hal ini dimungkinkan munculnya paradigma baru yang merupakan gabungan antara kedua paradigma tersebut. Dalam hal ini pendapat penulis didukung oleh Chua maupun Sarankos yang mewadahi kedua paradigma tersebut dalam satu wadah yaitu Paradigma Kritis (The Critical Paradigm). Penulis tersebut menggabungkan antara Paradigm Radical Humanist dan Radical Structuralist menjadi satu karena menurut mereka kedua paradigma tersebut sebenarnya memiliki kesamaan ide. Paradigma ini mirip dengan Radical Humanist namun strukturalis lebih bersifat makro yaitu pada kelas-kelas (kelompok) yang ada dalam masyarakat atau struktur industri. Kelas-kelas tersebut menimbulkan dominasi satu kelompok tertentu (yang lebih tinggi, seperti pengusaha) terhadap kelompok lainnya (yang lebih rendah, misalnya buruh).

Paradigma Posmodernisme

Posmodernisme merupakan suatu gerakan yang dipicu oleh berbagai ekses negatif dari modernisme yang hendak merevisi kemodernan itu.  Sebutlah misalnya ajaran yang biasa menyebut dirinya metafisika New Age. Mungkin bisa pula dimasukkan di sini pemikiran-pemikiran yang mengaitkan diri dengan wilayah mistiko-mitis. Mereka ini umumnya muncul dari wilayah Fisika Baru, dan bersemboyan “holisme” yang mendekonstruksi atau membongkar segala unsur penting dalam sebuah gambaran dunia seperti: diri, tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dan seterusnya.

Rosenau (1992) dengan jelas menerangkan beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya posmodernisme sebagai berikut: pertama, ketidaksabaran atas kegagalan untuk menghasilkan secara dramatis hasil yang dijanjikan oleh ilmu pengetahuan modern. Kedua, perhatian mulai berfokus pada penyimpangan dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan modern. Dalam memandang realitas, posmodernisme cenderung untuk mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang secara cukup kuat mewakili realitas. Ia juga menolak beberapa pandangan tentang realitas yang menganggap alami proses mental individu dan komunikasi antar subjek dalam. Posmodernisme mengakui dua pendekatan metodologi, yakni: interpretasi anti-objektif dan dekonstruksi.

Karakteristik posmodernisme (posmo) dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Karakteristik posmo tidak hanya mengubah sikap ilmiah, melainkan substansi telaahnya dikenal dengan baik. Posmo mengartikan sebuah kritikan atas realitas modern yang dianggap telah gagal dalam pencerahannya. Dengan demikian, posmo adalah sebuah aliran pemikiran dan menjadi sejenis paradigma baru yang anti-tesis  dari  modernisme  karena  dinilai  telah  gagal  dan  tidak  lagi  relevan dengan  perkembangan zaman. Modernisme  telah  ditandai oleh  kepercayaan penuh pada keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekuler, tetapi ternyata tidak cukup kokoh untuk menopang era industrialisasi dalam membawa kesejahteraan bagi kehidupan masyakarat.

Referensi

Burrel, Gibson & Gareth Morgan. 1979. Sociological Analysis & Organisational Analysis: Element of The Sociology of Corporate Life. Heinemann Educational Books, London.

Chua, Wai Fong. 1986. Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review, Vol 61, No 4.

 

 

Postmodernisme

*Suhartono

POSTMODERNISME

Pengertian Postmodernisme

Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Sementara menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori.

Istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk menyebutkan gerakan kritik di bidang sastra, khusunya sastra Prancis dan Amerika Latin. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditanai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan. Sementara menurut Frederic Jameson, mengartikan postmodernisme adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.

Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar dan sebagainya. Dengan pandangan macam itulah, Lyotard membawa istilah “postmodernisme” kedalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan ”postmodernisme”. Oleh sebab itu. Istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekedar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya” (Cultural and society Vol. 5, 1988, hlm. 195-213).

Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)

Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.

Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.

Heterogenitas  yang mungkin menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

Sejarah Perkembangan dan Konsep Dasar Postmodernisme

Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern yang mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakannya dalam sebuah karya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam bukunya yang berjudul “A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur.

Postmodernisme lahir sebagai kritik atas modernisme. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal. Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.

Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan berkembang. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas.

Pada akhirnya istilah postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus. Dalam postmodernisme, kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruksi sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari anggapan kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteristik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidak-percayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Lebih gampangnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam perspektif terbatas oleh ras, gender dan group etnis masing-masing.

Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis.  Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative  telah kehilangan legitimasi. Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.

Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya. Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis,  Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994:17).

Tokoh-tokoh postmodernisme yaitu Rudolf Pannwitz, Federico de Onis, Arnold Toynbee, Jean Francois Lyotard, Zygmunt Bauman, John Milbank, Flaskas, Ilhab Hasan dan lain sebagainya. Sikap-sikap kritis mereka terhadap modernism tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme.

DERRIDA POSTMODERNITAS

Jacques Derrida dikenal sebagai pendasar teori dekonstruksi yang menjadi wacana postmodern. Sebagai pendasar teori, tentunya ada sejumlah ide menyertai perjalanan refleksi intelektualnya, sampai pada akhirnya ia menggagas konsep dekonstruksi. Oleh karena itu, ada beberapa hal pokok yang penulis sajikan untuk memahami konsep dekonstruksi Derrida. Pertama-tama adalah dengan memahami belakang konsep lahirnya dekonstruksinya.

Beberapa butir pemikiran yang menyertai konsep dekonstruksi antara lain adalah différance dan metafor serta peranan imajinasi di dalamnya. Setelah menjelaskan makna imajinasi di dalam dekonstruksi, terakhir penulis coba mengangkat sebuah tendensi postmodernisme untuk melahirkan filsafat imajinasi sebagai jawaban atau realitas yang selalu ambigu.

Konteks Historis Lahirnya Teori Dekonstruksi

Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.

Derrida bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik rasionalisme Barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat, seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat, bermain-main, alusif dan literer. Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa filsafat bukan lagi suatu representasi kebenaran. Bahasa lisan adalah instabil yang tidak memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda berdasarkan konteks. Baginya, segala sesuatu adalah teks dan kenyataan filosofis adalah kenyataan tekstual.

Pemikiran Dekonstruksi Derrida yang memberikan warna bagi dunia postmodernisme, merupakan jawaban atas situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian yang sangat menekankan metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada,” metafisika selalu menjadi tema yang utama dan tetap. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa metafisika yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.

Dalam karya-karya awalnya, Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologi Husserl. Di sini Husserl melanjutkan tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai kehadiran pada dirinya. Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger di mana ada juga beberapa yang dibantahnya. Tetapi Derrida sempat tenggelam dalam pemikiran Heidegger, bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan bahasalah yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu terbatas oleh bahasa yang berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’ maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat menimbulkan masalah-masalah tentang cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka, dengan mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan teorinya yang sama sekali bertolak belakang.

Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi

Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.

Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.

Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati.

Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”

Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.

Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.

Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.

Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

 Differance dan Metafor Dalam Teori Dekonstruksi Derrida.

Différance

Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.  Différance itu memiliki perbedaan dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana makna ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda (postponed). Karena itu, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.

Dekonstruksi Derrida bermula dari huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana Derrida memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa ambigunya sebuah kata yang tampak tunggal dan sederhana. Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka metafisis.

Istilah Différance, dapat dibeakan dalam empat arti yaitu: pertama, différance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep. Ketiga, différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara

Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida, tak ada identitas terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.

Metafor

Sejarah metaphor menurut Derrida pertama-tama mengandaikan adanya arkhe transendental yang menjadi basis pengetahuan dan asal-usul bahasa. Konsep metafor pertama kali dirumuskan secara gamblang oleh Aristoteles dalam Poetica. Aristoteles menyatakan bahwa metafor terdiri atas pemberian (epiphora) nama (onomatos) atau sesuatu yang sebetulnya milik sesuatu yang lain.

Menurut Aristoteles, sumber arkhe pertama dari metafor adalah alam. Alam memberikan dirinya dalam bentuk metafor. Manusia meniru pergerakan alam dan menciptakan sebuah sistem bahasa yang puitis untuk mendramatisasi kekagumannya pada alam. Dengan kata lain metaphor lahir dari hasrat mimetik untuk meniru sesuatu yang ideal dan tak terbahasakan.

Dalam artikelnya, The Retrait of Metaphor, Derrida mengembangkan gagasan metafor yang dibangun Heidegger. Ada pun metafor yang oleh Heidegger ditampilkan dengan mendekonstruksi metafisika, adalah reaksi terhadap genealogi Nietzsche yang mengutamakan metafor dengan cara melacak akar metaforis pernyataan-pernyatan filosofis.

Dengan dekonstruksi metafisika dan kritiknya atas konsep metaphor yang dibangun Nietzsche itu sebetulnya Heidegger bermaksud untuk mengubah sikap dasar kita dalam memandang bahasa secara umum. Baginya, hubungan yang otentik dengan bahasa, bukanlah hubungan di mana bahasa kita anggap sebagai objek atau sarana belaka dan kita gunakan berdasaran suatu sistem predikasi dan penekanan baku yang ketat dan pasti. Menurut Derrida, bahasa pertama-tama adalah suatu kenyatan terberi yang menyingkapkan sebuah dunia bagi kita sedemikian hingga dunia yang kita pahami selalu berkait erat dengan bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang yang kita pahami di luar bahasa.

Derrida kemudian mengubah haluan konsep ini. Bila Heidegger menyerang metafisika dalam pembendaan antara taraf inderawi dan non inderawi, maka Derrida menyerang metafisika dalam pembedaan arti katanya. Bagi Derrida, baik antara ‘bunyi kata’ dan dan artinya, maupun antararti dan antarbunyi kata itu sendiri, pembedaan yang terjadi hanyalah permainan yang bisa dibuat sewenang-wenang.

Akibatnya, arti literal dan arti metaforis tidaklah jelas untuk diketahui. Dekonstruksi memiliki sendi tak tergoyangkan ketika dia menyatakan kemustahilan pereduksian metaphor karena difference telah ‘mengerjai’ makna ‘literal’ yang baku. Segala pernyataan bisa bersifat metaforis bisa juga literal tergantung pada bagaimana kita membedakannya. Dengan kata lain, pembedaan antara yang literal dan yang metaforis sebetulnya tidak ada artinya lagi, sehingga dekonstruksi menemukan bahwa tidak ada yang dinamakan makna literal itu.

MICHEAL FOUCAULT

Michel Foucault adalah seorang pemikir post-post-strukturalis yang lahir di Poitiers pada tahun 1926. Ia memulai kariernya dengan bekerja di sebuah rumah sakit jiwa dan kemudian meluncurkan berbagai karya antara lain Les Mots et les Choses (1960) dan L’Archeologie de Savoir (1969). Pada April 1970 ia diangkat menjadi dosen di College de France. Ia memulai perkuliahannya dengan mengangkat judul “The Will to Truth” yang membahas tentang “praktek-praktek diskursif”.

Menurut Michel (1989) “ Kelompok-kelompok yang teratur (dalam praktek-praktek diskursif) sekarang tidak sesuai dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan untuk pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang cukup luas di luar mereka dan sering menyatukan berbagai kelompok. Akan tetapi mereka tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin, meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama.

Penjelasan Foucault ini menggambarkan ciri inovatif dan individualis dalam karyanya. Metode struktural dijadikannya metode satu-satunya serta metode piker yang mencakup segala-galanya dan menerapkannya juga pada sejarah.

Pemikiran Dasar Foucault

Menurut Foucault, kita tidak bisa mereduksikan “praktek-praktek diskursif” menjadi kategori oeuvre individu atau disiplin akademik. Akan tetapi, praktek diskursif tersebut adalah sebuah keteraturan yang kemudian muncul dalam fakta artikulasi itu sendiri: ia tidak datang sebelum artikulasi dilakukan. Sistematika praktek diskursif itu sendiri tidak berjenis linguistik maupun logis. Keteraturan suatu diskursus itu bersifat tidak sadar dan berlangsung dalam tatanan parole Saussure, dan tidak pada tatanan langue yang sudah ada sebelumnya.

Ia juga banyak berbicara mengenai sejarah. Olehnya sejarah didekatinya sedemikian rupa, sehingga yang penting baginya bukanlah “bagaimana keadaannya di masa lampau”, melainkan struktur-strukturnya yang terungkap dalam pembahasan-pembahasan (diskursus) yang dilakukan oleh para penyelenggara ilmu pengetahuan serta para sastrawan pada suatu masa tertentu. Maka di dalam sejarah ini yang utama bukanlah unsur diakronik, melainkan unsur sinkronik.

Pemahaman sejarah Foucault berusaha menghindari “proyeksi ‘makna’ ke dalam sejarah”. Hal ini berkenaan dengan analsisnya mengenai “rezim praktek” yang mana bisa saja diambil karena adanya garis yang memisahkan antara perkataan dan perbuatan ─seperti antara melihat dan berbicara─ selalu berada dalam keadaan yang tidak stabil. Maka dari itu rezim-rezim praktek tidak bisa direduksikan kepada bentuk tindakan yang ahistoris. Untuk memahaminya maka dibutuhkan analisis terhadap sebab, seperti pelaku di balik tindakan.

Berkaitan dengan itu, Foucault juga menulis banyak buku, salah satunya adalah The Order of Things: An Archeology of Human Sciences. Dalam buku ini Foucault memaparkan pandangannya tentang manusia, sang pelaku, yang dihapuskan, “seperti wajah yang dilukis pada pasir di tepi pantai”.3 Yang kemudian bisa diambil dari hal ini ialah tidak ada makna esensial dibalik benda, tidak ada subjek esensial di balik tindakan; dalam sejarah juga tidak ada tatanan esensial. Akan tetapi tatanan itu ada di dalam penulisan sejarah itu sendiri.

Pandangan tentang Bahasa

            Untuk memahami pemikiran Foucault maka dimulai dengan 2 pertanyaan terkait bahasan diatas, yang pertama ialah, “Struktur manakah yang terdapat dalam pembahasan pada sesuatu masa tertentu? Dan yang kedua ialah “Tatanan benda-benda manakah yang terungkap dalam tatanan kata-kata?”

Untuk menjawabnya, disini ia membedakannya menjadi 3 masa: masa renaissance, masa klasik dan masa modern. Pada setiap masa, hubungan antara kata-kata dengan benda-benda berbeda-beda. Foucault mengatakan bahwa:

  1. Pada masa renaissance orang mendasarkan diri pada kesadaran akan adanya keserupaaan (resemblance) antara kata-kata dengan benda-benda. Maka terdapatlah pertalian yang sangat erat antara kedua hal tersebut.
  2. Pada masa klasik, kata-kata melepaskan diri dari benda-benda. Orang mulai memperhatikan watak pemberi gambaran yang dipunyai oleh kata-kata dan dengan demikian orang tegas-tegas menyadari akan adanya jarak antara bahasa dengan dunia.
  3. Kini bahasa menjadi gambaran (representasi) dunia. Sekitar peralihan abad ke 18 ke abad 19 bahasa dan dunia kedua-duanya ditinjau dari segi kesejarahannya.4

Selanjutnya Foucault berbicara mengenai epistema. Ini erat hubungannya dengan 3 masa diatas. Epistema adalah sebuah sistem. Dijelaskan bahwa menurut Foucault, epistema ialah prasyarat munculnya pengetahuan dan teori. Jadi, ia adalah latar tersembunyi dibelakang pengetahuan; epistema adalah struktur dasar yang berada diluar sejarah.

Yang ditanyakan selanjutnya ialah, “Siapakah yang berbicara (subyek) dalam epistema?” Jawabannya bukanlah Tuhan dan manusia. Menurut Foucault, Tuhan telah mati, dan manusia tak lebih dari mitos; ia hanyalah invention of recent date. Lalu siapakah yang berbicara jika bukan keduanya? Ialah bahasa. Melalui dan mengggunakan bahasa, epistema mengetahui dirinya. Jadi, epistema adalah obyek dan bahasa adalah subyek—walaupun kalangan postmodernis menolak pembagian dikotomis ini, namun realitanya, mereka tak bisa menghindarkan diri. Manusia sebagai subyek sudah ditinggalkan, karena itu, Foucault selanjutnya mengumumkan kematian manusia, sebagai implikasi logis kematian Tuhan.

Foucault dengan J. Lacan mempunyai pandangan yang sama mengenai  bahasa. Foucault mengatakan bahwa yang berbicara bukanlah subyek, tapi struktur linguistik dan sistem bahasa. Sementara Lacan menegaskan bahwa jalan yang telah dirintis oleh Freud tak memiliki makna selain bahwa, alam bawah-sadar adalah bahasa. Mereka tampaknya memahami bahasa secara luas.

Gagasan lain Foucault yang terpenting, berkenaan dengan wacana (discourse). Dalam discourse, bahasa adalah mediator. Wacana adalah ucapan yang dengannya pembicara menyampaikan segala sesuatu kepada pendengar. Unsur terkecil dari wacana adalah kalimat. Wacana yang diperkuat dengan tulisan disebut teks. Wacana merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan (statement) yang berbeda dengan ungkapan (utterance) maupun proposisi (proposition). Yang dimaksud Foucault disini bukanlah sekedar perbincangan sehari-hari, tapi perbincangan yang serius (serious speech-act). Serius tidaknya suatu perbincangan diukur berdasar intensitas keterlibatan unsur relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana tersebut.

Dalam The Order of Things, Foucault memberikan pandangan tentang bahasa pada teori genealoginya. Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam “apa yang ditulis” dan “apa yang menjadi tafsirnya”, keduanya saling terjalin tanpa pemisahan. Hal ini adalah salah satu dari pemikirannya tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan menjadi tafsirnya tidak bisa dipisahkan dalam subjek dan objek. Keduanya terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.

Tata Wacana

Ada beberapa simpul inti pemikiran Foucault yang penting, yaitu wacana,diskontinuitaskuasa-pengetahuan, dan episteme. Penggunaan terma wacana (discourse) dipopulerkan Foucault dan menjadi konsep penting dalam pemikirannya.  Aturan, sistem, dan prosedur disebutnya dengan “tata-wacana” yaitu keseluruhan wilayah konseptual di mana pengetahuan itu dikonstruksi (dibentuk dan dihasilkan). Wacana dalam pengertian ini adalah keseluruhan domain di mana bahasa dipakai dalam tata-cara tertentu.  Domain itu berakar dalam berbagai praktek kehidupan, lembaga, dan tindakan manusia.  Dalam arti paling luas, wacana berarti segala sesuatu yang ditulis, diucapkan, dikomunikasikan dengan tanda-tanda—dan merupakan kumpulan pernyataan.  Karena itu, studi teks, sejarah, budaya dan klaim obyektivitas dan kebenaran harus ditunda, karena telah dipengaruhi oleh aturan, perbedaan makna, dan strategi yang sama dengan naratif lainnya.  Kini batas antara ‘fakta’ dan ‘fiksi’ semakin buram, karena perlu diperiksa secara ketat.

Genealogi Foucault

Rasionalitas dianggap menghasilkan pengetahuan dan wacana kebenaran.  Namun Foucault mengingatkan, bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, wacana sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya6. Wacana itu dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu.  Untuk itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.

Foucault menyebut metodenya ‘genealogi’, sebagai bentuk penelusuran historis tentang terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, obyek pengetahuan dan wacana ilmiah.  Dalam melakukan penelusuran itu, ia tidak menemukan kontinuitas tetapi diskotinuitas/keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana.  Foucault mengatakan le langage ne dit pas exactement ce qu’il dit7. yang artinya bahasa tidak mengatakan secara persis apa yang dia katakan. Justru karena bahasa tidak pernah eksak mewakili sebuah makna atau realitas, maka bahasa terbuka bagi sebuah pemaknaan tanpa batas. Genealogi adalah sejarah yang ditulis sesuai dengan komitmen terhadap masalah-masalah masa kini, dan ia akan menerobos masuk masa kini.

Pengetahuan dan Kekuasaan

Foucault, melalui teori wacana, menolak pusat atau titik tolak pemikiran.  Kalau ‘pusat’ harus ada, maka pusat itu adalah bahasa atau teks.  Wacana paling bertanggung jawab dalam membentuk atau mencitrakan subyek dan obyek dalam epistemologi, khususnya pembentuk subyek. Wacana dalam ilmu dan praktek sosial adalah jaringan praktik pengetahuan dan kekuasaan.  Wacana menciptakan subyek ilmu-ilmu sosial dan obyek-obyeknya (penyakit, seksualitas, kegilaan dsb).  Foucault, dalam penelitiannya menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai oleh the will to power.

Pemikiran Foucault tentang kekuasaan sangat penting, karena ia merelativisir segala sesuatu yang selama ini dianggap absolut.  Ia menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia dan sebagainya dalam kerangka relasi dengan kekuasaan.  Kekuasaan menurutnya bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu.   Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan tidak berada di luar kekuasaan, tetapi berada dalam kekuasaan itu.  Karena itu, kekuasaan adalah kebenaran.

Foucault membahas kuasa dari segi mekanisme dan strategi kuasa.  Ia tidak berbicara tentang apa itu kuasa, tetapi bagaimana kuasa itu diperaktikkan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran, serta bagaimana kuasa berfungsi dalam bidang tertentu.  Kuasa tidak hanya bekerja melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi pertama-pertama melalui aturan-aturan dan normalisasi. Kuasa ternyata berkaitan erat dengan pengetahuan.  Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada pula kuasa tanpa pengetahuan.   Pelaksanaan kuasa itu, bagi Foucault, tidak mungkin tanpa ada wacana yang bersifat esensial dalam setiap kebudayaan dan masyarakat.

Menurut Foucault, hakekat kekuasaan telah berubah. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan satu orang atau lembaga, tetapi tersebar luas dalam masyarakat dan cenderung ter-sembunyi.  Perubahan itu disebabkan oleh berubahnya fondasi kekuasaan. Dahulu fondasi kekuasaan adalah kehendak, baik kehendak raja atau rakyat, maka kekuasaan didapat me-lalui kumpulan kehendak, kesepakatakan, perserikatan, dan partai politik.  Kini, kekuasaan tidak lahir dari kehendak, tetapi melalui pengetahuan.  Pengetahuan tidak netral, tetapi politis,  menunjang dan memberi kekuasaan.  Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah mengetahui dan mengendalikan tingkah laku manusia. Foucault memahami ilmu pengetahuan sosial sebagai alat penguasaan manusia atas manusia, artinya untuk mengendalikan dan mempengaruhi putusan (tubuh dan jiwa orang lain).  Tubuh dilihat sebagai mesin hidup sebagai sumber daya dan tenaga kerja yang perlu dikendalikan dan dimanfaatkan guna kemajuan.

Salah satu metode pengendalian adalah melalui disiplin bekerja, normalisasi, dan regulasi. Normalisasi adalah membuat norma dan aturan-aturan bagi tindakan, sedangkan regulasi menyusun aturan konkret yang harus diikuti.  Norma mengambil peran hukum, agar terwujud efektivitas dan produktivitas.  Tubuh dilihat memiliki fungsi ekonomi dan fungsi politis. Karena itu, dibuatkan peraturan dan disiplin untuk meningkatkan utilitas dan docilitas (kepatuhan dan ketertiban) bagi sikap dan tingkah-laku manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan, kata Foucault.  Kerapkali pengetahuan, kekuasaan, dan tenaga fisik bekerjasama.  Kuasa dan pengetahuan pertama-tama bekerja melalui bahasa.

 

Daftar pustaka

Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung

Derrida, Jacques. Writing and Difference, Translated, with an Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press, 1978.

MatsAlvesson. 2002. Postmodernism and Social Research.

Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta:

Michel Foucault, 1989. Résumé des cours, 1970-1982, Paris, Juillard.

http://en.wikipedia.org/wiki/ postmodernisme

http://ahmadhariantosilaban.blogspot.com/2011/06/makalah-postmodernisme.html

http://brenmorin.blogspot.com/2009/07/menggagas-peranan-imajinasi-dalam-teori.html

http://journal.ui.ac.id/index.php/jsm/article/viewFile/3734/2973

Postulat, Prinsip, dan Konsep Akuntansi Keuangan

*Suhartono

Pendahuluan

Kebutuhan akan sebuah theoritical framework di akuntansi keuangan sudah sejak lama dirasakan. APB dan FASB telah mencoba untuk mengembangkan dasar teoritis sebagai pedoman dalam memformulasikan peraturan akuntansi, meskipun pada akhirnya keduanya gagal dalam mengemban misinya. Meskipun ARS 1 dan ARS 3 secara postulat (dalil) dan dasar tidak diterima, studi ini menunjukkan sebagai titik awal percobaan untuk memberikan dasar teoritis terpadu untuk akuntansi keuangan oleh APB.

Dalam ARS 1, postulat dibedakan menjadi dua, one category (kelompok A dan B) dan second category (kelompok C). Kelompok A adalah economic and political environmental group, kelompok B adalah yang termasuk dalam wilayah akuntansi itu sendiri dan kelompok C adalah the imperatives (kewajiban). Perilisan ARS 1 tidak ditanggapi oleh banyak pihak dan kebanyakan lebih menunggu pada perilisan ARS 3. Postulat dasar pada yang dikembangkan ARS 1 merupakan bagianintegral dari ARS 3. Ada delapan prinsip yang dikembangkan dalam ARS 3. Kegagalan ARS dan ARS 3 disebabkan oleh kurangkan ketegasan dalam pembuatan alasan (reasoning), hanya memberikan sedikit perhatian pada kebijakan pembuatan peraturan, dan juga ketidakberhasilan Moonitz-Sprouse dalam menyelesaikan tugas mereka.

Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita membahas tentang pengertian dari postulat, konsep dan prinsip. Postulat adalah asumsi dasar yang tidak dapat diverifikasi. Prinsip adalah aturan yang secara empiris teruji dan menjadi hukum, yang merupakan pendekatan umum yang digunakan dalam pegakuan dan pengukuran kejadian-kejadian akuntansi.  Konsep adalah ide-ide generik yang diperoleh dari particular instances dan bukan bagian dari formulasi teori formal.

Konsep Dasar Akuntansi

Konsep dasar umumnya merupakan abstraksi atau konseptualisasi karakteristik lingkungan tempat atau wilayah diterapkannya pelaporan keuangan. Menurut Paul Grady, konsep dasar merupakan konsep yang mendasari kualitas kebermanfaatan dan keterandalan informasi akuntansi atau sebagai keterbatasan yang melekat pada statemen keuangan.

Konsep dasar pada umumnya merupakan abstraksi atau konseptualisasi karakteristik lingkungan tempat atau wilayah diterapkannya pelaporan keuangan. Berbagai sumber atau penulis mengajukan sehimpunan atau seperangkat konsep dasar yang isinya berbeda – beda. Konsep dasar secara implisit melekat pada tiap penalaran dalam merekayasa akuntansi. Konsep dasar bersifat asumsi yang validitasnya tidak selalu dapat diuji tetapi bermanfaat sebagai basis penalaran.

Berbagai sumber manyajikan daftar konsep dasar yang berbeda-beda karena perbedaan persepsi terhadap arti pentingnya suatu konsep untuk disebut sebagai konsep dasar. Konsep dasar yang satu dalam banyak hal merupakan turunan atau konsekuensi dari konsep dasar lainnya

Postulate dan Principle

Pembentukan APB tidak dapat dihindari adalah sebuah batas awal bagi pengembangan akuntansi teori dan peran penelitian. Akan tetapi Alvin R. Jennings, dalam pidatonya mengemukakan bahwa pendekatan baru untuk perkembangan prinsip akuntansi tidak dimaksudkan untuk pembentukan badan baru. Yang ia bayangkan adalah organisasi penelitian baru dengan AICPA.

ARS No. 1 dan No. 3

Dalam ARS 1, postulat dibedakan menjadi dua, one category (kelompok A dan B) dan second category (kelompok C). Kelompok A adalah economic and political environmental group, kelompok B adalah yang termasuk dalam wilayah akuntansi itu sendiri dan kelompok C adalah the imperatives (kewajiban). Perilisan ARS 1 tidak ditanggapi oleh banyak pihak dan kebanyakan lebih menunggu pada perilisan ARS 3. Postulat dasar pada yang dikembangkan ARS 1 merupakan bagian integral dari ARS 3. Ada delapan prinsip yang dikembangkan dalam ARS 3. Kegagalan ARS dan ARS 3 disebabkan oleh kurangkan ketegasan dalam pembuatan alasan (reasoning), hanya memberikan sedikit perhatian pada kebijakan pembuatan peraturan, dan juga ketidakberhasilan Moonitz-Sprouse dalam menyelesaikan tugas mereka.

Basic Concepts Underlying Historical Costing

Konsep akuntansi telah banyak berkembang mulai dari kebutuhan praktis hingga beberapa karya teoritis seperti An Introduction to Corporate Accounting Standards oleh Paton dan Littleton dengan menggunkan pendekatan deduktif untuk memberikan kerangka dasar untuk menilai praktek akuntansi suatu perusahaan; cara pengevaluasian asset untuk arus kas di masa mendatang oleh Canning, pembuatan buku yang terpisah yang focus pada kegunaan akuntansi, respectively, perubahan nilai unit moneter dan kelemahan historical cost, yang disusun oleh Sweeney dan McNeal; Sanders, Hatfield dan Moore mengenai monograf prinsip praktek akuntansi; buku Gilman yang telah menyempurnakan konsep pendapatan; serta Littleton yang berusaha memperoleh praktik akuntansi yang relevan secara induktif. Pada bagian ini, akan didiskusikan mengenai konsep. Konsep merupakan hasil dari suatu proses mengidentifikasi, klasifikasi, dan menginterpretasikan fenomena dan persepsi. Konsep ini kemudian akan di jabarkan menjadi :

  1. Postulates
  2. Going Concern or Continuity

Pernyataan ini secara simple menyatakan bahwa perusahaan akan berjalan secara terus menerus, kecuali jika terdapat bukti-bukti yang mengarah ke sisi lain. Suatu entitas akuntansi dipandang akan berjalan terus apabila tidak terdapat bukti sebaliknya. Hal itu, berarti bahwa perusahaan sebagai suatu kesatuan, dianggap akan melanjutkan usahanya berkesinambungan (going Concern), dimana sejak saat didirikannya tidak pernah ada niatan untuk dibubarkan. Konsep kontinuitas usaha hanya dapat dibenarkan atas dasar pengalaman perusahaan pada umumnya. Oleh karena itu,npenerapa konsep ini dalam perusahaan tertentu adalah semata-mata asumsi dan kenyataan ini harus tetap dipertimbangkan dalam proses pelaporan. Tingkat kegagalan usaha adalah tinggi terutama untuk perusahaan  perseorangan yang kecil. Gejala kebankrutan dalam masa berikutnya kadang-kadang lebih menonjol daripada pertumbuhan yang berlanggung terus.

  1. Time Period

Bagi entitas bisnis, time period merupakan kalender ataupun tahun bisnis. Sehingga, laporan keuangan berisi mengenai kondisi keuangan, earning dan aliran dana selama tahun tersebut. Sehingga, laporan keuangan berisi mengenai kondisi keuangan, earning dan aliran dana selama tahun tersebut. Ketika periode ini relative lebih pendek dari umur perusahaan, maka muncul akrual basis, recognition dan matching principle, serta laporan interim bagi yang membutuhkan pelaporan keuangan kurang dari satu periode. Proses akuntansi keuangan ini, adalah untuk menyajikan informasi tentang aktivitas ekonomi perusahaan dalam periode waktu tertentu. Akuntansi menganggap bahwa waktu satu tahun adalah periode yang tepat untuk pelaporan. Waktu satu tahun dianggap tidak terlalu pendek atau panjang. Penakar alternative adalah unit produksi, pekerjaan-order, atau projek.

  1. Accounting Entity

Pada dasarnya dapat terlihat secara jelas jika entitas terpisah dengan pemilik. Namun terdapat dua permasalahan penting, yaitu permasalahan menentukan entitas dan akuntansi untuk setiap hubungan yang terjadi, dalam artian apakah menggunakan metode penggabungan atau tidak untuk memperlihatkan hubungan tersebut dan apakah akuntansi fokus pada hubungan antara perusahaan dan pemiliknya. Makna entitas atau kesatuan akuntansi adalah perusahaan dianggap sebagai entitas ekonomi dan entitas hokum yang terpisah dari pihak – pihak yang berkepentingan, oleh karena itu informasi akuntansi hanya berhubungan dengan entitas dimaksud yang membatasi kepenmtingan para pemiliknya.

  1. Monetary Unit

untuk tujuan akuntansi, unit moneter menjadi hal yang handal dalam prinsip dan metode, sehingga laporan keuangan menggunakan dasar unit moneter dalam pelaporannya.

  1. Principles
  2. Input-Oriented Principles

Prinsip ini fokus terhadap pendekatan secara umum atau aturan pembuatan laporan keuangan dan isi dari laporan tersebut, termasuk pengungkapan tambahan lainnya.

General Underlying Rules of Operation

  • Recognition

Revenue didefinisikan sebagai hasil dari perusahaan dalam menyediakan produk dan jasanya. Sehingga penjualan asset tidak diakui dalam revenue pokok perusahaan. Recognition fokus pada masalah mengenai kapan revenue dan expense dicatat.

  • Matching

Expense merupakan biaya yang telah terjadi dalam upaya menghasilkan revenue. Pada dasarnya expense bukan diakui saat dilakukan pembayaran, melainkan diakui ketika expense tersebut berkontribusi terhadap revenue yang dihasilkan. Proses pengakuan tersebut dinamakan matching . Matching  beserta recognition sangat diperlukan guna mengukur  income. Namun, terdapat dua permasalahan dalam matching, pertama dalam pengukuran menggunakan historical cost terkadang terlalu rendah dari nilai yang sebenarnya dan yang kedua, matching memerlukan metode yang sangat sistematis dan rasional.

Constraining Principles

  • Conservatism

Didefinisikan sebagai cara untuk memilih satu dari beberapa metode akuntansi yang akan menghasilkan revenue recognition  yang lebih lambat, expense recognition secara lebih cepat, penilaian asset yang lebih rendah ataupun pengakuan liabilitas yang lebih tinggi.

  • Disclosure

Diartikan sebagai laporan keuangan yang relevan baik dari dalam maupun luar bagian utama laporan keuangan itu sendiri, termasuk penggunaan metode dalam laporan tersebut, apakah menggunakan lebih dari satu metode ataupun yang tidak lazim maupun inovasi dari suatu metode. Hal ini termasuk supplementary financial statement schedule, disclosure pada footnote untuk informasi yang tidak dapat diungkapkan pada bagian utama, disclosure atas material ataupun suatu kejadian, pandangan terhadap operasi kedepan dan analisa operasi yang dilakukan manajemen. Konservatisma  adalah sikap atau aliran(mazhab) dalam menghadapi ketidakpastian untuk mengambil tindakan atau keputusan atas dasar munculan(outcome)yang terjelek dari ketidakpastian tersebut. Sikap konservatif juga mengandung makna sikap berhati-hati dalam menghadapi risiko dengan cara bersedia mengorbankan sesuatu untuk mengurangi atau menghilangkan resiko.

  • Materiality

Menyangkut penting atau tidaknya suatu item (atau segrup item) bagi pengguna dalam melakukan penilaian maupun pengambilan keputusan.

  • Objectivity,

Pada dasarnya objectivity menyangkut kualitas bukti transaksi yang dirangkum dan diorganisir di dalam laporan keuangan.

  1. Output-Oriented Principles

Prinsip ini lebih mengarah pada kemampuan laporan keuangan untuk dibandingkan dengan laporan perusahaan lain.

Applicable to Users

  • Comparability

Dilihat dari sisi pengguna, merupakan tingkatan kehandalan yang dicari pada laporan keuangan ketika mengevaluasi kedaan keuangan ataupun hasil dari suatu operasi pada interfirm basis, memprediksi income ataupun cash flows.

Aplicable to Preparers

  • Consistency

Merupakan penggunaan suatu metode oleh perusahaan secara konsisten.

  • Uniformity

Menyangkut beberapa hal antara lain, seperangkat prinsip untuk perusahaan-perusahaan dimana setiap perusahaan boleh mengintrepetasikannya, perlakuan akuntansi yang sama untuk situasi yang sama dan perlakuan akuntansi yang sama untuk akun yang memiliki keadaan ekonomi yang berbeda.

Equity Theories

Hubungan perusahaan dengan pemilik dalam rekening ekuitas pemilik. Teori deduktif telah berusaha untuk menggambarkan hubungan ini dan berguna dalam menafsirkan hak tidak legal dan kepentingan dalam ekuitas pemilik rekening serta dalam menentukan komponen-komponen tertentu dari laba.

  1. Proprietary Theory

Teori kepemilikan mengasumsikan bahwa pemilik dan perusahaan yang hampir identik. Pada teori ini, aset dimiliki pemilik perusahaan, kewajiban perusahaan juga adalah kewajiban pemilik, dan kepemilikan ekuitas terhutang kepada pemilik.

∑Assets – ∑Liabilities = ∑Owner’s Equity

 Entity Theory

Ketidakpuasan dengan orientasi dari teori kepemilikan menyebabkan perkembangan teori entitas. Perusahaan dan pemilik adalah dua hal yang terpisah. Namun demikian, akun ekuitas pemilik tidak mewakili kepentingan mereka sebagai pemilik tetapi hanya klaim mereka sebagai pemegang saham. Dalam mengukur laba, baik bunga dan dividen merupakan distribusi pendapatan untuk penyedia modal. Maka, keduanya diperlakukan sama dan tidak merupakan pengurang penghasilan.

∑Assets = ∑Equities (including liabilities)

 Residual Equity Theory

Teori ini termasuk variasi dari kedua teori proprietary dan teori entitas. Pemegang saham biasa adalah pengambil risiko utama dalam perusahaan. Kepentingan mereka dalam perusahaan sebagai penyangga atau pelindung bagi semua kelompok dengan klaim sebelumnya tentang perusahaan, seperti pemegang saham preferen dan pemilik obligasi. Informasi penting dari teori ini adalah bahwa informasi sesuai untuk tujuan pengambilan keputusan, seperti yang membantu dalam memprediksi arus kas, harus diberikan kepada pemegang saham sisa.

∑Assets – ∑Specific Equities (including liabilities and preferred stock) = Residual Equity

 Fund Theory

Dana hanyalah sekelompok aktiva dan kewajiban yang terkait. Dimana sekelompok aktiva dan kewajiban yang terkait tersebut ditujukan untuk tujuan, yang mungkin iya atau mungkin tidak menghasilkan pendapatan.

∑Assets = ∑Restrictions of Assets

Fund teori ini adalah teori yang berlaku untuk pemerintah dan bukan untuk mencari laba yang mana endowment fund, sitaan, dan kelompok aset khusus sering ditujukan untuk tujuan spesifik dan tujuan terpisah (tidak spesifik).

  1. Commander Theory

Teori ini bisa dikatakan sebagai sinonim dari manajemen. Komandan teori mungkin dipandang sebagai akuntansi manajemen daripada akuntansi keuangan, tetapi manajer dalam peran fidusia-nya harus “mengubah” pandangan komandan kepada investor.

Kesimpulan

 Bahwa konsep dasar berfungsi melandasi penalaran pada tingkat perekayasaan akuntansi, konsep dasar lebih banyak manfaatnya bagi penyusunan staandar dalam berargumen untuk menentukan konsep, prinsip, metoda, atau teknik yang akan dijadikan standar. Dalam tiap standar yang diterbitkan, misalnya, FASB menyertakan bagian yang disebut basis penyimpulan yang didalamnya terrefleksi konsep dasar yang dianut baik secara eksplisit maupun implicit.

 

Referensi

 Wolk, H.I., J.L. Dodd, dan M.G. Tearny. 19–. Accounting Theory: Conceptual Issues in a Political and Economic Environment. 6th ed. Thompson, South Western.

Suwardjono. 2011.Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi 3, BPFE:Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Interaksi Simbolik

*Suhartono

Defenisi Interaksi Simbolik

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (guru Blumer) yang kemudian dimodifikai oleh Blumer untuk tujuan tertentu.

Interaksi simbolik adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”.

Menurut Mead setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlihat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk symbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Cooley adalah sosiolog pertama yang menyatakan hidup manusia secara social ditentukan oleh bahasa, interaksi, dan pendidikan. Konsep penting dalam bangunan teori Cooley adalah konsep cermin diri (looking glass self) dan kelompok primer.

Jones memusatkan teorinya atas sifat saling ketergantungan organisasi antar individu dan lingkungan sosialnya. Jones berusaha mengidentifikasi factor-faktor psikologis, biologis, yang dibawa sejak lahir dan menjelaskan perilaku manusia tersebut.

Menurut Dewey, etika dan ilmu, teori dan praktik, berpikir dan bertindak, putusan faktual dan evaluative adalah dua hal yang saling menyatu, tidak bisa dipisahkan. Manusia terlibat dalam proses pengenalan. Manusia tidak menerima begitu saja pengetahuannya dari luar tetapi secara sadar, aktif dan dinamis membentuk pengetahuannya dan tindakannya.

Kuhn lebih menekankan aspek makro/struktur sosial (kelas, sosial, etnik) yang mempengaruhi individu termasuk sikap dan perilaku seksual. Kuhn menekankan bahwa perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap keinginan lingkungan sosialnya.

Dalam interaksi simbolik manusia diasumsikan sebagai makhluk yang bertindak atas dasar bagaimana mereka mendefinisikan, menafsirkan dan mengkonseptualisasikan sesuatu atas dasar pengalamannya. Apa yang ada dalam interaksi sosial, baik budaya kebendaan dan atau tindakan sosial, adalah simbol yang bisa ditafsirkan atau didefinisikan, dan berdasarkan hal inilah mereka membangun makna bersama, yang dipakai sebagai pola interaksi di antara mereka. Peneliti interaksi simbolik mencari titik pandang bersama (shared perspektive) atau social consencius yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

Interaksi Simbolik dalam Perspektif Sejarah

Interaksi simbolik merupakan salah satu perspektif teori yang baru muncul setelah adanya teori aksi (action theory) sebagaimana di kembangkan oleh Max Weber. Sebagai teori yang baru muncul setelah teori aksi, maka pendekatan yang digunakan juga mengikuti pendekatan Weber dalam teori aksi (action theory).

Teori interaksi simbolik berkembang pertama kali di Chicago University dan dikenal dengan aliran Chicago. Tokoh utama dari teori ini berasil dari berbagai Universitas di luar Chicago, di antaranya John Dewey dan Cooley filosof yang semula mengembangkan teori interaksi simbolik di Michigan University kemudian pindah ke Chicago dan banyak memberi pengaruh kepada W.I. Thomas dan G.H. Mead.

George Herbert Mead lahir tahun 1863 di Massachussets. Umur sebelas tahun ia sekolah di Kolese Oberlin. Setelah lulus, ia mengajar sebentar di sekolah dasar. Pekerjaan itu cuma berlangsung empat bulan karena ia dipecat gara-gara terlalu sering mengusir keluar anak-anak yang suka ribut di sekolah.

Pada tahun 1887, George Herbert Mead masuk Harvard University mengambil filsafat dan psikologi. Lewat gurunya, Josiah Royce, ia menaruh minat besar pada filsafat Hegel. Pada masa-masa itu, Mead bertemu sejumlah orang-orang berpengaruh ataupun sekedar karya mereka, misalnya Willian James, Helen Castle (wanita yang kelak disuntingnya di Berlin), Whilhelm Wui di dengan konsep gerak isyaratnya dan juga G. Stanley Hall, psikolog sosial Amerika. Menjelang akhir hayatnya, Mead sempat berhubungan dengan John Dewey dan Charles Horton untuk suatu alasan akademis.

Mead sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin, bahwasanya organisme secara berkelanjutan terlibat dalam usaha penyesuaian diri dengan lingkungannya sehingga organisme itu mengalami perubahan yang terus-menerus, sehingga dia melihat pikiran manusia sebagai sesuatu yang muncul dalam proses evolusi alamiah. Pemunculannya itu memungkinkan manusia untuk menyesuaikan diri secara lebih efektif dengan alam.

Menurut banyak pakar pemikiran George Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan pada beberapa cabang filsafat antara lain pragmatisme, dan behaviorisme.

Pragmatisme, Dirumuskan oleh John Dewey, Wiliam James, Charles Peirce, Josiah Royce, aliran filsafat ini memiliki beberapa pandangan yaitu :

  1. Realitas yang sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak di dan terhadap dunia.
  2. Percaya bahwa manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.

Behaviorisme. menurut Mead, manusia harus dipahami berdasarkan pada apa yang mereka lakukan. Namun, manusia punya kualitas lain yang membedakannya dengan makhluk lain. Kaum behavioris berkilah bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua makhluk lain, termasuk manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara langsung dan seksama. Mead menolak gagasan itu, menurutnya pengamatan atas perilaku luar manusia semata menafikan kualitas penting manusia yang berbeda dengan kualitas alam.

Herbert Blumer

Blumer berpendidikan di Universitas Misaouri. Dia mendapatkan gelar B.A. dan M.A. pada tahun 1921 dan 1922 secara berturut-turut. Kemudian, pindah ke Universitas Chicago. Di sini, dia mengalami pengaruh yang kuat tentang pemikiran Mead. Secara lengkap gelar Ph.D-nya didapat pada tahun 1929. Dia tinggal di Chicago untuk beberapa tahun, kemudian pada tahun 1950, dia pindah ke Berkeley, dan menetap selamanya di kota ini. Perhatian intelektualnya berfokus pada psikologi sosial, perilaku kolektif, dan sistem hubungan dengan negara Massachusetis (negara bagian Amerika Serikat). Dia bertanggung jawab terhadap perkembangan istilah interaksi simbolik dan dia membuat kontribusi besar terhadap model ini sebagai teori dalam sosiologi. Karya-karyanya sebagian besar berupa artikel mengenai kerja sama antarnegara, perilaku kolektif, dan sistem hubungan dengan negara Massauchusetis. Bagaimanapun, koleksi karyanya sangat otoritatif, yaitu Interaksi Simbolik, Prespektif dan Metode (1969); karya ini berhubungan dengan diskusi-diskusi kita saat ini.

Blumer sangat memerhatikan perkembangan teori interaksi simbolik tentang masyarakat, interaksi simbolik berhubungan dengan karakter yang ganjil dan jelas, interaksi sebagaimana telah diletakkan di antara manusia. Keganjilan ini terdiri dari timbal balik dan interpretasi simbolik. Sosiologi, menurut perspektif ini, adalah menyangkut proses penafsiran manusia, baik secara individu maupun kelompok, tentang tindakan manusia sebagai masyarakat, sebuah paradigma konseptualisasi masyarakat sebagai sebuah sistem tentang proses penafsiran.

Lingkup Pembahasan Interaksi Simbolik

Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual menjadi penting di dalam interaksi simbolik.

Kemudian secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu: (1) Perilaku manusia mempunyai makna di balik yang menggejala, (2) Pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia, (3) Masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang “holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga, (4) Perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran fenomenologi, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanil dan otomatik, (5) Konsep mental manusia itu berkembang dialektik, dan (6) Perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.

Prinsip metodologi interaksi simbolik ini adalah: (1) simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila kita hanya merekam fakta. Kita juga harus mencari yang lebih jauh, yakni mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya, (2) karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subjek perlu dapat ditangkap. Pemahaman mengenai konsep jati diri subjek yang demikian itu adalah penting, (3) peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol dengan jati diri dengan lingkungan yang menjadi hubungan sosialnya. Konsep jati diri terkait dengan konsep sosiologik tentang struktur sosial, dan lainnya, (4) hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual saja, (5) metode-metode yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya, (6) metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna di balik interaksi, dan (7) sensitizing, yaitu sekedar mengarahkan pemikiran itu yang cocok dengan interaksi simbolik dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional, yakni scientific concepts.

Masyarakat sebagai Interaksi-Simbolis

Interaksionisme-simbolis yang diketengahkan Blumer mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar, yang dapat diringkas ebagai berikut:

  1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.
  2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok yang diajukan oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol yang berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupakan simbol berarti yang paling umum.
  3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik; makna lebih merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (b) obyek sosial seperti ibu, guru, menteri atau teman; dan (c) obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Blumer (1969:10-11) membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia obyek: “diciptakan, disetujui, ditransformir dan dikesampingkan” lewat; interaksi-simbolis. Ilustrasi peranan makna yang diterapkan kepada : obyek fisik dapat dilihat dalam perlakuan yang beda terhadap sapi di Amerika Serikat dan di India. Obyek (sapi) sama, tetapi di Amerika sapi dapat berarti makanan, sedang di India sapi dianggap; sakral. Bila dilihat dari perspektif lintas kultural, obyek-obyek fisik; yang maknanya kita ambil begitu saja bisa dianggap terbentuk secara sosial.
  4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. Jadi seorang pemuda dapat melihat dirinya sebagai mahasiswa, suami, dan seorang yang baru saja menjadi ayah. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi simbolis.
  5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat olel manusia itu sendiri. Blumer menulis (1969:15) Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedi untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari oran lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari: cai bertindak tertentu.
  6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggot anggota kelompok; hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai; “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindak berbagai manusia” (Blumer, 1969: 17). Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”

Substansi dan Perbincangan Interaksi Simbolik

Mead bermaksud membedakan teori yang dikemukakannya dengan teori behaviorisme. Behaviorisme mempunyai pandangan bahwa perilaku individu adalah sesuatu yang dapat diamati, artinya mempelajari tingkah laku manusia secara objektif dari luar. Interaksi simbolik menurut Mead mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang melatarbelakangi tindakan sosial itu dari sudut aktor. Jadi, interaksi simbolik memandang manusia bertindak bukan semata-mata karena stimulus-respons, tetapi juga didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan tersebut.

Perspektif tentang masyarakat manusia yang menekankan pada pentingnya bahasa dalam membentuk upaya saling memahami sebagaimana diungkapkan oleh Mead, selanjutnya dirangkum oleh Blumer dalam suatu pernyataai yang dikenal dengan tiga premis interaksi simbolik, yaitu:

  1. Manusia melakukan tindakan terhadap “sesuatu” berdasarkan makna yang dimiliki “sesuatu” tersebut untuk mereka.
  2. Makna dari “sesuatu” tersebut berasal dari atau muncul dari interaksi sosial yang dialami seseorang dengan sesamanya.
  3. Makna-makna yang ditangani dimodifikasi melalui suatu proses interpretatif yang digunakan orang dalam berhubungan dengan “sesuatu” yang ditemui.

Herbert Blumer seorang tokoh modern teori interaksi simbolik, menjelaskan perbedaan antara teori ini dengan behaviorisme sebagai berikut. Menurut Blumer; konsep interaksi simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya, bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain tersebut Interaksi antar individu, dihubungkan oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi, atau saling berusaha memahami maksud dari tindakan masing-masing. Jadi, proses interaksi manusia itu bukan suatu proses di mana adanya stimulus secara otomatis dan langsung menimbulkan tanggapan atau respons. Akan tetapi, antara stimulus yang diterima dan respons yang terjadi sesudahnya terdapat proses interpretasi antar aktor. Dengan demikian, proses interpretasi yang menjadi penengah antara stimulus-respons menempati posisi kunci dalam teori interaksi simbolik. Sehingga konsep inilah yang membedakan mereka dengan penganut behaviorisme.

Interaksi Simbolik dalam Kenyataan Sosial

Manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Kemampuan itu diperlukan untuk komunikasi antar pribadi dan pikiran subjektif. George Herbert Mead (1863-1931) menyatakan bahwa pikiran atau kesadaran manusia sejalan dengan kerangka evolusi Darwin. Berpikir sama artinya, bagi Mead setara dengan melakukan perjalanan panjang yang berlangsung dalam masa antar generasi manusia yang bersifat subhuman. Dalam “perjalanan” itu, ia terus-menerus terlibat dalam usaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga sangat memungkinkan terjadinya perubahan bentuk atau karakteristiknya.

Komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling sederhana dan yang paling pokok dalam berkomunikasi, tetapi manusia tidak terbatas pada bentuk komunikasi ini. Bentuk yang lain adalah komunikasi simbol. Karakteristik khusus dari komunikasi simbol manusia adalah bahwa dia tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik. Sebaliknya, dia menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar. Kemampuan manusia menggunakan simbol suara yang dimengerti bersama memungkinkan perluasan dan penyempurnaan komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin melalui isyarat fisik saja.

Simbol juga dipergunakan dalam (proses) berpikir subjektif, terutama simbol-simbol bahasa. Cuma, di sini simbol-simbol itu tidak dipakai secara nyata (covert), yaitu melalui percakapan internal. Serupa dengan itu, secara tidak kelihatan individu itu menunjuk pada dirinya sendiri-mengenai diri atau identitas yang terkandung dalam reaksi-reaksi orang lain terhadap perilakunya. Dengan demikian, maka yang dihasilkan adalah konsep diri yang mencakup kesadaran diri yang dipusatkan pada diri sebagai objeknya.

Manusia dan Makna dalam Perspektif Interaksi Simbolik

Mead memandang realitas sosial dengan kacamata psikologi sosial sebagai suatu proses, bukan statis. Manusia maupun aturan sosial berada dalam proses ‘akan jadi’, bukan sebagai fakta yang sudah lengkap. Mead meneliti bagaimana proses individu menjadi anggota organisasi (masyarakat).

Mead mengawalinya dari diri (self) yang menjalani internalisasi atau interpretasi subjektif atas realitas struktur yang lebih luas. Diri ini berkembang ketika orang belajar “mengambil peranan orang lain” atau masuk ke dalam pertandingan (games) ketimbang permainan (play).

Manusia itu disamping mampu memahami orang lain juga mampu memahami dirinya sendiri. Hal ini ditunjang oleh penguasannya atas bahasa, sebagai simbol terpenting dan isyarat. Karena dengan bahasa dan isyarat itu, seseorang melakukan interaksi simbolik dengan dirinya sendiri.

Bagi Blumer, interaksi simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu bagi mereka, (2) Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Pandangan Herbert Blumer tentang Interaksi Simbolik

Dalam pandangan interaksi simbolik, manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi objektif, tetapi setidaknya merupakan aktor yang bebas. Pendekatan ini memperhatikan interpretasi subjektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus objektif, bukan aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial.

Pandangan Blumer tentang interaksi simbolik banyak diilhami oleh gurunya (Herbert Mead). Menurut keduanya, orang tak hanya menyadari orang lain, tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian, orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolik dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi sosial adalah sebuah interaksi antarpelaku dan bukan antar faktor-faktor yang menghubungkan mereka, atau yang membuat mereka berinteraksi. Pada umumnya interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa dan melalui isyarat Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, tetapi berada dalam proses yang kontinyu. Proses penyampaian makna merupakan fokus kajian interaksi simbolik. Ciri-ciri interaksi simbolik adalah pada konteks simbol, sebab mereka mencoba mengerti makna atau maksud dari suatu aksi yang dilakukan antara yang satu dengan yang lain. Dalam berinteraksi, orang belajar memahami simbol-simbol konvensional dan berusaha menggunakannya sehingga mampu memahami peranan aktor-aktor yang lainnya.

Teori interaksi simbolik merujuk pada karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respons aktor baik secara langsung maupun tidak langsung selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Untuk itu, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain.

Menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke mana arah tindakannya. Individu bukan dikelilingi oleh lingkungan objek-objek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya, tetapi individu membentuk objek-objek itu. Individu berupaya mengkreasi objek-objek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut.

 

Daftar Pustaka

Ahmadi, Dadi. 2008. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator, Vol.9 No.2 – Desember, hal. 301-316.

Anonym. Jurnal tidak terpublikasi Universitas Sumatera Utara.

Atmadja, Anantawikrama Tungga. 2013. Pergulatan Metodologi dan Penelitian Kualitatif dalam Ranah Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Profesi Vol. 3 No.2 – Desember, hal. 122 -141.

Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP) Vol.8 No.1 – Oktober , hal. 128-146.

Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.

Poloma, Margaret M. 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Kahmad, Dadang. 2005. Perkembangan dan Paradigma Utama: Teori Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia.

http://mika-punya.blogspot.com/2012/05/teori-simbolik.html